Naucha, Anak Panah yang Tak Goyah

kumparan.com
3 jam lalu
Cover Berita

Kabut yang mendadak turun di tengah laut pernah membuat perjalanan Florence Chadwick terhenti. Namun, perenang legendaris itu menolak menyerah; ia mengulang kembali ekspedisi di lepas pantai yang sama, menuju pulau Catalina yang gagal dicapainya dua bulan silam. Meski kabut yang sama masih menghalangi pandangan, ada pemandangan lain yang terpatri dalam benak Chadwick: keindahan garis pantai yang begitu ingin ia gapai. Dan, kali ini, ia benar-benar berhasil mencapainya.

Kemampuan untuk melihat kemenangan, entah di pelupuk atau di seberang lautan, adalah kunci bagi atlet seperti Chadwick. Seperti juga Haidar Naucha Zhafran, pemanah muda yang menolak dihentikan oleh kegagalan. Keteguhan hatilah yang membuatnya mampu bangkit dari keterpurukan usai tak lolos seleksi kompetisi nasional. Mengetahui adanya kesempatan untuk seleksi ulang, tanpa pikir panjang, Naucha menerjang segala kemungkinan. Direbutnya tiket menuju pertandingan, dihalaunya terpaan angin dan hujan, hingga sampailah ia pada tujuan: pulau Catalina-nya itu berupa kepingan medali emas. Tak cuma satu, melainkan tiga sekaligus. Sebuah capaian yang membawa tim Provinsi DIY menjadi juara umum cabor panahan di PON XXI Aceh-Sumut 2024.

“Sebenarnya Naucha tidak mendapatkan tiket. Yang mendapatkan tiket itu sebenarnya malah adiknya. Namun, aturan dari Pemda, yang dapat tiket PON bisa diseleksi lagi. Mungkin adiknya kalah senior, jadi diambil oleh kakaknya,” kata Edi Sudrajat, pelatih panahan yang telah menggembleng Naucha sejak usianya 9 tahun. Edi tak menyangka, anak didiknya itu mampu membawa pulang medali perorangan di turnamen nasional pertamanya.

Saat ditemui di Lapangan Panahan Sorowajan, Senin (1/12), Naucha mengenakan jersey tim panahan DIY—seragam kuning yang sama yang dipakainya saat berkompetisi di venue panahan Kompleks Stadion Harapan Bangsa, Banda Aceh, September tahun lalu. Remaja 18 tahun asal Tamantirto, Kasihan, Bantul ini mengingat momen pertama kali menyentuh busur saat diajak ayahnya menonton latihan memanah di lapangan itu.

“Dulu diajak ke lapangan ini, lihat-lihat orang yang manah. Terus nyoba busur juga di sini, dipinjami dari sini juga. Setelah itu jadi suka di panahan,” kenang Naucha. Selain menonton latihan memanah di lapangan, orang tua Naucha juga mengajaknya berkeliling sejumlah klub memanah di Jogja. Ia pun bergabung dengan klub panahan di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Selama setahun, Naucha belajar memanah dengan busur yang dipinjamnya dari klub. Melihat minat putranya terhadap panahan yang terus tumbuh, orang tua Naucha menghadiahinya seperangkat busur dan anak panah.

“Karena saya suka di panahan, orang tua membelikan, men-support alat. Harganya sekitar 3 juta, sudah (dapat) busur dengan anak panah,” tuturnya. Ayah Naucha merupakan pensiunan dosen dan pernah bekerja di stasiun televisi swasta. Sementara itu, ibunya berprofesi sebagai pedagang nasi dan kue-kue.

Tak Mudah Menangis

Edi mengenang Naucha kecil sebagai anak yang teguh pendirian dan tak mudah goyah. Di antara bocah sebayanya yang kerap merajuk, Naucha jauh dari kata cengeng. Apa pun yang terjadi di lapangan, ia tetap menjalani latihan.

“Anak-anak yang lain sering ngambekan. Kalau Naucha itu memang tipikal yang nggak cengeng,” kata Edi. Menurutnya, Naucha juga merupakan pribadi yang disiplin; terbukti dengan perkembangan sang atlet dari yang awalnya sama sekali tak bisa memanah hingga kini mampu menorehkan prestasi.

“Dari nol Naucha nggak bisa manah. Tapi dengan kegigihan Naucha sendiri, orang tua yang sering men-support ke lapangan, sering mengantar ke lapangan, itu perjuangannya sangat-sangat luar biasa,” tuturnya. Edi menyebut, prestasi Naucha mulai tampak sekitar tahun 2021, setelah berlatih bersamanya selama kurang lebih empat tahun.

