Perempuan di Balik Tenda-Tenda Krisis

kompas.com
1 hari lalu
Cover Berita

DALAM beberapa waktu terakhir, bencana yang melanda Indonesia—dari Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara—kita seperti kembali diingatkan bahwa kehidupan manusia sungguh rapuh. Gempa yang mengguncang, banjir bandang yang datang tiba-tiba, tanah longsor yang merenggut rumah-rumah, semuanya seakan membuka kembali tirai yang menutupi ketimpangan sosial yang telah lama mengendap dalam kehidupan kita.

Kerusakan alam dan bencana alam memaksa kita menatap kenyataan yang pahit, namun juga menghadirkan ruang bagi solidaritas. Di tengah reruntuhan itu, masyarakat bergerak dengan solidaritas: donasi dibuka, relawan datang, pemerintah mengerahkan bantuan, dan bangsa ini kembali menunjukkan bahwa persaudaraan dan semangat gotong royong masih hidup di antara kita.

Namun, di balik gerak cepat dan keramaian solidaritas itu, terdapat sisi lain dari kemanusiaan yang masih tersembunyi—sunyi, tak banyak disebutkan, nyaris tak terlihat—yaitu kerentanan yang dialami perempuan.

Tenda-tenda pengungsian, yang seharusnya menjadi ruang aman, sering kali menjelma ruang dengan ancaman terselubung. Di sanalah persoalan kekerasan berbasis gender (KBG) muncul—notabene bukan karena bencana menciptakan kekerasan, tetapi karena bencana menyingkap ketimpangan yang telah lama bersemayam dalam kehidupan sosial.

UN Women mencatat bahwa setiap krisis kemanusiaan meningkatkan risiko KBG; UNFPA menegaskan bahwa dalam situasi bencana, hingga 70 persen perempuan dan anak perempuan berada dalam risiko mengalami kekerasan.

Baca juga: Pengungsian Bencana Jadi Tempat Rawan Kekerasan Berbasis Gender bagi Perempuan

var endpoint = 'https://api-x.kompas.id/article/v1/kompas.com/recommender-inbody?position=rekomendasi_inbody&post-tags=kejahatan seksual, kekerasan berbasis gender, perempuan pengungsi, ancaman terhadap perempuan, risiko perempuan pengungsi&post-url=aHR0cHM6Ly9uYXNpb25hbC5rb21wYXMuY29tL3JlYWQvMjAyNS8xMi8xNC8xMzU3MzA0MS9wZXJlbXB1YW4tZGktYmFsaWstdGVuZGEtdGVuZGEta3Jpc2lz&q=Perempuan di Balik Tenda-Tenda Krisis§ion=Nasional' var xhr = new XMLHttpRequest(); xhr.addEventListener("readystatechange", function() { if (this.readyState == 4 && this.status == 200) { if (this.responseText != '') { const response = JSON.parse(this.responseText); if (response.url && response.judul && response.thumbnail) { const htmlString = `
${response.judul}
Artikel Kompas.id
`; document.querySelector('.kompasidRec').innerHTML = htmlString; } else { document.querySelector(".kompasidRec").remove(); } } else { document.querySelector(".kompasidRec").remove(); } } }); xhr.open("GET", endpoint); xhr.send();

Di Indonesia, gambaran itu terlihat jelas. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan bahwa perempuan dan anak memiliki risiko menjadi korban bencana 14 kali lebih tinggi dibanding laki-laki dewasa.

Laporan Community Support Center (CSC) kepada UNFPA Indonesia menyebutkan bahwa selama respon tsunami Aceh, setidaknya 97 perempuan mengalami kekerasan berbasis gender. Setelah gempa Padang pada 2010, tercatat tiga kasus pemerkosaan di lokasi pengungsian. Komnas Perempuan juga mendokumentasikan empat laporan kekerasan seksual selama masa pengungsian akibat tsunami Aceh (KPPPA, 2020).

Di berbagai bencana lainnya, pelecehan, intimidasi, kawin paksa, hingga eksploitasi seksual muncul dalam senyap—sering kali tanpa tersorot publik. Dari sini tampak bahwa angka-angka itu sekadar pintu masuk ke kenyataan yang lebih sunyi. Ada ketakutan yang tak terucap, ada pengalaman yang memilih diam, ada luka yang tak tampak.

Sunyi semacam itu tidak muncul dalam statistik, tetapi justru mengungkap kedalaman persoalan yang dihadapi perempuan di tengah situasi darurat. Sunyi yang menegaskan bahwa di balik tenda-tenda krisis, terdapat pergulatan martabat manusia yang menuntut perhatian lebih dari sekadar hitungan korban dan kerusakan.

