Swipe, Like, Berdoa: Ketika Logika Pasar Menentukan Cara Kita Beragama

kumparan.com
4 jam lalu
Cover Berita

Polykarp Ulin Agan

Lautan informasi di era digital telah mengubah wajah dunia. Pengalaman beragama yang sebelumnya berada dalam sebuah „zona nyaman tradisional“, sekarang mengalami sebuah metamorfosis yang hampir tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Bentuk metamorfosis yang paling kasat mata adalah praktik keagamaan yang semakin terdigitalisasi dan individualistis. Adam Possamai, seorang sosiolog Belgia-Australia, menamakan fenomena ini „The i-zation of Society“.

Fenomena ini digambarkan Possamai secara gamblang dalam bukunya The i-zation of Society, Religion, and Neoliberal Post Secularism (2017). Sebuah gagasan yang menjadi benang merah buku ini adalah pernyataannya tentang kehidupan manusia zaman ini yang ditandai oleh digitalisasi, individualisasi dan munculnya budaya instan. Yang menarik ialah, bahwa ketiga hal ini tidak hanya meresap ke ranah sosial eksternal, melainkan juga ke dalam kehidupan spiritual individu, terutama melalui praktik ibadah dan interaksi keagamaan.

Transformasi Agama Dalam Era Digital

Journal of Ethnic and Cultural Studie (2021) pernah membuat sebuah survei tentang motivasi yang berada di balik akun media sosial berbasis agama dan konten religius dalam konteks Indonesia. Di sana ditemukan tiga motif utama yang menggambarkan, bagaimana manusia sebagai homo religiosus senantiasa mencari sesuatu yang berada di luar hakekatnya yang kontingen dan manusiawi. Ada orang yang mengikuti konten religius karena ingin mendapatkan pencerahan spiritual (spiritual enlightenment). Yang lainnya karena ingin memperoleh cukup informasi berbabasis iman (fate-based information). Yang lainnya lagi karena ingin mengalami apa yang dinamakan kesejahtraan religius (well-being for th religious faith content).

Dari sini pelan-pelan terjadilah pergeseran makna autoritas, baik autoritas institusi maupun autoritas personal. Apa yang oleh Mircea Eliade dikatakan sebagai „das Religiöse“ (yang religius) tidak lagi terikat pada sebuah istitusi seperti masjid atau gereja dan pada authorized person seperti Ustad, Pastor atau Pendeta. Setiap orang boleh mencari atap akun religius, dimana ia merasa nyaman dan dapat pula mencari figur-figur yang mampu menyapa area kehidupan batinnya.

Kalau disimak secara saksama, kenyataan ini sejatinya tidak terlepas dari pengaruh logika pasar neoliberal yang merambah ke ranah spiritual. Konkritnya, antara agama dan neoliberalisme terdapat apa yang oleh Possamai dinamakan elective affinity. Perlahan tapi pasti, agama mulai beradaptasi dengan mekanisme pasar, branding, dan standar efisiensi, baik secara selektif maupun acak.

Di Indonesia fenomena ini muncul dalam bentuk seminar keagamaan yang diproduksi seperti event profesional, merchandise religius, hingga para pengajar agama yang membangun “personal brand” melalui media sosial. Demikian misalnya sebuah akun Instagram pengajian atau ibadah gerejani populer bisa memiliki ratusan ribu pengikut. Dengan konten yang didesain secara profesional, para „aktor keagamaan“ yang berada di balik ini berusaha untuk menarik perhatian, meningkatkan engagement, dan bahkan mendatangkan sponsor. Atas dasar dalih elective affinity, agama-agama tidak hanya memusatkan perhatiannya pada pengalaman spiritual, tetapi juga bisa menjadi komoditas yang dapat dikonsumsi.

Tanpa sadar, agama-agama semakin dituntun menuju sebuah ranah instan yang tunduk di bawah hukum „swipe“ dan „like“ serta „keberhasilan konten“. Popularitas agama mulai diukur berdasarkan seberapa banyak „like“, „share“, atau komentar yang diterima, bukan berdasarkan kedalaman pesan spiritualnya. Akibatnya terjadi sebuah pergeseran otoritas keagamaan dari para pemuka agama tradisional seperti ulama, pastor atau pendeta kepada influencer digital yang belum tentu memiliki kompetensi teologis, tetapi lebih populer di media sosial.

