Makanan olahan memang jadi 'pahlawan super' bagi kita yang super sibuk, entah di tengah hiruk pikuk kota atau kesibukan di desa. Cukup buka, panaskan, dan langsung santap!
Namun, kita harus hati-hati. Semudah makanan ini kita dapatkan dan santap, sering kali kualitas gizi atau mutu kandungannya tidak sebagus yang kita harapkan. Betapa banyak dari kita memilih produk hanya karena kemasannya yang cerah atau klaim iklan yang menjanjikan badan sehat dan langsing, tanpa benar-benar tahu apa yang masuk ke dalam tubuh kita.
Inilah akar masalah yang harus kita soroti: rendahnya literasi konsumen dalam memahami informasi krusial pada pelabelan dan iklan produk makanan olahan.
Membongkar Jebakan Serving SizeSaya pernah mengamati seorang ibu muda di sebuah minimarket yang memilih biskuit untuk anaknya. Ia mengambil kemasan dengan tulisan besar "Hanya 100 Kalori Per Sajian!" dan merasa aman serta sehat.
Padahal, label Informasi Nilai Gizi (ING) di bagian belakang menunjukkan bahwa meskipun kalorinya rendah, serving size atau porsi sajiannya hanya separuh dari biskuit yang ia santap. Dalam sekali makan biskuit utuh, ia tanpa sadar telah memasukkan gula dan lemak dua kali lipat dari yang ia perkirakan. Ini adalah jebakan serving size.
Kisah ini membuktikan bahwa label nutrisi yang rumit sering membuat mayoritas konsumen bingung. Meskipun kita sering terpapar informasi tentang label makanan, penelitian terbaru mengungkap prioritas pembaca kita salah kaprah.
Fokus utama kita masih seputar merek dan tanggal kedaluwarsa (sekitar 73% hingga 77% responden), diikuti oleh label halal (sekitar 70%). Angka ini sejalan dengan temuan dalam studi Ikrima, Giriwono, dan Rahayu (2023) yang menunjukkan prioritas serupa pada mahasiswa.
Sebaliknya, keinginan untuk benar-benar memahami detail Informasi Nilai Gizi (ING) sangat rendah. Beberapa studi—termasuk kajian dari Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) dan penelitian pada mahasiswa—menemukan bahwa hanya sekitar 6,7% sampai 7,2% konsumen yang serius memperhatikan Informasi Nilai Gizi (ING) secara mendalam atau mengaku tidak paham dengan isinya.
Padahal, situasinya darurat! Data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 menunjukkan penyakit akibat pola makan yang buruk melonjak signifikan, seperti hipertensi yang mencapai 29,2% dan obesitas 23,4%.
Statistik kesehatan yang baru kita lihat sangat berkaitan erat dengan pola makan kita sehari-hari, yaitu sering menyantap makanan olahan (junk food) yang kadar Gula, Garam, dan Lemaknya (GGL) sangat berlebihan.
Jelas sekali, format Informasi Nilai Gizi (ING) kita yang penuh angka dan istilah ilmiah sudah tidak mempan untuk meningkatkan pemahaman dan mendorong kita hidup sehat.
Oleh karena itu, menyederhanakan pelabelan menjadi sebuah kebutuhan mendesak.
Waspada Gula TersembunyiDi tengah kesibukan kantor, saya sering melihat rekan kerja yang concern dengan kesehatan dan memilih minuman kemasan sebagai pengganti sarapan. Ia yakin betul dengan klaim produk "Rendah Lemak dan Tinggi Protein" sebagai solusi diet cepat.
Namun, saat kami iseng membandingkan, minuman yang katanya "rendah lemak" itu ternyata menggunakan sirop glukosa dan maltodekstrin yang justru menempati urutan teratas di daftar bahan. Praktis, kandungan gulanya jauh lebih tinggi daripada perkiraan awal.
Kisah ini membuktikan betapa lihainya iklan produk olahan merayu para pekerja yang mencari kepraktisan berlabel "sehat". Mereka menggunakan klaim seperti "rendah lemak" tanpa menjelaskan konteks nutrisi yang utuh.
