Pernahkah Anda melihat video di TikTok atau Instagram yang menawarkan jasa joki tugas? Belakangan ini, lini masa media sosial kita dibanjiri tawaran semacam itu. Uniknya, para joki ini tidak lagi begadang semalaman membuka buku tebal.
Mereka terang-terangan menggunakan perangkat lunak kecerdasan buatan atau AI untuk membereskan pesanan pelanggan. Bisnis ini laku keras, bahkan laporan dari CNN Indonesia menyoroti sebuah akun penyedia jasa yang memiliki ratusan ribu pengikut di media sosial.
Fenomena ini adalah puncak gunung es dari realitas baru kita. Bayangkan skenario ini, tenggat waktu tugas tinggal satu jam. Jantung berdegup kencang. Namun, alih-alih panik dan memeras otak, Anda cukup mengetik satu kalimat perintah ke chatbot. Dalam hitungan detik, tugas selesai. Lega? Tentu. Namun di balik kenyamanan tugas kelar 5 menit ini, ada harga mahal yang diam-diam sedang kita cicil, yaitu kemampuan otak kita sendiri.
Fenomena Brain Rot dan Bukti IlmiahnyaAnak muda zaman sekarang punya istilah untuk menggambarkan kondisi mental akibat terlalu banyak mengonsumsi konten instan digital, yaitu brain rot atau otak yang membusuk. Sebagaimana dijelaskan oleh Dinas Komunikasi dan Informatika, fenomena ini bukan sekadar istilah gaul, melainkan ancaman nyata terhadap penurunan fungsi kognitif akibat paparan informasi dangkal yang berlebihan.
Kekhawatiran ini ternyata bukan isapan jempol belaka. Sebuah riset terbaru tahun 2025 yang diterbitkan di jurnal MDPI oleh peneliti Michael Gerlich mengonfirmasi hal ini. Dalam studinya yang berjudul AI Tools in Society, Gerlich menemukan hubungan negatif yang kuat antara penggunaan alat AI dan kemampuan berpikir kritis.
Ia mencatat adanya fenomena cognitive offloading di mana semakin sering seseorang menyerahkan tugas berpikirnya kepada mesin, semakin merosot kemampuan mereka untuk menganalisis masalah secara mandiri. Artinya, kita tidak menjadi makin pintar dengan bantuan alat canggih tersebut; kita hanya makin pandai menyuruh mesin.
Kejadian Lucu, tapi Miris di KampusIndonesia ternyata menjadi salah satu negara dengan pengguna AI paling agresif di kalangan pelajar. Data dari survei global tahun 2025 oleh Chegg dan GoodStats mencatat bahwa 95% mahasiswa kita menggunakan AI untuk belajar. Angka ini adalah yang tertinggi di antara 15 negara yang disurvei. Sayangnya, penggunaannya sering kali kebablasan.
Ada cerita menarik yang dilaporkan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada pertengahan 2024 lalu. Seorang dosen di Palembang menemukan fakta mengejutkan saat memeriksa skripsi mahasiswanya. Setelah dicek, ternyata 95% isi skripsi tersebut terindikasi buatan AI. Mahasiswa tersebut mungkin merasa cerdas karena bisa mengelabui sistem, padahal ia sedang menipu dirinya sendiri. Ia lulus, tapi ilmunya kosong.
Di belahan dunia lain, situasinya lebih menggelikan lagi. Di Amerika Serikat, sempat viral kasus seorang mahasiswi bernama Ella Stapleton yang menuntut uang kuliahnya dikembalikan. Alasannya cukup ironis: ia memergoki dosennya mengajar dan memberi umpan balik menggunakan ChatGPT.
Ini adalah potret pendidikan modern yang aneh di mana mahasiswa menggunakan AI untuk mengerjakan tugas dan dosen menggunakan AI untuk menilainya. Kalau begitu, siapa yang sebenarnya belajar? Hanya mesin yang saling bicara, sementara manusianya jadi penonton.
Bahaya Sarjana Copy-Paste di Dunia KerjaDampak dari kebiasaan serba instan ini mulai terasa di dunia kerja. Laporan analisis kode dari GitClear pada tahun 2024 menemukan bahwa kualitas kode pemrograman secara global menurun drastis. Hal ini terjadi karena banyak pemrogram muda yang asal salin dari AI tanpa benar-benar memahami logika di baliknya, sehingga kode yang dihasilkan sering kali berulang dan sulit diperbaiki.
Dulu, karyawan baru atau junior belajar dari tugas-tugas remeh. Mereka belajar dengan cara melakukan kesalahan, memperbaikinya, dan memahaminya. Sekarang, tugas-tugas dasar itu disapu bersih oleh AI. Akibatnya, banyak lulusan baru yang gagap saat menghadapi masalah sungguhan yang tidak bisa dijawab oleh chatbot. Mereka kehilangan proses susah-susah dahulu yang sebenarnya penting untuk mematangkan keahlian.
Jangan Musuhi, tapi KendalikanLantas, apakah kita harus membuang HP dan laptop lalu kembali ke zaman batu? Tentu tidak. AI adalah alat yang luar biasa jika digunakan dengan benar.
Kuncinya ada pada gesekan. Kita perlu sengaja mempersulit diri sedikit. Gunakan otak Anda dulu untuk membuat kerangka ide atau konsep kasar. Biarkan otak bekerja keras sebentar. Setelah itu, barulah panggil AI untuk menjadi rekan debat atau asisten yang merapikan pekerjaan Anda. Jangan biarkan AI menyetir dari awal sampai akhir.
Di era di mana segala sesuatu bisa diselesaikan dalam lima menit, kita harus waspada agar paradoks AI ini tidak membuat otak pemiliknya makin tumpul.

:strip_icc()/kly-media-production/medias/5443316/original/082166600_1765679268-Nanik.jpeg)



