FAJAR, JAKARTA — Kegagalan Tim Nasional Indonesia U-22 di SEA Games 2025 kembali membuka perdebatan lama soal arah pembinaan dan pengambilan keputusan di tubuh Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI).
Tim yang sebelumnya digadang-gadang sebagai salah satu kandidat kuat justru tersingkir lebih awal, bahkan sebelum mencapai babak semifinal.
Garuda Muda dipastikan tersingkir setelah hanya finis di fase grup. Kemenangan 3–1 atas Myanmar pada laga terakhir Grup C di Stadion 700th Anniversary, Chiang Mai, Thailand, Jumat malam, 12 Desember 2025, tidak cukup menyelamatkan langkah Indonesia.
Regulasi hanya meloloskan satu runner-up terbaik, dan slot itu jatuh ke tangan Malaysia karena unggul selisih produktivitas gol.
Hasil ini terasa kontras dengan ekspektasi publik. Timnas U-22 datang ke SEA Games dengan persiapan panjang, komposisi pemain yang disebut “mewah”, serta empat pemain naturalisasi yang diharapkan memberi perbedaan. Namun, semua itu tak berbanding lurus dengan performa di lapangan.
Pengamat sepak bola senior Tommy Welly—yang akrab disapa Towel—melontarkan kritik keras. Ia menilai kegagalan ini bukan sekadar soal hasil, melainkan cerminan masalah mendasar dalam manajemen tim nasional.
“Secara keseluruhan permainannya jelek. Padahal di awal banyak prediksi ini tim kuat, bahkan sempat menang melawan Mali. Dengan empat pemain naturalisasi, seharusnya kualitasnya terlihat. Tapi faktanya, ini justru paradoks—gagal total,” ujar Towel dalam sebuah diskusi sepak bola.
Menurut dia, ada dua akar persoalan utama: kepelatihan dan proses penunjukan pelatih. Towel menyoroti lamanya pemusatan latihan yang dijalani tim ini dibandingkan turnamen kelompok umur lain, termasuk Piala AFF dan ajang U-23 sebelumnya. Alih-alih menghasilkan tim yang matang, hasilnya justru dianggap mengecewakan.
“TC-nya panjang. Bahkan manajer tim bilang suasananya bagus, katanya mirip era Shin Tae-yong. Tapi hasilnya flop. Jauh sekali dari harapan,” kata dia.
Dari sisi teknis, Towel mengkritik pendekatan taktik yang dinilainya miskin variasi. Ia menyebut ketergantungan pada lemparan ke dalam sebagai simbol kebuntuan ide.
“Kalau harus menang tapi caranya cuma lemparan ke dalam terus, itu tanda kehabisan akal. Berapa kali Robi Darwis melakukan itu? Bahkan saya bingung, dia main bek kiri atau bek tengah? Ada kebingungan taktik,” ujarnya.
Kritik juga diarahkan kepada Wakil Ketua Umum I PSSI Zainudin Amali, yang sebelumnya memuji Indra Sjafri sebagai pelatih bertangan dingin dengan pendekatan sports science. Narasi itu kini dipertanyakan seiring kegagalan di SEA Games.
“Dibilang pelatih hebat, sports science, target emas. Tapi semua itu tidak terbukti. Pernyataan-pernyataan itu kosong. Tidak ada satu pun argumen yang terbukti benar di lapangan,” kata Towel.
Lebih jauh, ia menilai penunjukan Indra Sjafri sebagai pelatih Timnas U-22 tidak melalui mekanisme profesional berbasis kompetensi. Ia menyebut adanya faksi dan favoritisme dalam struktur tim SEA Games 2025.
“Ini timnya faksi tertentu. Padahal masih banyak pelatih lain yang punya lisensi Pro dan rekam jejak bagus. Tapi yang itu-itu saja dipilih. Kenapa? Karena favoritisme,” ujar Towel.
Sebagai penanggung jawab utama tim SEA Games, Zainudin Amali dinilai tidak bisa melepaskan diri dari tanggung jawab atas kegagalan ini.
“Dia PIC-nya. Maka dia harus bertanggung jawab,” kata Towel menegaskan.
Kegagalan di SEA Games 2025 menambah daftar panjang inkonsistensi prestasi sepak bola Indonesia di level kelompok umur.
Di tengah memori publik tentang era Shin Tae-yong—saat tim nasional mampu mengalahkan Australia dan Korea Selatan—hasil ini kembali memunculkan pertanyaan mendasar: apakah PSSI sungguh belajar dari keberhasilan, atau justru terus mengulang kesalahan yang sama.




