Di tengah dampak bencana ekologis yang belum sepenuhnya tertangani, sejumlah sukarelawan medis menjadi garda terdepan dalam memberikan layanan medis darurat untuk warga Kabupaten Aceh Tamiang. Kehadiran mereka sangat membantu warga yang mulai mengalami berbagai penyakit pascabencana.
Orang-orang tampak berdesakan di dalam bangunan sempit berlantai kumal, penuh bekas lumpur. Ada yang berjalan cepat ke sana kemari menghampiri mereka yang terduduk atau terbaring lemas. Ada pula yang saling berteriak memanggil rekan, meminta bantuan, hingga mengantarkan peralatan.
Hiruk-pikuk itu bukan terjadi di pasar tradisional berlumpur. Suasana tersebut berlangsung di ruang IGD RSUD Muda Sedia Aceh Tamiang, di pusat Kota Kuala Simpang, Kabupaten Aceh Tamiang, Provinsi Aceh, Jumat (12/12/2025) sore. Sejak empat hari sebelumnya, Senin (8/12/2025), ruangan itu dijadikan RSUD Darurat Aceh Tamiang untuk melayani warga terdampak bencana.
Sebelumnya, RSUD Muda Sedia lumpuh total akibat bencana ekologis yang melanda Aceh Tamiang. Rumah sakit itu tergenang banjir hingga air memenuhi lantai dasar. Setelah air surut, lumpur setebal sekitar 50 sentimeter masih menutupi hampir seluruh ruangan.
Hampir semua bagian rumah sakit tidak dapat digunakan. Seluruh peralatan rusak, termasuk peralatan darurat. Selain itu, sebagian besar tenaga medis organik turut terdampak. Tak sedikit dari mereka kehilangan tempat tinggal dan harta benda, bahkan harus mengungsi.
Kondisi itu membuat layanan medis lumpuh total. Beruntung, setelah akses transportasi darat menuju dan dari Kuala Simpang kembali terbuka, para sukarelawan mulai berdatangan.
Sukarelawan dari TNI membersihkan sebagian besar lumpur, terutama di dalam dan sekitar instalasi gawat darurat (IGD) RSUD Muda Sedia di Kualasimpang, Kabupaten Aceh Tamiang. Setelah itu, sukarelawan medis mulai memberikan pelayanan dengan dukungan peralatan darurat dari RSUD Adam Malik, Medan, Sumatera Utara. Sejak saat itu, RSUD darurat di Aceh Tamiang resmi beroperasi.
Meski berkondisi serba terbatas, RSUD darurat tersebut berperan sangat vital. Selama sekitar 10 hari sebelumnya, warga terdampak belum tersentuh layanan medis karena Aceh Tamiang terisolasi dari akses transportasi dan jaringan komunikasi.
Tak pelak, kehadiran RSUD Darurat bak kran air di padang tandus yang segera menghilangkan dahaga kebutuhan medis warga. Layanan pun dioptimalkan. Warga terus berdatangan untuk meminta pertolongan.
Ada yang datang berjalan kaki, ada yang diantar keluarga dengan sepeda motor, dan ada pula yang menggunakan kendaraan umum darurat, seperti becak motor.
Pasien datang dari berbagai kelompok usia, mulai anak-anak hingga lanjut usia. Keluhannya beragam, dari sesak napas, penyakit kulit, infeksi luka, hingga penyakit kronis bawaan. Sebagian besar merupakan penyakit pascabencana akibat paparan debu pekat, kekurangan asupan gizi, serta tekanan psikologis.
Dalam situasi kacau tersebut, sukarelawan medis hadir sebagai penjawab keluhan. Mereka tak pernah bisa duduk menunggu. Dengan cekatan, mereka melayani pasien yang datang silih berganti.
Salah satunya adalah Nevy Shinta Damayanti, sukarelawan medis asal Parepare, Sulawesi Selatan. Dokter spesialis paru dari RSUD Andi Makkasau Parepare itu bahkan mampu melayani lebih dari tiga pasien sekaligus dalam satu waktu. Meski tampak lelah, ia tetap memberikan pelayanan terbaik.
