Satgas Kemanusiaan ITS Ungkap Kondisi Terkini Aceh: 11 Desa Terisolir, Penyaluran Bantuan Pakai Flying Fox

suarasurabaya.net
9 jam lalu
Cover Berita

Tim Satgas Kemanusiaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) sejak awal pekan lalu turun langsung bersama sejumlah mitra ke berbagai titik terdampak bencana di Pulau Sumatera, salah satunya di Aceh. Termasuk, di wilayah-wilayah yang masih terisolasi akibat longsor, banjir bandang, dan rusaknya akses jalan.

Prof. Dr. Nurul Jadid Koordinator Satgas Kemanusiaan ITS untuk Aceh mengatakan, timnya telah berada di Aceh sejak, Selasa (9/12/2025), dan bergerak secara bertahap dengan berbagai fungsi kemanusiaan.

“Jadi kami memberangkatkan pada hari Selasa itu sekitar 17 orang relawan yang terdiri dari tim distribusi logistik, kemudian ada juga tim dapur umum, kemudian keesokan harinya di hari, Rabu (10/12/2025) kemarin, kami juga memberangkatkan angkatan tim layanan medis dari Fakultas Kedokteran ITS,” ujarnya kepada Radio Suara Surabaya langsung dari Aceh, Minggu (14/12/2025).

Tim-tim tersebut disebar ke sejumlah daerah terdampak di Aceh. Untuk layanan medis difokuskan di wilayah Pidie Jaya, sementara dapur umum bergerak ke Bireuen. Adapun tim distribusi logistik menjangkau kawasan yang sulit diakses, khususnya di Aceh Tengah.

“Tim distribusi logistik itu bergerak ke lokasi yang memang agak sulit terjangkau. Jadi ada di kawasan Aceh Tengah itu tepatnya di Pameu ya, daerah Pameu itu kawasan yang cukup sulit terjangkau dan memang terisolasi,” kata Guru Besar Departemen Biologi ITS itu.

Seorang relawan Satgas ITS menyaksikan kendaraan berat meratakan tanah bekas longsoran. Foto: Satgas ITS

Di wilayah tersebut, terdapat sekitar 16 desa terdampak, dengan 11 desa di antaranya masih terisolasi akibat longsor parah. Alhasil upaya distribusi bantuan harus dilakukan dengan dukungan TNI dan komunitas relawan lainnya.

Prof. Jadid sapaan akrabnya menyebut, di kawasan tersebut terdapat sekitar 52 titik longsor yang membuat akses kendaraan roda empat sama sekali tidak bisa dilalui.

“Lokasinya 11 desa terisolir ini ada 52 titik longsor yang sangat sulit untuk ditembus. Jadi kami bergerak hanya bisa menggunakan sepeda motor trail dari TNI itu,” ucapnya.

Material longsor berupa tanah, batu, dan kayu menutup total akses jalan antarwilayah, memaksa relawan menggunakan cara-cara ekstrem demi menyalurkan bantuan kepada warga yang terisolasi.

Di salah satu jalur penghubung antara Pameu dan Takengon, Satgas Kemanusiaan ITS juga mendapati kondisi jembatan yang terputus total akibat terjangan banjir dan longsor. Warga bersama relawan terpaksa membuat jalur darurat dengan memanfaatkan tali baja dan katrol.

“Kemarin kita cukup ini ya, di daerah antara Pame hingga Takengon itu ada jembatan yang putus, sehingga sepeda motor untuk jalan ke sana itu harus dikatrol,” ungkapnya.

Metode darurat tersebut dikenal warga setempat sebagai “motor layang”, di mana sepeda motor diikat dan ditarik menggunakan sistem flying fox untuk menyeberangi jurang. “Itu warga sendiri yang mengupayakan, dibantu relawan dan TNI. Motornya pakai flying fox begitu,” kata Prof. Jadid.

