JAKARTA, KOMPAS - Sejumlah saham perbankan berkapitalisasi besar di Indonesia berada di titik harga rendah dalam sebulan terakhir. Ini berlangsung saat Indeks Harga Saham Gabungan berfluktuasi setelah mencetak rekor level baru. Sentimen investor dan performa bank saling tunggu seperti ”telor dan ayam”.
Indeks saham perbankan melemah pada Jumat (12/12/2025). Ini tecermin dari saham Infobank15 yang berisi 15 saham perbankan yang melemah 0,62 persen. Demikian juga dengan indeks sektor keuangan, mengutip aplikasi Ajaib Sekuritas, minus 0,4 persen kendati Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup naik 0,46 persen ke level 8.660.
Penurunan atau koreksi indeks itu disumbang pelemahan pergerakan saham dengan kapitalisasi terbesar. Salah satunya, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) yang hari ini bercokol di harga Rp 8.000 dibanding penutupan perdagangan kemarin, dengan perubahan harga dalam sebulan terakhir minus 500 basis poin atau turun 5,8 persen.
Sementara, harga saham PT Bank Mandiri Persero Tbk (BMRI) turun 2,6 persen ke harga Rp 4.820 per lembar. Padahal pada akhir November 2025, harganya sempat menyentuh Rp 5.000.
Harga saham PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BRIS) jatuh 2,2 persen ke Rp 2.160, terendah dalam lima bulan terakhir. Harga saham PT Bank Rakyat Indonesia Persero Tbk (BBRI) ditutup naik 0,2 persen ke Rp 3.630 dengan penurunan hampir 7 persen dalam sebulan terakhir.
Head of Research NH Korindo, Ezaridho Ibnutama, kepada Kompas, menilai, koreksi pada saham perbankan terakhir dipengaruhi arah kebijakan bank sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve (The Fed).
Pertemuan The Fed, Rabu (10/12), memutuskan untuk ketiga kalinya memangkas suku bunga tahun ini menjadi 3,5-3,75 persen. Keputusan ini mestinya memberikan sentimen positif ke pasar saham di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Namun ternyata pasar menimbang kebijakan yang akan diambil The Fed dalam jangka menengah. Konsensus yang muncul adalah bahwa potensi pemangkasan suku bunga ke depan menjadi lebih terbatas, hanya satu kali pada 2026.
“Ini tekanan terbesar bagi pasar. Bukan pemangkasannya, tetapi jumlah pemangkasannya yang minim. Padahal Fed Watch Tool memperkirakan lebih dari itu,” kata Ezaridho.
Minimnya potensi pemangkasan suku bunga The Fed menurunkan ekspektasi pasar terhadap potensi pertumbuhan kredit dan profitabilitas bank di masa depan. Hal ini dimungkinkan karena kebijakan The Fed masih akan memengaruhi kebijakan Bank Indonesia (BI) ke depan.
Dalam konteks ini, menurut Ezaridho, sentimen akan lebih positif jika BI kembali memangkas suku bunga acuan. Ia memperkirakan, Rapat Dewan Gubernur BI pekan depan berpeluang memangkas 25 basis poin suku bunga acuan yang kini di level 4,75 persen.
Meski indeks dolar AS melemah, rupiah tidak menunjukkan penguatan. Kondisi ini justru mengindikasikan ada lebih banyak outflow (dana asing keluar di pasar keuangan) daripada inflow (dana masuk).
Keputusan moneter oleh BI penting untuk memberi dorongan tambahan ke pergerakan nilai tukar rupiah dan transmisi ke kredit perbankan. Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang stagnan di kisaran Rp 16.600 setidaknya dalam sebulan terakhir, mengkhawatirkan. Padahal, dollar AS melemah 1 persen dalam sebulan ke kisaran 98 menurut nilai indeks dollar DXY.
"Meski indeks dolar AS melemah, rupiah tidak menunjukkan penguatan. Kondisi ini justru mengindikasikan ada lebih banyak outflow (dana asing keluar di pasar keuangan) daripada inflow (dana masuk)," ujarnya.
Nilai tukar rupiah juga rendah dalam waktu lama karena cadangan devisa BI terus turun walaupun pada November 2025 naik 0,13 persen. Tetapi, Ezaridho memperkirakan, cadangan devisa pada Desember 2025 akan kembali turun karena intervensi moneter yang lebih besar.
