Tanggung Jawab Kolektif:  Strategi Membangun Ruang Digital Aman dan Setara

tvrinews.com
2 jam lalu
Cover Berita

Penulis:  Hanifa Paramitha Siswanti

TVRINews, Bandung

Kekerasan terhadap perempuan masih menjadi persoalan serius di Indonesia. Data Komnas Perempuan mencatat bahwa berbagai bentuk kekerasan berbasis gender terus terjadi di ruang publik, ruang domestik, ruang digital, maupun di layanan publik seperti sekolah, fasilitas kesehatan, transportasi dan ruang pelayanan pemerintah. 

Catatan tahunan Komnas Perempuan 2024 menungkapkan ada 330.097 kasus kekerasan berbasis gender atau meningkat 14,17% dibandingkan tahun sebelumnya. 

Catatan tersebut juga menunjukkan Jawa Barat sebagai sebagai wilayah dengan angka kekerasan terhadap perempuan tertinggi yaitu sebanyak 55.660 kasus. 

Berbagai kasus kekerasan di ranah personal, publik, hingga negara menunjukkan bahwa ruang aman bagi perempuan masih membutuhkan perhatian dan kerja bersama lintas sektor.

Komisioner Komnas Perempuan Daden Sukendar menjelaskan pola budaya patriarki yang mengakar kuat di masyarakat menjadi salah satu faktor yang mendorong tingginya kasus kekerasan. Ketimpangan relasi ini menciptakan kerentanan yang semakin besar bagi perempuan.

Budaya tersebut juga berkontribusi pada keengganan korban untuk melapor. Banyak perempuan memilih bungkam karena masih kuatnya anggapan bahwa kekerasan adalah isu tabu yang harus disembunyikan dari lingkungan terdekat.

“Kalau kita lihat dari datanya, penyebabnya memang beragam. Namun secara umum, budaya patriarki yang masih mengakar ini menjadi faktor dominan. Itu kemudian menimbulkan budaya tutup mulut. Banyak korban memilih diam karena kasus kekerasan masih dianggap memalukan,” kata Daden dalam kegiatan Konsolidasi Masyarakat Sipil dan Pemerintah Daerah di Bandung pada Jumat 5 Desember 2025 lalu.

Dalam acara yang merupakan rangkaian kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 HAKTP) tersebut, Daden menegaskan kekerasan terhadap perempuan bisa terjadi pada siapa pun tanpa memandang latar belakang. 

Ia mencatat sejumlah kasus melibatkan pelaku dengan pendidikan tinggi dan status sosial ekonomi yang mapan.

“Tidak mengenal batasan pendidikan atau ekonomi. Ada guru besar menjadi pelaku, ada dokter menjadi pelaku. Artinya, ini bisa terjadi di mana saja dan dilakukan siapa saja,” jelasnya.Bottom of Form

Menurut data Komnas Perempuan tahun 2024, beberapa pihak yang diharapkan menjadi pelindung, teladan, dan perwakilan negara justru menjadi pelaku kekerasan, seperti PNS, guru, dosen, aparat penegak hukum, polisi, tni, tenaga medis, pejabat publik, hingga tokoh agama.

Daden mengungkapkan, penguatan kelembagaan Komnas Perempuan sangat penting terutama pasca-ditetapkannya Perpres Nomor 8 Tahun 2024. 

Perpres ini memberikan mandat yang lebih solid bagi Komnas Perempuan untuk mencapai tujuan penghapusan segala bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan serta pemajuan hak perempuan.

“Diperlukan kolaborasi yang lebih kuat antarorganisasi, termasuk dengan pemerintah pusat dan daerah, serta media untuk memperluas jangkauan advokasi dan edukasi,” ujarnya. 

Daden menuturkan setiap orang memiliki andil dalam menciptakan ruang yang lebih aman dari kekerasan. 

Misalnya melalui penguatan layanan terpadu bagi korban kekerasan, menyuarakan ruang aman bagi perempuan di semua konteks, menggunakan data kekerasan terhadap perempuan untuk memperkuat advokasi dan mendorong perubahan kebijakan, serta membangun solidaritas lintas gender dan lintas isu. 

“Penguatan solidaritas menjadi energi yang melindungi, sekaligus memperkuat perjuangan melawan kekerasan. Termasuk mendukung penyintas untuk ruang aman berbicara tentang pengalaman kekerasan tanpa takut resiko stigma, intimidasi, bahkan ancaman,” kata Daden.

