JAKARTA, KOMPAS - Program Presiden Prabowo Subianto untuk melistriki 80.000 desa dengan pembangkit listrik tenaga surya melibatkan Koperasi Desa Merah Putih (KDMP) menghadapi sejumlah tantangan. Bentuknya mulai dari regulasi hingga skema pembiayaan.
Dwi Wulan Ramadani, Policy Strategist Coordinator Cerah, dalam diskusi bertajuk "Menakar Kelayakan PLTS 100 GW, Analisis Teknis, Finansial dan Institusional" di Jakarta, Jumat (12/12/2025), mengapresiasi langkah Presiden yang bisa mendukung percepatan transisi energi. Namun, program ini menurutnya menghadapi sejumlah tantangan dari segi regulasi.
Contohnya, Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik yang masih membuka celah pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) baru untuk industri tertentu. Sementara, mandat pensiun dini PLTU belum jelas.
Pembangunam Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) berkapasitas 100 gigawatt GW merupakah salah satu program prioritas pemerintah. Proyek ditargetkan tuntas dalam lima tahun. Ini tertuang dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034.
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2025 tentang Kebijakan Energi Nasional bahkan menggeser target bauran energi dari 23 persen pada 2025 ke rentang 19–23 persen hingga 2030.
Payung hukum untuk Koperasi Desa Merah Putih (KDMP) sebagai pengelola 100 GW PLTS belum tersedia. Tidak seperti BUMDes yang sudah diatur dalam Perpres 2021, KDMP belum memiliki pedoman tata kelola, struktur investasi, pembagian risiko, serta mekanisme operasi dan pemeliharaan.
Selain itu, proyek ambisius ini juga dinilai berpotensi terganjal oleh pendanaan lantaran kebutuhan investasinya cukup besar. Diperkirakan, program ini membutuhkan investasi mencapai 250 miliar dollar AS atau setara Rp 4.125 triliun (kurs Rp 16.500), jika dilengkapi dengan baterai, mengacu data Kementerian ESDM.
Nilai itu dihitung dari kebutuhan pembangunan PLTS per desa sebesar 1 megawatt (MW). Pada 2024, kebutuhan dana untuk 1 MW PLTS mencapai 900.000 dollar AS atau setara Rp 14,58 miliar, turun dari 1-1,5 juta dollar AS pada 2023. Meski makin murah, nilai itu jauh lebih besar jika dibanding dana desa sebesar Rp 1 miliar per tahun.
“Ditinjau dari sisi pembiayaan, jika program KDMP hanya mendapatkan plafon pinjaman dari bank sekitar Rp 3 miliar selama 6 tahun, maka jumlah tersebut masih belum menutup modal pembangunan PLTS 1 MW,” kata Dwi dalam paparannya.
Perbankan nasional, di satu sisi, belum memiliki skema risiko khusus untuk mendanai proyek energi desa. Perbankan, menurut Dwi, cenderung memilih membiayai proyek besar yang memiliki standar teknis dan risiko terukur.
Oleh karena itu, salah satu solusi yang dapat dilakukan pemerintah yakni membuat skema project bundling. Skema ini menggabungkan beberapa proyek dalam satu portofolio sehingga menjadi lebih menarik bagi investor. Skema ini akan menurunkan risiko, biaya administrasi dan meningkatkan kredit portofolio.
"Pendekatan ini memungkinkan penerbitan instrumen pembiayaan seperti green bond atau sukuk hijau dengan tenor 10-25 tahun. Model bundling telah terbukti berhasil di Nigeria dalam mempercepat investasi energi terbarukan skala komunitas,” kata Dwi.
Peran dan kapasitas KDMP dalam proyek raksasa ini juga perlu diperjelas dan diperkuat, baik dari sisi kelembagaan, tata kelola, kapasitas teknis maupun pembagian manfaatnya. Sebab, jika setiap desa atau koperasi bertindak sebagai operator dan pemilik sistem PLTS, maka akan ada 80.000 entitas berbeda yang membutuhkan regulasi, audit, pemeliharaan dan pengawas masing-masing. Hal ini justru berpeluang menimbulkan risiko kendala administrasi di kemudian hari.
Menaikkan pungutan ekspor batubara sekitar 5 persen pada 2026. Ini berpotensi menghasilkan penerimaan negara Rp 20-90 triliun per tahun dan dapat membiayai 18.000 desa.
Pada kesempatan sama, Lead Researcher SUSTAIN Indonesia, Adila Isfandiari, menilai bahwa Indonesia memiliki dua potensi sumber pembiayaan target 100 GW. Pertama, menaikkan pungutan ekspor batubara sekitar 5 persen pada 2026. Ini berpotensi menghasilkan penerimaan negara Rp 20-90 triliun per tahun dan dapat membiayai 18.000 desa.
Kedua, memanfaatkan investasi dalam Belt and Road Initiative (BRI) China. Jika dana Rp 14,4 triliun per tahun untuk pengembangan energi terbarukan, maka alokasi itu akan dapat membiayai 32 proyek setara PLTS Cirata.
“Untuk merealisasikan target 100 GW, pemerintah harus membuat regulasi yang mendukung, salah satunya pengalokasian pembiayaan khusus untuk program ini di APBN (earmarked). Selain itu, pemerintah juga perlu menciptakan iklim investasi yang baik untuk pengembangan manufaktur solar dalam negeri dan PLTS, yakni dengan memberikan kepastian proyek dan insentif yang menarik," kata Adila.
Climate Program Manager Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), Kiara Putri Mulia, juga mengingatkan pemerintah jangan hanya terpaku target besar. Indonesia disebutnya dapat mencontoh dua negara lain yang telah berhasil meningkatkan energi surya dengan kapasitas besar, yakni India dan Vietnam.
Kapasitas PLTS India pada 2010 dan Vietnam pada 2019 masih sangat rendah. Namun dengan kebijakan yang mendukung, kapasitas PLTS di dua negara tersebut melonjak cepat hingga melampaui yang telah ditargetkan.
India memiliki kementerian khusus yang menangani energi baru dan terbarukan dan BUMN khusus. Vietnam juga mereformasi sistem ketenagalistrikannya dari yang sebelumnya dikontrol negara dengan membukanya menjadi skema feed in tariff atau kontrak jangka panjang kepada produsen energi terbarukan.
"Dalam kaitannya dengan Indonesia, target 100 GW ini bisa menjadi transformasi sistem energi kita jadi lebih bersih dan bisa menciptakan kesejahteraan,” kata Kiara.
Rabu (26/11/2025), Presiden Prabowo Subianto memanggil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia ke Istana Merdeka, Jakarta, untuk membahas percepatan implementasi program tersebut. Bahlil menjelaskan bahwa pembahasan teknis telah mencapai tahap akhir, terutama terkait skema pelaksanaan dan pembiayaan proyek.
Mengutip laman Kementerian Sekretariat Negara RI, pemerintah menargetkan agar program tersebut dapat segera berjalan. “Alhamdulillah tadi sudah hampir selesai, tapi kita lihat skemanya sekarang yang kita lagi bahas dengan pembiayaannya,” kata Bahlil.
Program besar ini ditujukan untuk membawa listrik bersih dan terjangkau hingga ke desa-desa dan wilayah terpencil, memperkuat ketahanan energi nasional, sekaligus mempercepat transisi menuju masa depan Indonesia yang mandiri dan berkelanjutan.