Padahal, menurut para ahli gizi, produk yang lemaknya dikurangi sering ditambahkan gula dalam berbagai nama samaran (seperti dekstrosa atau sirop jagung) untuk mempertahankan rasa. Ini secara langsung membuat kita melampaui batas asupan gula harian rekomendasi WHO, yaitu hanya sekitar 25 gram (4–5 sendok teh).
Datanya pun mengkhawatirkan: Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 menunjukkan bahwa kebiasaan minum minuman manis kemasan sangat berkontribusi pada melonjaknya prevalensi diabetes tipe 2 di Indonesia, mencapai sekitar 11,7% (menurut BKPK Kemenkes 2024). Fakta ini menegaskan bahwa janji "sehat" pada label tak sebanding dengan risiko gula tersembunyi yang mengintai.
Aturan Emas Daftar KomposisiSaya punya teman penderita diabetes yang berhati-hati sekali saat membeli bumbu instan. Ia berusaha menghindari penguat rasa (Monosodium Glutamat–MSG) dan gula. Dia tadinya langsung girang karena yakin dengan bumbu yang dipilihnya. Alasannya, di iklan bumbu itu dipajang gambar daun dan rempah-rempah, seolah-olah bahan utamanya memang alami dan segar.
Namun, saat ia membalik kemasan dan mengecek daftar komposisi, ia terkejut: garam, penguat rasa (Monosodium Glutamat-MSG), dan gula justru berada di urutan kedua dan ketiga terbanyak, mengalahkan rempah-rempah asli yang dijagokan di depan.
Kisah ini membuktikan bahwa daftar komposisi (bahan) adalah 'alat pelacak' yang paling jujur. Konsumen harus tahu aturan emasnya: urutan bahan menunjukkan kuantitasnya.
Bahan yang paling banyak pasti diletakkan di urutan awal. Jadi, literasi yang baik adalah mengetahui bahwa bila gula atau nama samaran pemanis lainnya (seperti dekstrosa, maltodekstrin, atau sirop jagung) ada di posisi tiga teratas; produk itu adalah 'bom' gula tersembunyi.
Kemampuan membaca daftar komposisi ini penting sekali, lho. Soalnya, banyak banget produk—terutama yang dari luar negeri (impor)—yang bandel dan kedapatan melanggar aturan label.
Solusi dan Ajakan: Literasi Label Adalah VaksinKarena masih banyak orang yang belum paham cara membaca atau memahami informasi gizi pada kemasan, semua pihak—tanpa terkecuali— segera ambil langkah dan ikut serta meningkatkan pengetahuan ini.
Pemerintah dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) harus didorong untuk segera memberlakukan regulasi pelabelan yang lebih tegas. Indonesia perlu mempertimbangkan penerapan Label Gula Garam Lemak (GGL) Depan Kemasan (LGDK) atau label peringatan bergambar.
Hasil penelitian terbaru menunjukkan: menyajikan informasi dengan lambang atau simbol sederhana ternyata jauh lebih ampuh. Cara ini membuat pesan lebih mudah masuk dan dicerna oleh penerima daripada kita menampilkan angka-angka atau istilah-istilah ilmiah yang ribet.
Sebagai contoh, implementasi pelabelan hitam Oktagonal di negara-negara Amerika Latin, seperti Cile dan Meksiko, berhasil mengubah pola pembelian masyarakat ke arah yang lebih sehat dan meningkatkan pemahaman konsumen hingga 40% lebih tinggi dibandingkan label standar (sesuai kajian Pan American Health Organization/PAHO-WHO).
Di dalam negeri, terobosan BPOM sejak 2019 dengan desain monokrom dan logo "Pilihan Lebih Sehat" adalah langkah awal yang baik. Namun, regulasi ini perlu diperluas cakupannya ke semua produk pangan olahan yang tinggi Gula Garam Lemak (GGL), tidak hanya terbatas pada beberapa kategori, guna menciptakan dampak sistemik yang lebih besar.
Meskipun demikian, sebagai konsumen, kita tidak bisa hanya menunggu regulasi. Kita wajib mulai meningkatkan literasi pribadi kita sendiri. Jangan mudah terbuai oleh janji manis di bungkus depan. Biasakanlah untuk membalik, membaca, dan membandingkan setiap label, karena kendali atas kesehatan kita dimulai dari piring kita sendiri.





