Perang melawan korupsi tidak hanya harus dimulai dari pusat kekuasaan, tetapi juga tempat paling dekat, yaitu rumah. Di lingkup paling kecil itu, perempuan menjadi agen perubahan mendidik integritas keluarga. Dalam senyap, para perempuan menanamkan nilai kejujuran yang diharapkan menjadi benteng pertama antikorupsi.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dalam rangkaian Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) 2025, pun menggelar seminar bertema ”Integritas Perempuan sebagai Penyelenggara Negara dalam Melawan Korupsi”. Sehubungan itu, sejumlah perempuan penyelenggara negara berkumpul di sebuah ruangan di kompleks kantor Gubernur Yogyakarta, Senin (8/12/2025).
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifatul Choiri Fauzi, Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat, Ketua Komisi IV DPR RI Siti Hediati Haryadi atau Titiek Soeharto, anggota Komisi VI DPR RI Rieke Diah Pitaloka, Gubernur Maluku Utara Sherly Tjoanda Laos terlihat hadir di antara para tamu undangan.
Saya ingatkan kepada seluruh perempuan Indonesia, beranilah berdiri di garis depan melawan korupsi. Dengan langkah kecil, integritas yang kita ambil akan membawa Indonesia selangkah lebih dekat untuk menciptakan tata kelola yang bersih dan berkeadilan.
Di tengah-tengah seminar, Ketua KPK Setyo Budiyanto memuji Kepala Satuan Lalu Lintas Polres Pinrang Inspektur Satu Andi Sriulva Baso Paduppa. Perempuan polisi yang kerap disapa Ulva itu mendapatkan pujian langsung karena inovasi yang ia lakukan, yaitu Meja Tanpa Laci.
Setyo pun memanggil langsung Ulva untuk naik ke atas podium bersamanya. Ia lalu memperkenalkan sosok Ulva kepada tamu undangan yang hadir kala itu.
”Ini adalah seorang perwira, pangkatnya iptu. Dinasnya di Sulawesi Selatan. Jadi, beliau ini membuat sebuah terobosan yang agak ’gila-gila”-lah kalau saya melihatnya. Beliau punya program, sebuah ide, yang diimplementasikan, yaitu Meja Tanpa Laci. Bayangkan, meja tanpa laci gimana menyimpan amplop?” kata Setyo.
Menurut Setyo, Ulva adalah salah satu perempuan penyelenggara negara yang aktif berinovasi untuk mencegah korupsi. Ulva menerapkan disiplin kebiasaan di ruang kerja pribadi dan lingkungan anak buahnya agar mejanya dibuat tanpa laci. Laci bisa dipakai untuk menyimpan sesuatu, baik itu keperluan pribadi maupun, amit-amit, hingga amplop suap maupun gratifikasi.
Setyo pun mengapresiasi program itu karena dianggap sebagai sebuah simbol. Meja tanpa laci adalah simbol bahwa polisi saat melakukan tugas tidak ingin menerima pemberian sesuatu. Ulva juga dinilai menerapkan prinsip transparansi dalam pelayanan publik.
”Apalagi, beliau bertugas di lalu lintas. Artinya, tidak mau terpengaruh dengan hal-hal yang tidak baik. Dengan hal yang sifatnya pemberian,” tutur Setyo.
Menteri PPPA Arifatul Choiri Fauzi menuturkan, momentum Hakordia selalu dirayakan bertepatan dengan bulan peringatan hari ibu, yakni pada Desember. Menurutnya, Hakordia dan Peringatan Hari Ibu berasal dari semangat yang sama, yaitu perjuangan, keberanian moral, dan komitmen untuk memperbaiki kehidupan bangsa.
”Hakordia mengingatkan kita bahwa korupsi bukan hanya persoalan hukum, melainkan juga persoalan nilai. Nilai tentang amanah, nilai tentang integritas, dan nilai tentang keberpihakan pada rakyat,” ujar Arifatul.
Menurut dia, peringatan Hari Ibu mengingatkan masyarakat pada sejarah panjang perempuan Indonesia yang telah berjuang mengubah realitas sosial, memperjuangkan pendidikan, martabat, serta kemerdekaan berpikir.
Ketika dua momentum itu bertemu, pesan yang muncul pun menjadi sangat kuat. Perempuan bukan hanya madrasah atau sekolah pertama bagi generasi bangsa, melainkan juga penjaga nilai-nilai moral publik termasuk integritas.
”Berbicara tentang korupsi, kita sedang berbicara tentang masa depan. Setiap penyalahgunaan wewenang sesungguhnya merenggut kesempatan-kesempatan belajar bagi anak, kesempatan yang layak bagi ibu atau perempuan, dan merenggut kesempatan berkembang bagi masyarakat,” kata Arifatul.
