SLEMAN, KOMPAS – Wakil Ketua Umum Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa Prof Ki Supriyoko (69) berpulang pada Sabtu (13/12/2025) dini hari di Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta. Supriyoko dikenal sebagai tokoh pendidikan yang konsisten menjalankan nilai-nilai luhur warisan Tamansiswa.
Rektor Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST), Yogyakarta, Prof Pardimin, mewakili pimpinan dan sivitas akademika UST, menyampaikan rasa dukacita mendalam atas berpulangnya Supriyoko. Supriyoko juga menjabat sebagai Direktur Program Pascasarjana Pendidikan UST Yogyakarta.
“Pada hari ini tanggal 13 Desember 2025 sekitar pukul 03.15 WIB, Prof Ki Supriyoko dipanggil Allah SWT di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Gamping, Sleman,” ujar Pardimin.
Menurut rencana, jenazah Supriyoko akan dimakamkan di Kompleks Makam Sasonoloyo Dukuh Turi, Desa Donokerto, Kecamatan Turi, Sleman, Sabtu pukul 14.00 WIB.
Pardimin mengatakan, di lingkungan kampus, Supriyoko dikenal sebagai sosok yang baik hati dan bertanggung jawab dalam mengemban tugasnya. Pardimin mengenang, setiap ada kegiatan di Program Pascasarjana Pendidikan, Supriyoko selalu hadir.
“Misalnya, waktu teman-teman staf lembur untuk proses menyusun akreditasi, beliau datang memberikan semangat. Ini dilakukan meski kondisi kesehatannya sedang kurang baik,” ucap Pardimin.
Di luar kampus, Pardimin mengatakan, Supriyoko juga memiliki dedikasi tinggi dalam dunia pendidikan, termasuk pendidikan agama. Supriyoko mendirikan Pesantren Ar-Raudah di Kecamatan Turi, Sleman.
Di kompleks yang sama, Supriyoko juga mendirikan Sekolah Insan Cendekia. Sekolah itu terdiri dari tingkatan kelompok bermain, taman kanak-kanak, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah kejuruan.
Sebagai pengajar, Supriyoko pun dikenal konsisten menjalankan nilai-nilai luhur warisan pendiri Tamansiswa, Ki Hadjar Dewantara. Supriyoko dan Pardimin diangkat bersamaan sebagai dosen pegawai negeri yang dipekerjakan (DPK) di UST pada 1983.
Perwujudan nilai-nilai Tamansiswa itu salah satunya melalui pendidikan karakter. Supriyoko selalu membekali pendidikan karakter kepada mahasiswa atau anak didiknya.
Apa artinya kita berilmu tinggi kalau tidak beradab?
Pardimin, yang juga menjabat Wakil Ketua Umum Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa bersama Supriyoko, memiliki pemahaman yang sama perihal pendidikan karakter ini. Menurut dia, pembentukan karakter, adab, dan budi pekerti harus mendahului ilmu.
“Apa artinya kita berilmu tinggi kalau tidak beradab? Pendidikan itu bukan sekadar pembelajaran membuat pintar dalam ilmu pengetahuan, tapi lebih dari itu. Itu semua terlihat pada diri beliau (Supriyoko) saat mengajar atau memberi ceramah. Beliau terapkan langsung dalam keseharian,” kata Pardimin.
Secara terpisah, Ketua Umum Perkumpulan Keluarga Besar Tamansiswa (PKBTS) Muhammad Munawaroh juga menyampaikan rasa dukanya atas kepergian Supriyoko. PKBTS merupakan lembaga yang menghimpun orang-orang yang pernah belajar di sekolah dan perguruan tinggi di bawah Tamansiswa.
“Beliau adalah salah satu orang yang besar jasanya bagi Tamansiswa,” ucap Munawaroh.
Menurut Munawaroh, Supriyoko sangat menaruh perhatian pada dunia pendidikan, termasuk peserta didiknya di pesantren. “Beliau sering melakukan aktivitas sosial mengumpulkan dana sedekah untuk memberikan beasiswa kepada muridnya,” tuturnya.
Munawaroh pun menyebut Supriyoko mengamalkan ajaran-ajaran Ki Hajar Dewantara dalam semua lini pendidikan yang digelutinya, termasuk di pesantren. “Beliau pernah kami undang sebagai narasumber untuk menjelaskan tentang penerapan Sistem Among sebagai ajaran Tamansiswa,” katanya.
Berdasarkan penjelasan di laman Tamansiswa, Sistem Among dikembangkan Ki Hajar Dewantara sebagai pengganti sistem pendidikan kolonial Belanda pada 1922. Selain ilmu pengetahuan, Sistem Among juga menempatkan nilai-nilai budaya bangsa, kebangsaan, keterampilan, dan kesenian sebagai elemen penting pembelajaran peserta didik.
Dalam catatan Kompas, Supriyoko juga kerap menuangkan pemikirannya melalui tulisan terkait berbagai aspek pendidikan. Pada kolom Opini Harian Kompas 6 Juni 2018, misalnya, Supriyoko menyampaikan keresahannya dalam artikel berjudul “Beban Guru”.
Dalam tulisan tersebut, Supriyoko menyoroti beban administratif guru yang sangat berat kala itu sehingga membuat mereka tidak mampu menjalankan tugas utamanya secara memadai. “Tanpa dapat menjalankan tugas utama secara memadai, maka sulit kita mengharapkan hasil belajar yang memadai,” tulis Supriyoko.
Dia pun mengusulkan agar berbagai beban administratif guru itu dikurangi secara signifikan, kalau perlu dipangkas habis. Hal ini agar guru dapat berfokus pada tugas utama mendidik, mengajar, memfasilitasi, melayani, merancang, mengelola, dan menilai terkait dengan proses pembelajaran.
Selamat jalan, Ki Supriyoko...


