Bencana, seperti yang terjadi di Sumatera, bukan hanya merusak bangunan fisik, tetapi juga berpotensi merusak sistem sosial hingga menimbulkan konflik sosial di tengah masyarakat yang sebelumnya erat. Dampak sosial pascabencana ini kerap luput dari perhatian.
Masyarakat desa akan mengalami disrupsi mendadak dalam struktur sosial dan relasi antarwarga. Salah satu dampak nyata adalah dislokasi sosial, yakni hilangnya ruang-ruang komunal seperti balai desa, musala, pasar, hingga jalan yang selama ini menjadi pusat interaksi masyarakat.
“Ketika ruang-ruang itu hilang, ritme kehidupan desa terputus. Interaksi melemah, komunikasi terganggu, dan solidaritas sosial ikut teruji," kata Ivanovich Agusta, Sosiolog dari IPB University, dikutip dari laman resmi IPB University, Minggu (14/12/2025).
Bencana juga memicu tekanan psikososial karena muncul rasa takut, trauma, dan ketidakpastian akan masa depan. Kondisi ini bisa menurunkan semangat kerja dan partisipasi warga dalam kehidupan sosial.
Kelelahan psikologis membuat masyarakat lebih sensitif.
Pranata sosial desa pun ikut terganggu. Jadwal tanam petani, kegiatan kelompok tani, arisan, posyandu, hingga aktivitas keagamaan terhenti sementara akibat kerusakan wilayah dan keterbatasan akses yang rusak diterjang bencana.
"Terhentinya pranata sosial ini sangat melemahkan integrasi masyarakat desa. Padahal di situlah kekuatan sosial warga selama ini berada," ujarnya.
Ivanovich mengungkapkan, kelompok yang paling rentan adalah anak-anak, perempuan, lansia, dan petani. Anak-anak rentan kehilangan rasa aman sekaligus akses terhadap pendidikan. Perempuan kerap memikul beban ganda mulai dari mengurus kebutuhan keluarga hingga memastikan keselamatan anak dan lansia dalam kondisi sumber daya yang sangat terbatas.
Sementara lansia menghadapi keterbatasan mobilitas, penyakit bawaan, serta ketergantungan pada keluarga. Dan petani menanggung dampak terberat dalam jangka panjang akibat lahan rusak.
"Irigasi hancur, ternak hilang, serta berhentinya siklus produksi. Kerentanan petani ini bersifat ekologis sekaligus sosial-ekonomi," tutur Ivanovich.
Dari sistem sosial yang rusak tersebut bisa berkembang menjadi konflik sosial jika penanggulangan bencana berjalan lamban. Misalnya, distribusi bantuan yang tidak merata dapat menimbulkan kecemburuan lalu terjadi konflik sosial.
Ketidakmerataan itu bisa jadi disebabkan oleh ketidakjelasan data korban, minimnya transparansi penyaluran bantuan, serta bantuan yang tidak selalu sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
"Dalam situasi bencana, kelelahan psikologis membuat masyarakat lebih sensitif. Ketimpangan kecil saja bisa memicu kecemburuan sosial. Jika bantuan cepat dan adil, kepercayaan menguat. Jika lambat dan tidak jelas, yang muncul justru frustasi dan apatisme," katanya.
Dia menegaskan, gotong royong biasanya sangat kuat di fase awal bencana, warga masih semangat saling menyelamatkan dan membantu. Namun, dalam jangka menengah, kelelahan kolektif dan ketidakpastian pemulihan dapat melemahkan solidaritas. Pemerintah harus memitigasi hal ini dengan kerja cepat.
Pemulihan masyarakat pascabencana harus dilakukan secara menyeluruh melalui penguatan pemulihan psikososial, pengaktifan kembali pranata sosial, pendataan yang transparan dan partisipatif, pemulihan mata pencaharian warga, penguatan peran pemerintah desa, serta pembangunan sistem mitigasi dan kesiapsiagaan bencana berbasis komunitas.
"Penanggulangan bencana bukan hanya soal hari ini, tetapi juga tentang membangun kembali ketahanan sosial desa untuk masa depan," ucap Ivanovich.
Dekan Fakultas Psikologi UGM, Rahmat Hidayat menambahkan, psikososial dan kesehatan mental para korban bencana harus dikuatkan. Aspek psikososial terkait dengan fungsi-fungsi sosial pada setiap orang. Dalam situasi ini, intervensi psikososial yang perlu dilakukan adalah hal yang dapat segera memulihkan fungsi dan peran itu.
Dalam aspek kesehatan mental yang terkait dengan fungsi kognitif, pertolongan yang dilakukan adalah memberikan layanan Psychological First Aid (PFA) dalam bentuk pemberian dukungan untuk pelepasan ketegangan sehingga orang tersebut tidak merasa sendirian.
"Inti dari PFA adalah komunikasi personal yang empatik dari pihak luar dalam hal ini relawan terhadap pihak masyarakat yang terkena bencana," kata Rahmad.
Sementara itu, Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Abdul Muhari menyatakan bahwa pemerintah terus berupaya memulihkan Sumatera dengan membuat lima kluster kerja. Langkah ini dibentuk guna memudahkan koordinasi dan mobilisasi sumber daya di sejumlah sektor yang dibutuhkan dalam fase penanggulangan bencana.
"Kluster-kluster ini merupakan wadah multipihak untuk melakukan koordinasi dan mobilisasi sumber daya di sejumlah sektor yang dibutuhkan dalam fase penanggulangan bencana," kata Abdul.
Kluster pertama adalah kluster pencarian dan pertolongan di bawah koordinasi Badan SAR Nasional (Basarnas) masih terus melakukan pekerjaannya. Hingga Sabtu (13/12/2025) kluster kerja ini telah menemukan 1.006 jiwa meninggal dunia dan 217 orang hilang masih dalam proses pencarian.
Kedua, kluster logistik bekerja untuk memastikan manajemen logistik berjalan baik. Ketiga, kluster kesehatan di bawah koordinasi Kementerian Kesehatan memastikan semua pengungsi sehat dan korban luka dirawat dengan baik.
Keempat, kluster pendidikan di bawah koordinasi Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah memastikan hak pendidikan anak tetap berjalan di pengungsian. Dan terakhir, klaster pengungsian dan perlindungan untuk memastikan pengungsian sehat dan aman.