Arifatul pun meminta para perempuan penyelenggara negara untuk melihat ulang korupsi. Menurutnya, korupsi bukanlah sebuah statistik, melainkan sebagai luka kolektif. Untuk menyembuhkan luka itu, perempuan memiliki peran yang tidak bisa tergantikan.
”Perempuan memimpin dengan hati, dengan sensitivitas moral, dan dengan keberanian untuk menolak normalisasi praktik yang tidak semestinya,” katanya.
Arifatul juga mengajak perempuan, terutama penyelenggara negara, yang terjerat kasus korupsi untuk berefleksi. Data KPK menunjukkan bahwa sejumlah perempuan masih banyak yang terjerat kasus korupsi.
Hal itu semestinya menjadi pengingat bahwa integritas bukan otomatis melekat pada kelompok tertentu. ”Integritas harus diperjuangkan dan dirawat setiap hari,” ujar Arifatul.
Oleh karena Hakordia bertepatan dengan Peringatan Hari Ibu Ke-97, ia pun mengajak perempuan kembali pada nilai-nilai dasar, seperti kesederhanaan, pelayanan, ketangguhan, dan tanggung jawab moral. Hal itu selaras dengan tema peringatan Hari Ibu Ke-97 yang mengusung semangat peran perempuan dalam pembangunan bangsa.
”Nilai Hakordia dan nilai Peringatan Hari Ibu bertemu dalam satu titik bahwa pemimpin sejati adalah mereka yang menjadikan integritas sebagai napas dalam setiap keputusan,” kata Arifatul.
Ketua DPR Puan Maharani yang memberikan sambutan melalui rekaman video menyebut bahwa perempuan, baik sebagai ibu, perempuan, istri, maupun profesional, memang memegang peran strategis dalam membangun budaya antikorupsi. Perempuan adalah benteng awal pembentukan nilai kejujuran dan karakter antikorupsi.
”Saya ingatkan kepada seluruh perempuan Indonesia, beranilah berdiri digaris depan melawan korupsi. Langkah kecil integritas yang kita ambil akan membawa Indonesia selangkah lebih dekat untuk menciptakan tata kelola yang bersih dan berkeadilan,” ujar Puan.
Putri Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri itu juga mengakui bahwa korupsi masih menjadi ancaman nyata bagi masa depan bangsa. Uang negara yang seharusnya digunakan untuk kepentingan dan menyejahterakan rakyat tidak semestinya diselewengkan.
Penyelewenangan uang negara akan membuat rakyat menderita. ”Dari sekolah yang roboh, obat yang mahal, sampai pelayanan publik yang tersendat. Itu semua merupakan dampak korupsi sehingga kita harus bersama-sama menyatukan aksi dan membasmi korupsi,” kata Puan.
Ketua Komisi IV DPR RI Titiek Soeharto juga sepakat bahwa perempuan memegang peran sentral dan strategis dalam pemberantasan korupsi. Sebagai istri dan ibu rumah tangga, perempuan merupakan faktor penting yang bisa mencegah terjadinya korupsi. Dalam perannya sebagai ibu, perempuan mengajarkan anak-anak sejak kecil untuk jujur.
Titiek pun menyarankan para istri agar bisa memberikan pengaruh positif kepada suaminya agar tidak melakukan korupsi. ”Jadi, jangan sebagai wanita ini malah justru merongrong suami-suami untuk berbuat korupsi untuk memenuhi keinginan-keinginan kita,” katanya.
Menurut Titiek, pencegahan korupsi untuk generasi masa depan juga dimulai dari lingkup terkecil keluarga. Seorang ibu menjadi agen perubahan karena dia akan mengajarkan anak untuk jujur, tidak suka berbohong, bergaya hidup sederhana dan tidak mewah, serta merasa cukup terhadap apa yang dimiliki.
KPK pun sejak lama menggandeng perempuan dari berbagai latar belakang untuk terlibat aktif dalam upaya pencegahan korupsi. Para perempuan itu berasal dari berbagai latar belakang, seperti aktivis, guru, ibu rumah tangga, hingga penyelenggara negara.
Program itu bernama Saya Perempuan Anti Korupsi (SPAK) yang diluncurkan pertama kali pada 22 April 2014 bekerja sama dengan Australia-Indonesia Partnership for Justice (AIPJ). Kini, SPAK sudah berevolusi menjadi gerakan yang mandiri.
Perempuan, apalagi yang memimpin negara, sudah saatnya tidak sekadar menjadi obyek sosialisasi, melainkan subyek perubahan. Mereka berperan aktif sebagai pendidik, pemimpin komunitas, dan penjaga moral keluarga. Ketika perempuan diberdayakan, perjuangan melawan korupsi menjadi lebih dekat, nyata, dan mungkin untuk dimenangkan bagi generasi penerus bangsa.