Nevy juga menyelipkan candaan untuk menenangkan pasien. Kepada seorang pasien lansia yang tampak tegang saat diberi oksigen, ia berkata sambil tersenyum, “Ayo, Bu, tarik napas dari hidung, lalu hembuskan lewat mulut. Eh, kebalik. Maksudnya tarik dari hidung, hembuskan dari mulut.”
Kepada pasien anak yang ketakutan saat hendak dipasang infus, Nevy mengusap lembut kepalanya sambil menggenggam tangannya. “Tidak apa-apa diinfus. Ini supaya kamu jadi kuat lagi. Tenang saja, lihat saya,” ujarnya saat tenaga medis lain menusukkan jarum infus.
Nevy menuturkan, pascabencana banyak pasien mengalami tekanan psikologis. Karena itu, tenaga medis tidak hanya merawat secara fisik, tetapi juga harus hadir menenangkan.
“Coba bayangkan jika kita berada di posisi mereka. Pasti tegang dan panik saat sakit setelah bencana. Jadi, layanan medis harus dibarengi pemahaman kondisi psikologis pasien,” katanya.
Nevy bukan kali pertama menjadi sukarelawan medis di lokasi bencana. Sejak 2007, saat letusan Gunung Kelud di Malang, Jawa Timur, ia sudah berkali-kali terjun ke daerah terdampak bencana. Pengalaman itu membuatnya terlatih menangani pasien dalam situasi krisis.
Kesediaannya turun ke Aceh Tamiang bukan semata tugas, melainkan panggilan hati. Baginya, tugas utama seorang dokter adalah membantu masyarakat, termasuk hadir di tengah bencana.
Tantangan dalam bertugas di lokasi bencana sangat beragam. Itu mulai dari ancaman bencana susulan, keterbatasan alat medis, kesulitan sarana-prasarana pendukung, hingga pasien yang membeludak. Namun, semuanya bukan penghalang, melainkan kewajiban yang harus diatasi.
"Tidak ada kata ideal di tengah lokasi bencana. Maka itu, kita tidak boleh mengeluh. Jangan cari sesuatu yang tidak ada, tetapi optimalkan semua yang ada. Selebihnya, nikmati tugas yang dijalani," ujar Nevy.
Penanggung Jawab RSUD Darurat Aceh Tamiang Ekasakti Oktohariyanto, mengatakan, RSUD itu digawangi oleh sukarelawan dari Ikatan Alumni Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (Iluni FKUI) dan RS UI yang berjumlah delapan orang. Selain itu, sejumlah sukarelawan medis lain ikut bergabung, mereka antara lain datang dari Sumatera Utara, Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan.
Jumlah mereka puluhan hingga ratusan orang yang datang secara bertahap. Mereka terdiri dari dokter hingga perawat. Adapun peralatan didukung oleh RSUD Adam Malik.
Dengan semua dukungan tersebut, pelan-pelan RSUD Darurat Aceh Tamiang meningkatkan layanan dari hanya rawat jalan di hari pertama, membuka layanan rawat inap dan rontgen di hari kedua, serta layanan bedah atau operasi di hari ketiga. Dua hari terakhir, mereka sudah melakukan bedah terhadap empat pasien, antara lain kepada pasien yang mengalami infeksi yang sudah lama.
Pada Sabtu (13/12/2025), mereka membuka layanan laboratorium. "Secara keseluruhan, kami sudah memiliki poli anak, rehabilitasi medik, psikiatri, penyakit dalam, obgyn, kulit dan kelamin, ortopedi, serta bedah," kata Ekasakti yang merupakan pegawai dari Dinas Kesehatan DKI Jakarta.
Antusiasme warga pun meningkat. Menurut Ekasakti, di awal beroperasi, jumlah pasien masih di bawah 50 orang. Jumlah pasien kemudian bertambah hingga mencapai 75 pasien di hari kedua dan ratusan pasien per hari dalam dua hari terakhir. Jumlah pasien diprediksi akan semakin bertambah seiring terus tersebar informasi tentang keberadaan RSUD darurat dan membaiknya akses jalan darat dari dan menuju RS tersebut.