Bencana memperparah kerentanan perempuan bukan hanya karena situasi darurat, tetapi karena struktur sosial yang sejak sebelum bencana sudah timpang.

Ketika rumah runtuh dan ruang privat menghilang, perempuan yang sudah memiliki akses terbatas terhadap sumber daya, informasi, dan keputusan tiba-tiba masuk dalam lanskap baru yang lebih tidak pasti: ruang tidur bercampur bersama keluarga lain, Mandi Cuci Kakus (MCK) tanpa pembatas yang memadai, penerangan minim di malam hari, jalur evakuasi yang tidak mempertimbangkan kebutuhan perempuan, ruang aman yang tidak tersedia, serta mekanisme pelaporan kekerasan yang tidak ada.

Studi di berbagai lokasi bencana, termasuk riset yang dilakukan UNFPA Indonesia pada 2019–2024, menunjukkan bahwa kekerasan paling banyak terjadi pada malam hari—di bagian tenda yang gelap, di sekitar toilet umum, di barisan pembagian logistik, dan dalam situasi ketika perempuan bergantung pada orang lain untuk akses makanan ataupun bantuan.

Pelecehan verbal, kekerasan fisik, pemaksaan seksual, intimidasi, dan kekerasan psikologis juga dapat muncul karena tenda-tenda darurat yang dibangun tanpa perspektif gender. Dalam kondisi demikian, perempuan hidup dalam ruang yang sama sekali tidak memberi jaminan keamanan.

Namun, seperti di banyak tragedi, angka-angka hanya menjadi pintu masuk bagi kenyataan yang jauh lebih dalam dan lebih sunyi. Di balik satu kasus kekerasan, ada perempuan yang harus tidur dalam kecemasan sepanjang malam. Di balik laporan “pelecehan di toilet umum”, ada seorang ibu yang menahan rasa takut setiap kali harus mandi.

Di balik data risiko "70 persen perempuan" ada gadis remaja yang tidak berani keluar tenda karena tatapan-tatapan asing yang membuatnya gemetar. Dan di balik setiap catatan Komnas Perempuan tentang “korban yang tidak melapor”, ada perempuan yang memilih bungkam karena ia tahu bahwa sistem tidak berpihak kepadanya. Itulah sunyi yang tidak pernah masuk dalam laporan resmi.

googletag.cmd.push(function() { googletag.display('div-gpt-for-outstream'); });
.ads-partner-wrap > div { background: transparent; } #div-gpt-ad-Zone_OSM { position: sticky; position: -webkit-sticky; width:100%; height:100%; display:-webkit-box; display:-ms-flexbox; display:flex; -webkit-box-align:center; -ms-flex-align:center; align-items:center; -webkit-box-pack:center; -ms-flex-pack:center; justify-content:center; top: 100px; }
LazyLoadSlot("div-gpt-ad-Zone_OSM", "/31800665/KOMPAS.COM/news", [[300,250], [1,1], [384, 100]], "zone_osm", "zone_osm"); /** Init div-gpt-ad-Zone_OSM **/ function LazyLoadSlot(divGptSlot, adUnitName, sizeSlot, posName, posName_kg){ var observerAds = new IntersectionObserver(function(entires){ entires.forEach(function(entry) { if(entry.intersectionRatio > 0){ showAds(entry.target) } }); }, { threshold: 0 }); observerAds.observe(document.getElementById('wrap_lazy_'+divGptSlot)); function showAds(element){ console.log('show_ads lazy : '+divGptSlot); observerAds.unobserve(element); observerAds.disconnect(); googletag.cmd.push(function() { var slotOsm = googletag.defineSlot(adUnitName, sizeSlot, divGptSlot) .setTargeting('Pos',[posName]) .setTargeting('kg_pos',[posName_kg]) .addService(googletag.pubads()); googletag.display(divGptSlot); googletag.pubads().refresh([slotOsm]); }); } }

Baca juga: Tak Cuma di Kota Besar, Kekerasan Berbasis Gender Online Incar Perempuan


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Juventus Tertarik pada Frattesi, Inter Milan Ingin Satukan Thuram Bersaudara
• 21 jam laluharianfajar
thumb
BPOM ingatkan cek ‘klik’ saat belanja kebutuhan Natal
• 21 jam laluantaranews.com
thumb
Malut United Kalahkan Persib, Persaingan di Papan Atas BRI Super League 2025/2026 Semakin Panas
• 16 jam lalubola.com
thumb
Kronologi Kebakaran Pasar Induk Kramat Jati, Hanguskan 350 Kios
• 4 jam laluliputan6.com
thumb
DPR Dukung Anggota Polri Aktif Duduki Jabatan di 17 K/L
• 20 jam lalumediaindonesia.com
Berhasil disimpan.