Pemangkasan suku bunga BI di Desember 2025, kata Ezaridho, juga bisa menjadi sentimen positif untuk pasar. Ia menilai pertumbuhan kredit perbankan di dalam negeri masih rendah, sekitar 7 persen secara tahunan, meski stimulus fiskal sudah diberikan dengan kebijakan likuiditas oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa.
Pertumbuhan kredit perbankan di dalam negeri masih rendah, sekitar 7 persen secara tahunan.
Pengamat Pasar Modal Hans Kwee, saat dihubungi terpisah, memperkirakan, BI tidak akan tergesa menurunkan suku bunga. Jarak level suku bunga BI dan The Fed yang kian tipis membuat ruang gerak BI terbatas dalam menjaga nilai tukar rupiah.
BI juga berpeluang menahan suku bunga hingga transmisi kebijakan moneter berjalan efektif dengan turunnya suku bunga kredit. Jika The Fed menahan diri dari pemangkasan, BI pun kemungkinan besar melakukan hal sama.
“BI akan tetap mempertahankan bunga sampai kredit benar-benar turun. Tanpa transmisi yang jalan, BI tidak akan agresif,” kata Hans.
Hans Kwee juga menyoroti risiko bencana di Sumatera terhadap kinerja perbankan dalam jangka menengah. Bencana itu bisa berdampak ke kinerja bank karena berpeluang meningkatkan kredit bermasalah.
Ia mencatat, bank-bank besar di Indonesia memiliki eksposur besar di tiga provinsi yang terimbas bencana ekologis di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. PT Bank Syariah Indonesia misalnya, memiliki eksposur kredit sekitar 15 persen di daerah Aceh. Kondisi ini bisa membuat laba perusahaan turun 26 persen pada 2025.
Ada pula Bank Mandiri dengan eksposur kredit di daerah terdampak Sumatera hingga 6,3 persen. Sementara eksposur kredit BRI dan BCA, masing-masing adalah 5,5 persen dan 1,7 persen.
Hans menegaskan, tingginya eksposur kredit tersebut membuat pasar mencemaskan potensi kenaikan kredit bermasalah (NPL), meskipun OJK akan memberi relaksasi kredit. “Kalau 6 persen kredit bermasalah setengahnya saja, NPL naik signifikan. Relaksasi jadi sangat penting,” jelasnya.
Berdasarkan hasil kajian sementara OJK, bencana ekologis di Sumatera berdampak terhadap sedikitnya 103.613 debitor perbankan. Untuk asuransi, data dari 39 perusahaan asuransi menunjukkan potensi klaim asuransi kerusakan properti senilai Rp 492,53 miliar dan klaim kerusakan kendaraan senilai Rp 74,5 miliar.
Sementara estimasi klaim asuransi barang milik negara mencapai Rp 400 miliar. Data ini bersifat sementara dan masih berisiko bertambah seiring perkembangan situasi di lapangan (Kompas.id, 11/12/2025).
Rapat Dewan Komisioner Bulanan OJK di Jakarta, Rabu (10/12/2025), menetapkan kebijakan pemberian perlakuan khusus atas kredit/pembiayaan kepada debitor yang terdampak bencana di Sumatera. OJK menetapkan status perlakuan khusus untuk tiga Provinsi Sumatera selama tiga tahun.
Tata cara perlakuan khusus itu merujuk Peraturan OJK Nomor 19 Tahun 2022 tentang Perlakuan Khusus untuk Lembaga Jasa Keuangan pada Daerah dan Sektor Tertentu di Indonesia yang Terkena Dampak Bencana (POJK Bencana). Kebijakan ini diberikan kepada debitor perbankan dan lembaga pembiayaan nonbank.
Selain perlakuan khusus bagi debitor, OJK juga memberikan relaksasi bagi industri jasa keuangan yang terdampak, antara lain, berupa perpanjangan batas waktu akhir pelaporan selama 10 hari kerja. Dengan demikian, pelaku industri diharapkan tetap memiliki cukup waktu untuk menyusun dan menyampaikan laporan.



:strip_icc()/kly-media-production/medias/5344937/original/088445500_1757497047-5.jpg)