"Karena baru beroperasi, banyak warga yang belum sepenuhnya tahu ada RS ini. Selain itu, ada sejumlah warga yang masih terbatas akses transportasinya karena jalanan atau jembatan masih terganggu dan tidak memiliki kendaraan untuk ke sini," tuturnya.
Ekasakti menuturkan, kehadiran para sukarelawan medis itu menjadi bentuk kepedulian kepada masyarakat. Mereka sadari bahwa banyak warga terdampak yang memerlukan pelayanan darurat.
Biasanya, keluhan warga terdampak adalah penyakit-penyakit pascabencana dari yang ringan hingga yang berat. Penyakit ringan yang sering dikeluhkan adalah infeksi saluran pernafasan karena kualitas udara yang buruk akibat penuh debu dari lumpur kering sisa material bencana.
Ada pula yang mengalami masalah saluran pencernaan atau diare karena higienitas atau sanitasi buruk. Tak sedikit yang demam, flu, batuk, dan infeksi kulit karena kualitas lingkungan buruk.
Selain itu, ada pasien yang mengalami infeksi luka atau terluka karena tubuhnya terkena benda-benda tajam sisa material bencana. Ada pula yang mengalami fraktur yang mungkin disebabkan benturan saat bencana. Tak jarang, ada yang mengalami penyakit kronis bawaannya hingga menimbulkan kehilangan kesadaran yang boleh jadi dipicu faktor stres ataupun depresi.
"Kami hadir untuk membantu masyarakat yang memerlukan penanganan darurat. Apalagi, biasanya, layanan medis permanen ikut terganggu karena dampak bencana," ujar Ekasakti.
Selain itu, kata Ekasakti, kehadiran para sukarelawan medis sebagai bentuk solidaritas kepada sesama tenaga medis di RSUD Muda Sedia. Dari informasi yang diterima, banyak tenaga medis organik di lokasi itu turut terdampak bencana. Hingga kini, sejumlah tenaga medis itu ada yang masih berada di pengungsian.
Oleh karena itu, tenaga medis organik belum bisa ikut membantu memberikan layanan medis. Mereka tidak bisa dipaksakan untuk segera turun ke lapangan. "Kami memahami bahwa tenaga medis organik di sini banyak yang ikut terdampak bencana. Oleh karena itu, kami hadir untuk sementara menggantikan peran mereka hingga semuanya siap kembali bertugas," katanya.
Dalam kesempatan itu, Ekasakti mengajak para sukarelawan medis lain bergabung. Sebab, mereka masih kekurangan tenaga medis, baik dokter maupun perawat. Mereka pun masih memerlukan sejumlah peralatan medis, mulai dari ventilator dan defibrillator untuk kebutuhan ICU, serta mobil ambulans.
Direktur RSUD Muda Sedia Andika Putra mengatakan, jumlah tenaga medis organik di tempatnya mencapai ratusan orang, baik dokter maupun perawat. Saat pertama diterjang bencana pada akhir November 2025, layanan medis di sana lumpuh total. Sebab, banyak peralatan rusak dan hilang karena tergenang air maupun disapu banjir.
Hampir semua ruangan di RSUD pun tidak bisa digunakan. Lantai bawah terdampak paling parah karena sempat digenangi air dalam waktu lama dan dipenuhi lumpur sisa material bencana. Sebaliknya lantai dua cenderung aman. Kendali demikian, akses menuju lantai dua belum terbuka karena masih tertutup lumpur.
Dalam situasi tersebut, tenaga medis organik tidak bisa berbuat banyak. Sebab, mereka sendiri masih dirundung duka. Banyak dari mereka yang ikut terdampak bencana yang menyebabkan tempat tinggal dan segenap harta-bendanya sirna diterjang bencana.
Atas dasar itu, kehadiran para sukarelawan sangat membantu. Sukarelawan dari TNI berperan penting membersihkan lumpur hingga akses dari dan menuju IGD kembali terbuka sehingga RSUD darurat bisa beroperasi. Hingga kini, sukarelawan TNI masih berjibaku membersihkan lumpur di bagian lainnya agar RSUD Muda Sedia bisa segera beroperasi penuh kembali.