Fokus yang tinggi menjadi kekuatan utama Naucha di lapangan. Ia tak mudah terdistraksi dan mampu mengendalikan diri saat menghadapi situasi yang tak pasti. Kemampuannya memusatkan perhatian terbukti kala berlaga di PON. Di babak kualifikasi divisi Standard Bow, hujan deras turun disertai angin kencang; kombinasi maut yang siap menggoyahkan laju anak panah. Namun, cuaca buruk tak membuat nyali Naucha ciut. Alih-alih mengkhawatirkan faktor eksternal, ia mengatur ulang strategi agar anak panahnya dapat tetap menancap tepat di sasaran. Naucha paham bahwa hujan akan mendorong anak panahnya ke bawah. Ia mengakali hal itu dengan cara sederhana: menaikkan arah bidikan. Jika angin mulai menerjang, dilakukannya kembali sejumlah penyesuaian.

“Tentu juga dipertimbangkan anginnya. Hujannya juga banternya seberapa. Nanti dikira-kira, koreksinya di sebelah mana?” jelas Naucha. Strategi itu membawanya melaju dari awalnya finis di urutan ke-11 menjadi nomor empat dari 34 peserta.

Di PON 2024, Provinsi DIY menjadi juara umum cabor panahan dengan membawa pulang enam emas, satu perak, dan tiga perunggu. Naucha, yang baru debut di PON tahun itu, menyumbang tiga emas di antaranya. Tiga emas itu berasal dari nomor Individual Standard Bow Putra, Total Beregu Nasional Putra, dan Beregu Standard Bow Putra.

Tak hanya memberinya medali, prestasi Naucha di PON juga berbuah tiket manis lainnya: menjadi mahasiswa Universitas Gadjah Mada. Berbekal sertifikat kemenangan, Naucha mendaftar ke Fakultas Peternakan UGM lewat jalur Penelusuran Bibit Unggul Berprestasi (PBUB). Kini, ia tercatat sebagai mahasiswa semester pertama Program Studi Ilmu dan Industri Peternakan.

Sejarah Panjang Panahan DIY

Sepuluh tahun terakhir sebelum PON 2024, Jawa Timur selalu keluar sebagai juara umum. Baru di Acehlah DIY mampu meruntuhkan dominasi itu, lewat tim yang lebih dari separuhnya merupakan atlet baru seperti Naucha.

“(Dari PON) tahun 2021, yang ikut PON di 2024 itu mungkin sekitar separuh saja. Yang separuh benar-benar atlet yang baru. Bahkan malah nggak mencapai 50 persen,” kata Edi. Selama bertahun-tahun melatih tim panahan PON DIY, ia menyaksikan tren positif dalam hal regenerasi atlet. Edi menduga, meningkatnya minat generasi muda terhadap cabor ini ada kaitannya dengan prestasi yang ditorehkan generasi sebelumnya.

“Mungkin melihat panahan DIY ini sekarang sudah bagus ya, sudah lebih bagus dari tahun ke tahun. Jadi, anak-anak kecil itu melihatnya, oh panahan DIY bagus. Jadi, mereka pada tertarik untuk ikut di panahan,” duganya. Ia mencontohkan Hendra Purnama, atlet panahan asal Bantul yang pertama kali mengikuti Olimpiade Brasil tahun 2016. Ada pula Arif Dwi Pangestu yang berkompetisi di Olimpiade Tokyo 2021 dan Olimpiade Paris 2024.

Yogyakarta sejatinya memiliki sejarah panjang dalam dunia panahan, khususnya sejak masa Kerajaan Mataram. Jemparingan, atau memanah sambil duduk bersila, bukanlah hal yang asing di kalangan keraton. Adalah Paku Alam VIII yang mendorong pelestarian dan dan pewarisan budaya ini. Pada 12 Juli 1953, ia mendirikan organisasi panahan Indonesia, PERPANI, yang diakui secara resmi oleh komunitas olahraga nasional dan dunia internasional. Dari Yogyakarta, cabor ini meluas ke daerah lainnya, terutama Jawa Timur. Pada 1972, panahan dimasukkan sebagai cabor resmi dalam Olimpiade Munich 1972, membuat olahraga ini semakin populer. Di Indonesia sendiri, panahan baru resmi dipertandingkan di PON Jakarta 1973.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Defisit Perdagangan AS Turun Tajam pada September 2025, Terendah Sejak 2020
• 12 jam laluidxchannel.com
thumb
AHY Tekankan Pentingnya Infrastruktur untuk Majukan Sektor Kelautan dan Perikanan
• 6 jam lalutvrinews.com
thumb
Harga Emas Meroket Naik, Perak Cetak Rekor Lagi!
• 15 jam laluwartaekonomi.co.id
thumb
BNPB Ungkap Progres Pembangunan 3 Jembatan di Aceh Pasca Banjir Bandang
• 21 jam lalutvonenews.com
thumb
Waspada, BMKG Prakirakan Hujan Petir Melanda Jatim Dari Pagi Hingga Sore Hari
• 16 jam lalusuarasurabaya.net
Berhasil disimpan.