Bukan hanya pergeseran otoritas keagamaan yang terjadi dalam era i-zation ini, tetapi juga pergeseran cara atau modus doa. Pengguna aplikasi bisa “berdoa” melalui tombol digital atau mengikuti sesi pengajian atau kebaktian secara virtual dengan pengalaman yang dioptimalkan untuk kenyamanan dan keterlibatan maksimal. Gagasan McDonaldization seorang George Ritzer tentang prinsip-prinsip organisasi dan manajemen yang digunakan—seperti efisiensi, kalkulasi, prediktabilitas, dan kontrol pun diakomodasi dalam praktik kehidupan doa: Pengalaman religius distandardisasi sedemikian, sehingga bisa diakses secara cepat, mudah, dan konsisten—bahkan dikemas dalam format yang menyerupai entertainment.

Dilema Etis dan Spiritualitas di Tengah Logika Pasar

Sampai di sini, muncullah dilema etis dan spiritual dengan pertanyaan yang tidak mudah dijawab: apakah makna dan kualitas spiritual agama tetap terjaga, ataukah tersubordinasi pada logika konsumsi ketika ia menjadi lebih mudah diakses dan dikemas layaknya produk pasar? Memang harus diakui bahwa digitalisasi dapat memperluas akses ke agama. Tetapi kenyataan lain pun tak dapat dipungkiri bahwa ia pun dapat memicu fragmentasi dan individualisasi yang ekstrem, di mana komunitas religius tradisional kehilangan peran sentralnya. Praktik beragama yang semula bersifat kolektif dan integratif kini tersaring menjadi pengalaman personal yang disesuaikan dengan preferensi digital masing-masing individu.

Bahaya fragmentasi dan individualisasi dari digitalisasi modus keagamaan ini tidak bisa diabaikan begitu saja, mengingat penetrasi internet di Indonesia yang mencapai lebih dari 78% populasi (APJII, 2023). Dengan angka sebesar ini, praktik keagamaan digital pun pasti semakin masif. Penawaran keragaman aplikasi doa, streaming pengajian atau kebaktian, hingga komunitas diskusi online yang sudah menjadi bagian dari ekosistem religius yang baru, mendorong banyak orang untuk beralih ke platform digital dalam menjalankan kegiatan keagamaan mereka. Namun, ketika akses agama dibingkai dalam logika efisiensi dan pengalaman pengguna, mau tidak mau ia harus mengikuti aturan pasar: menarik, cepat, dan “menghibur”. Konsekwensinya, iman pun berubah menjadi semacam “user experience”.

Fenomena ini menegaskan tesis Possamai tentang post secularism, ketika ia mengatakan bahwa wujud kembalinya agama ke ranah publik di zaman ini menampilkan sebuah wajah baru lewat „pembentukan ulang“ di tengah budaya yang berubah. Indonesia yang masih tetap menganggap agama sebagai sesuatu yang vital secara sosial politik mengalami „pembentukan ulang“ wajah agama ini lewat tempaan kapitalisme digital dan teknologi. Individu dapat memilih cara beragama yang paling sesuai dengan preferensi pribadi, sekaligus mengonsumsi konten keagamaan layaknya produk digital. Bahkan istilah sederhana seperti “like” atau “swipe” kini menjadi bagian dari ritual modern, simbolisasi keterlibatan dan validasi spiritual di dunia virtual.

Pertanyaan yang menantang adalah bagaimana menjaga keseimbangan antara kebutuhan spiritual yang otentik dan kenyamanan digital yang instan di era i-zation ini, sehingga agama tetap menjadi ruang transformasi batin yang mendalam, bukan hanya sekedar produk yang dikonsumsi? Mungkin, dalam dunia di mana swipe, like, dan berdoa bisa terjadi dalam satu genggaman, tantangan terbesar adalah memastikan iman tetap manusiawi, bukan sekadar user-friendly.

* Dr. Polykarp Ulin Agan, Dosen pada Sekolah Tinggi Teologi KHKT (Kölner Hochschule für Katholische Theologie), Keuskupan Agung Köln, Jerman.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Pramono Ungkap Kondisi Terkini Siswa-Guru Korban Tabrak Mobil MBG
• 15 jam lalubisnis.com
thumb
Beyonce Ramaikan Met Gala 2026, Comeback Setelah 10 Tahun
• 22 jam lalugenpi.co
thumb
ASN Kemenpar Didorong untuk Lawan Korupsi
• 12 jam laluwartaekonomi.co.id
thumb
Link Live Streaming Barcelona Vs Osasuna Dini Hari Nanti, Mulai Jam 00.30 WIB
• 15 jam lalukompas.tv
thumb
Usai Insiden Kalibaru, KSP Minta Pengawasan dan SOP Armada SPPG Ditingkatkan
• 21 jam laluliputan6.com
Berhasil disimpan.