"Ruang rawat inap yang tersedia di RSUD Darurat hanya untuk 23 pasien. Padahal, kami sebenarnya memiliki kapasitas rawat inap hingga 235 pasien. Kalau semua bagian RS sudah pulih, kita bisa kembali menampung pasien lebih banyak. Lagi pula, seiring semakin terbuka akses transportasi darat dan jaringan komunikasi, pasien berpotensi akan terus bertambah," tutur Andika.
Sebaliknya, sukarelawan medis berperan penting mengaktifkan kembali layanan medis. Mereka menumbuhkan asa saat warga terdampak sangat membutuhkan layanan medis. "Layanan medis pasti dibutuhkan pascabencana. Kalau tidak ada sukarelawan medis, sulit memenuhkan kebutuhan tersebut. Pasalnya, banyak tenaga medis lokal atau organik di Aceh Tamiang yang masih terdampak bencana, termasuk saya ikut terdampak," ungkap Andika.
Di belakang layar, peran sukarelawan medis turut didukung oleh sukarelawan dari bidang lainnya. Salah satunya dari sukarelawan dapur umum yang dibuka oleh Rismayanti selaku pendiri Komunitas Lapak Makan Duafa Bandung, Jawa Barat. Dia mendirikan dapur tak jauh dari RSUD Darurat sejak Sabtu (6/12/2025). Dia pernah aktif sebagai dokter sebelum vakum sepuluh tahun terakhir.
Saat masih aktif sebagai dokter, Rismayanti sempat menjadi sukarelawan medis di sejumlah lokasi bencana. Dari pengalaman tersebut, dia menganggap sukarelawan medis relatif mencukupi di setiap lokasi bencana. Sebaliknya, dia merasakan, yang agak minim adalah keberadaan sukarelawan dapur umum. Padahal, konsumsi adalah kebutuhan pokok.
Oleh karena itu, setelah vakum sebagai dokter, Rismayanti memilih berkecimpung dalam aksi kemanusiaan di bidang konsumsi, antara lain sukarelawan dapur umum saat bencana. Dalam bencana kali ini, dia dan timnya sudah datang sejak Sabtu atau sejak akses jalan darat dari dan menuju Aceh Tamiang kembali terbuka. Mereka mengangkut sembako dengan menyewa truk dari Medan ke Kuala Simpang. Lalu, mereka mendirikan dapur umum dengan dukungan dari sukarelawan lain, antara lain dari TNI.
Dalam sehari, dapur itu bisa memasak ribuan porsi. Menu yang disediakan berisi lauk dengan protein hewani dan nabatin atau bergizi lengkap. Menu itu dibagikan kepada para warga terdampak dan sukarelawan lain yang bertugas tanpa henti setiap hari, khususnya untuk sukarelawan medis di RSUD Darurat.
"Di tengah lokasi bencana, semua elemen sukarelawan harus saling bahu-membahu membantu. Sebab, semuanya memiliki peran masing-masing. Dengan saling melengkapi, kita berharap lokasi bencana bersangkutan bisa segera pulih," kata Rismayanti.
Warga Kampung Bukit Tempurung, Kuala Simpang, Aceh Tamiang, Isa (28), mengaku sangat terbantu dengan kehadiran sukarelawan medis. Berkat sukarelawan, bukan hanya sembako yang mulai berdatangan, warga akhirnya tersentuh layanan medis. Hari itu, layanan medis sangat membantu kakaknya, Ainul Mardiah (42) yang mengalami sesak nafas dan lemas.
Selama ini, kakaknya memang ada riwayat sakit sesak nafas tetapi jarang kambuh. Namun, selama terdampak bencana, dia mengeluhkan kembali sakit tersebut. "Kemungkinan, sakit itu timbul karena terus terpapar debu pekat dari lumpur kering sisa material bencana dan ada pengaruh stres," ungkap Isa.
Bencana ekologis yang melanda Sumatera telah mengetuk hati banyak orang yang bersedia menjadi sukarelawan di bidangnya masing-masing. Keringat mereka selama berjibaku melayani warga terdampak sangat berarti, serta akan terus dikenang sebagai fondasi jembatan pemulihan warga. Terima kasih orang-orang baik.