Mengenai pembentukan ruang aman tersebut, Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Provinsi Jawa Barat memprioritaskan penyediaan akses rujukan dan pendampingan yang cepat dan terstruktur bagi korban melalui layanan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA).

Kabid Perlindungan Perempuan dan Anak DP3AKB Jabar Anjar Yusdinar menjelaskan kunci untuk meratakan layanan perlindungan adalah penguatan kelembagaan di tingkat lokal. 

“Sejalan dengan amanat Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) UU, pemprov Jabar terus mendorong pembentukan dan penguatan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) di setiap kabupaten dan kota,” ujarnya.

Ia menambahkan, inisiatif lainnya adalah program Jawa Barat Berani Cegah Tindakan Kekerasan (Jabar Cekas) yang berfokus pada lima pilar utama yaitu berani mencegah, menolak, melapor, maju, dan melindungi.

“Melengkapi layanan formal, kami juga meluncurkan inisiatif berbasis komunitas, yaitu Ruang Bersama Indonesia. Ini adalah gerakan kolaboratif dari seluruh elemen masyarakat dan pemangku kepentingan berbasis desa dan kelurahan, bersinergi menyelenggarakan program yang berperspektif perempuan dan anak,” papar Anjar. 

Peran jaringan masyarakat sipil dalam mengembalikan ruang aman menjadi pilar yang menggerakkan intervensi, pendampingan, dan advokasi di akar rumput. Hal tersebut diutarakan Sri Mulyati selaku pimpinan Sapa Institute. 

“Proyek besar atau situasi dengan mobilitas pekerja tinggi membawa perubahan demografi, interaksi sosial baru, potensi migrasi pekerja, dan komunitas terdampak. Hal ini membuka ruang terhadap eksploitasi, pelecehan, kekerasan, ketidakamanan, terutama bagi perempuan, dan kelompok rentan,” papar Sri.

Sri mengusulkan adopsi model Hexa-Helix berupa kerangka kolaborasi multipihak yang melibatkan enam aktor utama yaitu pemerintah, dunia usaha, akademisi, komunitas, media, dan masyarakat sipil. 

Model ini menjamin bahwa setiap intervensi menjadi inklusif, komprehensif, dan adaptif, sehingga sangat cocok untuk konteks Jawa Barat yang beragam.

“Pendekatan ini mendukung pencegahan dan respons terhadap kekerasan, pemulihan, perlindungan jangka panjang, dan keberlanjutan dengan melibatkan masyarakat terdampak sebagai aktor utama,” jelasnya.

 

Melawan Budaya Diam dalam Lingkup Akademik

Kampanye global 16 HAKTP yang berlangsung pada 25 November-10 Desember 2025 adalah "UNiTE to End Digital Violence against All Women and Girls". 

Tema tersebut mendorong pemerintah, perusahaan teknologi, komunitas, dan individu untuk bersama membangun ruang digital yang aman dan inklusif untuk semua orang di seluruh dunia.

Kampus sebagai pusat intelektual adalah medan vital dalam membangun ruang aman. Isu kekerasan seksual, khususnya kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE) menjadi sorotan serius di lingkungan kampus.

Gender Research Student Center Universitas Pendidikan Indonesia (Great UPI) mencatat adanya tren peningkatan kasus KSBE yang terjadi setiap tahun, yaitu 18 kasus (2022), 22 kasus (2023), dan 27 kasus (2024). 

Di sisi lain, hal tersebut dimaknai sebagai meningkatnya kepercayaan korban terhadap mekanisme penanganan yang tersedia.

“Angka itu bukan hal baik atau buruk. Kami lihat angka itu ada kepercayaan kepada Satuan Pencegahan dan Penanganan Isu Kritis (SPPIK). Isu ini adalah isu yang selalu kami kawal setiap tahun dan kekerasan di mahasiswa masih banyak,” ujar Arianti Apriani Sagita selaku ketua umum Great UPI dalam kesempatan terpisah.

Menurut Arianti, mendorong keberanian korban untuk melapor dan menghapus rasa malu adalah kunci dalam penanganan kasus kekerasan seksual. 

