Seorang warga China, Chen Huaxi, telah berjuang untuk memiliki anak selama enam tahun terakhir. Ia telah menghabiskan hampir 100.000 yuan atau sekitar Rp 235 juta (kurs Rp 2.357) demi menjalani program bayi tabung atau in vitro fertilization (IVF). Harapan sempat muncul ketika provinsinya di timur laut China memasukkan IVF ke dalam program asuransi kesehatan.
Namun, harapan itu tak bertahan lama. Di Provinsi Liaoning, asuransi hanya menanggung delapan prosedur dasar, seperti pengambilan sel telur dan pengembangan embrio. Sejumlah layanan penting yang berbiaya mahal, mulai dari obat impor, skrining genetik, hingga pembekuan embrio tidak masuk dalam cakupan.
“Aturan penggantiannya benar-benar rumit, tapi yang jelas bagi saya dampaknya tidak akan banyak berubah. Saya tidak yakin berapa kali lagi kami masih mampu membiayainya,” ujar Chen, pemilik toko pakaian berusia 38 tahun yang telah dua kali gagal menjalani program IVF, dikutip dari Reuters, Minggu (14/12).
Di tengah penurunan angka kelahiran dan menyusutnya populasi, membantu satu dari enam pasangan yang kesulitan memiliki anak kerap dipandang sebagai solusi paling langsung. Apalagi, negara memiliki kewenangan menentukan layanan apa saja yang ditanggung asuransi publik. Namun hampir setahun setelah Beijing mengumumkan cakupan nasional untuk teknologi reproduksi berbantu (assisted reproductive technologies/ART), banyak calon penerima manfaat menilai layanan itu masih mahal dan sulit diakses di sejumlah daerah.
Data Komisi Kesehatan Nasional menunjukkan China memiliki 635 klinik ART berlisensi sekitar satu klinik untuk setiap 2,2 juta penduduk. Sebagai perbandingan, Amerika Serikat memiliki satu klinik untuk setiap 730.000 orang, sementara Jepang satu untuk setiap 200.000 orang. Mayoritas klinik berada di kota-kota besar, memaksa pasangan di kota kecil yang justru sering lebih ingin memiliki anak karena biaya hidup lebih rendah menempuh perjalanan jauh demi perawatan.
“China baru belakangan ini mulai berinvestasi di sektor ini karena selama bertahun-tahun negara memandang persoalan demografi sebagai terlalu banyak kelahiran, bukan kekurangan,” kata Wu Kaili, manajer medis di BabyForce, platform daring yang menghubungkan pasien infertilitas dengan dokter dan rumah sakit.
“Distribusi klinik dan dokter IVF di China mencerminkan distribusi sumber daya medis secara umum terkonsentrasi di wilayah yang lebih maju secara ekonomi,” tambahnya.
Selama puluhan tahun, China mengendalikan pertumbuhan penduduk lewat kebijakan satu anak yang ditegakkan melalui propaganda, denda, sterilisasi, dan dalam beberapa kasus, aborsi paksa. Aturan ini dilonggarkan pada 2016 menjadi dua anak per keluarga, lalu diperluas lagi pada 2021 menjadi tiga anak.
Meski begitu, angka kelahiran tak kunjung pulih. Populasi China telah menyusut selama tiga tahun berturut-turut, menimbulkan risiko bagi pertumbuhan ekonomi dan memperkecil basis angkatan kerja untuk menopang masyarakat yang menua. Pemerintah pun meluncurkan beragam kebijakan pronatalis, dari insentif pernikahan dan bantuan tunai hingga perbaikan layanan pengasuhan anak serta perpanjangan cuti ayah dan ibu.
Pada awal 2023, pemerintah mengumumkan sejumlah prosedur ART masuk daftar penggantian asuransi kesehatan nasional, yang kemudian diadopsi pemerintah daerah. Namun, meski ditanggung, biaya IVF tetap tinggi. Satu siklus biasanya menelan 30.000 hingga 50.000 yuan, dan bisa melonjak jika memerlukan prosedur tambahan seperti skrining genetik. Studi internasional mencatat tingkat keberhasilan siklus pertama sekitar 40 persen bagi perempuan di bawah 35 tahun, turun menjadi 13 persen pada usia 40-41 tahun, artinya banyak pasangan harus menjalani beberapa siklus.
Besaran penggantian pun berbeda-beda antarprovinsi, dari hanya beberapa ribu yuan hingga sekitar setengah total biaya. Daerah yang lebih miskin cenderung mengganti lebih kecil, menanggung lebih sedikit prosedur, dan membatasi jumlah siklus. Padahal, pendapatan disposabel rata-rata penduduk perkotaan tahun lalu sekitar 54.000 yuan, dan kurang dari separuhnya bagi penduduk pedesaan.
Perdebatan soal IVF ramai di media sosial. Tagar “The IVF Journey” mengumpulkan 1,3 miliar penayangan dan lebih dari 11 juta diskusi di Xiaohongshu. Pengguna berbagi kiat biaya, rekomendasi rumah sakit, serta dukungan emosional di saat yang sama meluapkan frustrasi atas ketimpangan akses dan penggantian biaya antarwilayah.
“Ini bukan mendorong orang untuk punya anak, tapi memberi tahu orang yang tidak cukup kaya agar berhenti punya anak,” tulis seorang pengguna Xiaohongshu bernama Catherine.
Menurut jurnal Lancet, tingkat infertilitas di China, pasangan yang tak berhasil hamil setelah 12 bulan mencoba naik menjadi 18 persen pada 2020, dari 12 persen pada 2007. Namun, kurang dari 10 persen pasangan yang membutuhkan perawatan kesuburan benar-benar mendapatkannya, jauh di bawah Amerika Serikat yang mencapai sekitar 30 persen, menurut konsultan Frost & Sullivan.
Salah satu pendorong meningkatnya infertilitas adalah tren menikah di usia lebih tua, kata Sun Xiaoxi, dokter reproduksi di Jiahui International Hospital, Shanghai. Secara tradisional, kelahiran di luar nikah jarang terjadi karena stigma sosial dan persyaratan administratif.
Adapun, rata-rata usia menikah pertama kali naik menjadi 28,7 tahun pada 2020, dari 24,9 tahun satu dekade sebelumnya. Di rumah sakit tempat Sun bekerja, rata-rata usia pasien kini sudah melampaui 35 tahun.




