Banjir Bukan Lagi Bencana Alam, Ini adalah Kegagalan Tata Kelola Manusia

harianfajar
5 jam lalu
Cover Berita

Oleh Dian Fakhirah Nur Adiyat

“Sampai kapan kita akan menyebut banjir sebagai bencana alam, ketika yang merusak alam justru lahir dari kebijakan manusia?”

“Ketika hutan yang seharusnya menjadi peredam air berubah menjadi ladang gundul, bukankah banjir hanyalah konsekuensi logis dari kesalahan yang kita pelihara?”

Pertanyaan itu terus menggema di kepala saya, melihat kondisi Sumatera dan Aceh yang terendam air hingga saat ini.

Hujan deras mungkin turun dari langit, tetapi kerusakan yang membuat air tak lagi punya ruang mengalir menimbulkan pertanyaan, siapa yang mengizinkannya terjadi?

Ketika hutan ditebang, lahan resapan dikonversi menjadi perkebunan raksasa, dan sungai menyempit oleh izin pembangunan, apakah banjir masih pantas disebut sebagai musibah alam semata? Atau sesungguhnya kita sedang memanen akibat dari Keputusan pemimpin yang keliru?

Di tengah tumpukan pertanyaan itu, satu hal menjadi terang: banjir di Sumatera dan Aceh tidak berdiri sendiri. Ia adalah cermin dari tata kelola lingkungan yang lemah dari pemerintah daerah hingga pusat yang selama bertahun-tahun mengabaikan peringatan ilmiah dan suara masyarakat.

Di sinilah akar persoalan mulai terlihat, membuka jalan untuk membedah bagaimana kebijakan, kelalaian, dan pengawasan yang longgar berperan besar dalam membentuk bencana yang kini kita alami.

Alasan ini semakin kuat saat kita meninjau dan mau membuka mata melihat fakta di lapangan. Banjir bandang yang merendam tiga provinsi sekaligus: Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat meninggalkan duka mendalam: 969 orang meninggal, 5.000 terluka, dan 262 masih hilang, menurut data dashboard Geoportal BNPB (Serambinews, 10 Desember 2025).

Angka-angka ini bukan sekadar statistik melainkan bukti paling jelas bahwa kelalaian ekologis telah berubah menjadi tragedi kemanusiaan.

Para ahli pun menguatkan alasan ini. Dalam artikel Kompas berjudul “Pakar UGM Ungkap Penyebab Banjir Sumatera Tak Cuma Curah Hujan Ekstrem”, Dr. Ir. Hatma Suryatmojo menegaskan bahwa pembukaan lahan di hulu, permukiman yang merambat ke dataran tinggi, dan perubahan fungsi hutan telah memperbesar limpasan permukaan.

Ia menyebut kondisi ini sebagai “dosa ekologis” – kegagalan kolektif yang membuat hutan tak lagi mampu menjadi peredam air.

Pandangan ini sejalan dengan Melva Harahap dari Wahana Lingkungan Hidup, yang menyebut bahwa banjir di Sumatra menjadi begitu mematikan karena daya dukung dan daya tampung lingkungan di zona penyangga telah runtuh.

Zona yang seharusnya berupa hutan, rawa, dan ruang terbuka hijau kini berubah menjadi kawasan terbangun dan perkebunan, meninggalkan wilayah tanpa perlindungan ekologis yang seharusnya mereka miliki (Tirto.id, “Apa Saja Penyebab Banjir Sumatra? Ini Kata BMKG dan Walhi”).

Temuan ilmiah semakin memperkuat argumen ini. Penelitian berjudul “Subsidence and Deforestation: Implications for Flooding in Deltas Southeast and East Asia” oleh Nurhamidah, Nick van de Giesen, dan Olivier Hoes menunjukkan bahwa banjir di kawasan delta Asia Tenggara, termasuk Sumatera adalah hasil dari akumulasi kerusakan ekologis yakni deforestasi masif, penurunan muka tanah akibat ekstraksi air tanah, dan alih fungsi rawa gambut.

Rawa yang dulu berfungsi sebagai natural retention area kini tak lagi mampu menyerap air karena direklamasi untuk perkebunan dan pertanian. Penurunan tanah membuat wilayah pesisir semakin rendah, sehingga air pasang dan limpasan sungai masuk lebih mudah.

Kombinasi ini menciptakan kondisi di mana banjir dapat terjadi kapan saja bahkan ketika hujan tidak ekstrem. Sebuah bukti bahwa yang salah bukan cuaca, tetapi tata kelola lingkungan.

Temuan ini melengkapi alur logis utama: banjir adalah efek berantai dari kebijakan yang mengorbankan sistem hidrologi demi perluasan industri dan perkebunan ketika pilihan pembangunan yang tidak sejalan dengan daya dukung lingkungan.

Maka, menyalahkan hujan adalah cara termudah untuk menghindari tanggung jawab. Akar persoalannya sangat jelas: kesalahan tata kelola.

Izin pembukaan lahan tanpa kajian lingkungan, eksploitasi air tanah yang tak terkendali, serta orientasi ekonomi jangka pendek telah menciptakan kondisi di mana banjir menjadi keniscayaan. Bagi saya, bencana ini bukan sekadar fenomena alam melainkan hasil dari keputusan manusia yang kini menagih harga paling mahal: nyawa, ruang hidup, dan masa depan.

Karena itu, kita tidak boleh lagi memaklumi banjir sebagai “musibah rutin”. Pemerintah harus menghentikan praktik perizinan yang merusak hulu, memperketat pengawasan tata ruang, merehabilitasi zona penyangga, dan menegakkan hukum lingkungan tanpa pandang bulu.

Masyarakat sipil pun perlu terus mendesak transparansi kebijakan, mengawasi proses perizinan, dan menolak setiap proyek yang mengorbankan hutan dan ruang resapan.

Jika kita ingin mengakhiri siklus bencana yang sama setiap tahun, maka kita harus mulai mengubah cara kita memperlakukan alam, bukan besok, bukan menunggu tragedi berikutnya, tetapi sekarang. (*)

Penulis adalah mahasiswa Unhas


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Pemkot Palembang Aktifkan Sirine Bersejarah di Kantor Wali Kota
• 17 jam lalutvrinews.com
thumb
Reuni 4 Mantan Bintang di Ternate! Ini Jadwal Persib Bandung Lengkap Super League & ACL 2025/2026
• 1 jam lalubola.com
thumb
Menteri Hukum Dorong Penyelesaian Sengketa Warga Bali Lewat Posbankum Berbasis Keadilan Restoratif
• 20 jam lalupantau.com
thumb
Prabowo Minta Maaf ke Pengungsi di Aceh, Akui Ada Kesulitan di Daerah Bencana
• 20 jam lalusuarasurabaya.net
thumb
Polri Terus Tangani Bencana Aceh-Sumatera: Bangun Jembatan Darurat- Sumur Bor
• 6 jam laludetik.com
Berhasil disimpan.