MerahPutih.com - Menteri Kehutanan melansir total ada 11 entitas diduga terkait banjir Sumatera, termasuk 3 entitas di Tapanuli Selatan yang sudah ditindak. Ke-11 entitas itu, adalah 4 Korporasi (PT TPL, PT AR, PT TBS/PT SN, dan PLTA BT/PT NSHE), dan 7 Pemilik Hak Atas Tanah (PHAT): JAM, AR, RHS, AR, JAS, DHP, dan M.
Anggota Komisi XIII DPR RI, Mafirion, mendukung langkah pemerintah menghentikan sementara seluruh proses produksi, pemanenan, dan pengangkutan kayu PT Toba Pulp Lestari Tbk (TPL/INRU) pada Kamis (11/12).
Penghentian ini harus menjadi momentum audit menyeluruh terhadap seluruh aktivitas perusahaan, terutama terkait dugaan eksploitasi hutan berlebihan dan dampaknya terhadap kerusakan lingkungan.
“Saya mendukung langkah penghentian sementara. Namun pemerintah wajib melakukan audit menyeluruh terhadap PT TPL. Bencana banjir dan longsor di banyak daerah adalah konsekuensi dari eksploitasi hutan yang berlebihan,” ujar Mafirion, Jumat (12/12).
Baca juga:
112 Pasar Rakyat Terdampak Bencana Banjir di Sumatra
Penghentian sementara operasional TPL berlangsung di tengah proses pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) oleh Kementerian Hak Asasi Manusia untuk menyelidiki dugaan pelanggaran HAM terhadap Masyarakat Adat Tano Batak.
Sebelumnya, perwakilan masyarakat adat bersama sejumlah organisasi masyarakat sipil melakukan audiensi dengan Komisi XIII pada 9 September 2025. Mereka melaporkan dugaan perampasan tanah adat, intimidasi, dan konflik yang berulang selama bertahun-tahun.
“Persoalan TPL bukan hanya soal lingkungan. Ada aspek sosial dan kemanusiaan yang harus dituntaskan. Negara tidak boleh membiarkan masyarakat adat terus menjadi korban,” kata Mafirion.
Ia menambahkan, evaluasi tidak boleh berhenti pada TPL. Pemerintah diminta meninjau ulang izin perkebunan sawit, pertambangan, dan proyek lain yang dinilai berpotensi merusak kawasan hutan serta daerah aliran sungai.
“Semua izin yang berkaitan dengan hutan dan sungai harus ditelaah ulang. Kita harus memastikan pengelolaan sumber daya alam tidak mengorbankan keselamatan masyarakat,” ujarnya.
Ia menyoroi konsep Hutan Tanaman Industri (HTI) yang selama ini diterapkan TPL. Praktik penebangan hutan alam untuk kemudian diganti dengan tanaman sejenis, seperti eucalyptus, harus dikoreksi karena memperparah deforestasi.
“Pemberian konsesi HTI harus dievaluasi total. Kawasan yang masih bersengketa dengan masyarakat, baik tanah adat maupun tanah perorangan, harus diselesaikan agar tidak memicu konflik berkepanjangan,” jelasnya.
Ia menegaskan pentingnya perlindungan kawasan resapan air, daerah aliran sungai, dan area ekologis sensitif, terutama di kawasan Danau Toba.
"HTI tidak boleh lagi menebang hutan alam, melainkan fokus pada penanaman kembali di lahan gundul atau lahan kritis seperti eks-HPH, eks-pertambangan, dan area bekas penebangan liar," ungkapnya.