Great UPI berupaya mengubah stigma yang kerap menyalahkan korban (victim blaming). Mereka menekankan pentingnya peran setiap individu, bahkan yang bukan korban, untuk aktif menciptakan ruang aman.

“Kasus KSBE itu polanya berbeda, ada yang terjerat dalam hubungan atau latar belakang ekonomi. Banyak intervensi karena faktor yang melatarbelakangi. Keberanian laki-laki untuk melapor sebagai korban juga kami apresiasi karena banyak mitos dan stigma yang bilang laki-laki tidak mungkin jadi korban kekerasan,” tambah Arianti.

Untuk memperkuat edukasi literasi digital dan kesadaran tentang KSBE, Great UPI melakukan inisiatif dalam bentuk seminar dan pelatihan untuk membekali mahasiswa dengan pengetahuan keamanan digital. 

Dalam proses penanganan dan dukungan pun prinsip keberpihakan dan validasi pengalaman korban menjadi hal yang sangat ditekankan.

“Dalam diskusi kami selalu terbuka dan menyampaikan bahwa setiap pengalaman itu valid. Ketika korban datang melapor dan cerita kronologis, kami punya asas keadilan dengan mendengarkan terlebih dulu, perasaan korban kami validasi,” sahut Arianti.

KSBE sebagai isu krusial di kalangan mahasiswa juga diakui oleh Yasmine Awalia Evlin, ketua inisiatif Safe Digitalk. 

Menurutnya masih banyak mahasiswa yang tidak menyadari bahwa tindakan mereka melanggengkan kekerasan siber, seperti bergosip dan doxing di media sosial yang seringkali disamarkan dengan dalih sanksi sosial.

“Ada faktor lain yang membuat mahasiswa rentan jadi korban yaitu relasi kuasa, baik dari ekonomi, umur, gender, dan jabatan. Relasi kuasa tidak hanya antara dosen dan mahasiswa, tapi juga lingkup terkecil seperti organisasi antara ketua dengan anggota,” kata Yasmine.

Ia menyoroti salah satu tantangan dalam penanganan kekerasan seksual adalah ketakutan korban untuk melapor karena khawatir identitasnya terancam dan stigma yang diterimanya. Oleh karena itu perlu ada strategi yang suportif. 

Safe Digitalk memprioritaskan literasi digital berbasis gender yang fokus pada kasus-kasus kekerasan yang paling sering dialami mahasiswa, seperti KSBE dalam hubungan romantis dan saat beraktivitas daring.

“Kesadaran ini tidak hanya menjadi tanggung jawab organisasi atau pihak kampus, tetapi juga harus dimulai dari individu mahasiswa itu sendiri. Stop melakukan kekerasan bahkan gosip. Jangan takut menegur orang yang terlihat melakukan dan jangan takut melapor. Pahami perspektif yang inklusif. Jaga ketikan, riset dulu, pikir ulang sebelum posting,” tutur Yasmine yang juga Duta Anti Kekerasan Universitas Soedirman 2025 tersebut.

Ia memandang inisiatif pencegahan KSBE tidak hanya berhenti pada momentum kampanye seperti 16HAKTP. Strategi yang digunakan adalah mengintegrasikan edukasi tersebut ke dalam berbagai kegiatan mahasiswa. 

"Edukasi yang sudah dilakukan menyebar lewat kegiatan lain, misalnya membuat program edukasi untuk internal organisasi, jurnalisme berperspektif gender, edukasi menguatkan keamanan siber, dan menyuarakan anti kekerasan. Saat KKN juga bisa menyebarkan edukasi ini ke desa-desa. Jadi penyebarannya bisa luas dalam berbagai area implementasinya,” paparnya. 

Kepada korban yang mungkin masih merasa takut melapor, Yasmine berpesan agar tidak ragu mencari pertolongan. Ia menekankan pentingnya mencari dukungan dan tidak melalui proses pemulihan seorang diri.

Kasus KSBE yang kini diakomodasi dalam UU TPKS menjadi ancaman serius bagi perempuan di ruang digital. 

Ketua Pusat Riset Gender dan Anak Universitas Padjadjaran, Antik Bintari, memaparkan jenis kekerasan digital yang paling sering dialami korban saat ini adalah manipulasi tubuh menggunakan akal imitasi (AI) dan penyebaran konten intim yang sering kali dilakukan oleh orang terdekat.

“Faktor terbesar yang membuat perempuan lebih rentan mengalami kekerasan digital adalah budaya patriarki dan relasi kuasa yang timpang. Dalam patriarki, lelaki dianggap mendominasi dalam segala hal. Dalam konteks dia punya kekuasaan dianggap berhak untuk menguasai lebih banyak daripada perempuan, termasuk tubuh orang lain," tuturnya.

Budaya patriarki tidak hanya menciptakan ketimpangan relasi kuasa, tetapi juga memengaruhi pola pendidikan dan narasi media yang secara tidak langsung menyudutkan perempuan. 

Antik melihat pola pengasuhan sering kali tidak membekali perempuan dengan kesadaran akan penghargaan terhadap tubuhnya, serta media yang kerap tidak berpihak. 

“Pola pendidikan kita sering tidak memberikan kesempatan kepada perempuan untuk belajar mengekspresikan dirinya, seperti mengatakan penolakan, tidak setuju atas segala sesuatu karena dianggap ya perempuan menerima aja. sejak awal kita harus didik anak kita untuk sama-sama menghargai tubuhnya. Bicara keadilan gender adalah tentang etika kepedulian termasuk ke diri sendiri, " ujarnya.

Antik juga menyayangkan kasus penyebaran konten intim tanpa persetujuan masih sulit ditangani meskipun UU TPKS sudah disahkan. 

Menurutnya, masalahnya bukan pada payung hukum, melainkan pada implementasi sistem pelaksanaannya. 

“Saat ini victim blaming juga masih sering terjadi di masyarakat di mana korban justru dipersalahkan karena menciptakan atau menyebarkan foto intim. Media dan semua pihak harus berperan aktif untuk menggeser paradigma ini. Harus disampaikan victim blaming tidak menyelesaikan masalah. Toh sudah terjadi juga. Kalau sudah terjadi berarti tidak boleh menyalahkan korban,” jelasnya.

Antik mendorong penguatan kebijakan pemerintah untuk melindungi perempuan dari KSBE harus fokus pada peningkatan kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia di lini depan penanganan. Misalnya personel di unit penanganan khusus perlu memiliki pemahaman mendalam tentang isu gender melalui pelatihan berkelanjutan.

“Dampak kekerasan digital terhadap korban sangat luas dan sering kali meninggalkan trauma mendalam. Ini membutuhkan penanganan psikologis dan dukungan jangka panjang. Dalam prinsip penanganan korban itu perspektifnya adalah betul-betul keberpihakan pada kepentingan terbaik korban. Jadi tidak diskriminatif terhadap kepentingan terbaik korban dan pelapor. Pastikan mereka tidak tergoncang,” ujar Antik.

Bagi korban KSBE yang berani mengambil langkah melaporkan kasus, ia menekankan pentingnya segera mengamankan bukti dan mencari orang terpercaya untuk mendampingi.

Perlu langkah realistis agar setiap pihak dalam meningkatkan keselamatan dari potensi bahaya kekerasan digital. Antik menyarankan peningkatan kewaspadaan terutama dalam mengakses tautan mencurigakan dan berbagi data pribadi. 

"Hati-hati dalam akses apapun seperti tautan. Pastikan tautan itu resmi dari institusi tertentu. Jangan memberikan data dan foto pribadi. Kalau ada hal mencurigakan dan sekiranya akan mengganggu tubuh dan pikiran, segera blok akun tersebut dan laporkan," tukas Antik.

Editor: Redaktur TVRINews


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
SEA Games 2025: Menpora Tekankan Kehadiran Ketum Cabor Jadi Ukuran Komitmen Pembinaan
• 9 jam lalutvrinews.com
thumb
Muncul Usulan Kapolri Dipilih Presiden, Ini Daftar 9 Kapolri yang Pernah Disetujui DPR
• 6 jam lalukompas.com
thumb
Kebut Pembangunan Infrastruktur, IIF Dapat Kucuran Rp500 Miliar dari CCB Indonesia
• 3 jam lalumetrotvnews.com
thumb
Kunjungi Korban Banjir di Aceh, Presiden Prabowo Minta Anak-Anak Tetap Semangat dan Janjikan Bantuan Hingga Pulih
• 10 jam lalupantau.com
thumb
54 WNI yang Terjaring di Markas Scam Myanmar Dipulangkan ke RI Besok
• 6 jam laludetik.com
Berhasil disimpan.