Kondisi medan yang ekstrem membuat proses distribusi bantuan berjalan sangat lambat dan berisiko tinggi. Namun, menurut Prof. Jadid, upaya tersebut harus tetap dilakukan karena kondisi warga di desa-desa terisolir sangat memprihatinkan.

Dalam proses penyaluran bantuan, tim ITS berhasil mendistribusikan sekitar lima ton beras dan logistik lainnya. Namun, menurut pantauannya, kondisi warga di desa-desa terisolir itu sangat memprihatinkan. Bahkan, ada seorang ibu yang harus rela berjalan mencari bantuan dengan empat hari tanpa makanan.

“Kami cukup terenyuh juga di sana ya, bahwa ada ibu-ibu ya masyarakat desa tersebut ya ada yang berjalan hingga empat hari ya tidak makan ya, hanya untuk mendapatkan bantuan begitu, sampai ke posko TNI,” tutur Prof. Jadid.

Selain logistik pangan, persoalan besar lainnya yang dihadapi warga terdampak adalah ketersediaan air bersih dan listrik. Di sejumlah wilayah, kata dia, listrik padam total dan komunikasi terputus sama sekali.

“Di daerah terpencil di Aceh Tengah yang kami kunjungi itu ya, kami kirimkan bantuan itu memang lokasinya padam total. Itu tidak ada sama sekali jaringan listrik dan lebih parahnya lagi karena listrik tidak ada ya, maka komunikasi terputus,” katanya.

Karenanya, untuk menjawab persoalan tersebut, Satgas Kemanusiaan ITS juga telah mengirimkan bantuan teknologi, termasuk perangkat Starlink dan genset.

“Ada lima bantuan Starlink yang kita kirimkan dan tiga genset untuk dikirimkan ke daerah-daerah yang memang sama sekali tidak ada jaringan listrik di sana,” ujarnya.

Selain itu, ITS juga mengerahkan tim dosen dari Teknik Sipil dan Geomatika untuk membantu penyediaan air bersih sederhana, serta melakukan pemetaan wilayah terdampak menggunakan drone.

“Kami juga mencoba untuk memetakan menggunakan drone kawasan-kawasan terdampak untuk dapat kiranya mengestimasi kerusakan-kerusakan material yang ada di kawasan-kawasan di sekitar Aceh,” jelasnya.

Ke depan, ITS berencana kembali mengirimkan tim lanjutan. Termasuk, tim penyediaan air bersih berbasis reverse osmosis yang dipadukan dengan panel surya. Rencananya, tim lanjutan itu akan datang mulai Minggu depan.

Distribusi peralatan tersebut akan dilakukan bekerja sama dengan TNI AU menggunakan pesawat Hercules, agar bisa menjangkau wilayah yang sulit diakses.

Reverse osmosis itu kami akan distribusikan melalui Bandara Abdurrahman Saleh menggunakan pesawat Hercules, untuk menjangkau langsung ke daerah Lhokseumawe yang kemarin aksesnya agak sulit terjangkau,” ucap Prof. Jadid.

Menurutnya, kebutuhan paling mendesak saat ini masih logistik pangan seperti beras dan air bersih, terutama di wilayah-wilayah terpencil. “Tetapi yang lebih urgen lagi di titik-titik tertentu adalah air bersih,” tegasnya.

Prof. Jadid juga menyampaikan, Satgas Kemanusiaan ITS tidak hanya bergerak di Aceh, tetapi juga menyalurkan bantuan ke daerah lain di Sumatera, termasuk Sumatera Barat.

“Tim ITS tidak hanya bergerak di Aceh saja tetapi kami juga ada mengirimkan bantuan berupa wakaf desain hunian tetap, hunian sementara di daerah Padang Panjang, Sumatera Barat,” pungkasnya.

Dia mengharapkan dukungan dan doa dari masyarakat Indonesia agar proses pemulihan pascabencana di Aceh dan wilayah terdampak lainnya dapat berjalan dengan baik. Karena menurutnya, proses pemulihan itu juga bakal butuh waktu yang lama.

“Mohon doanya bagi masyarakat-masyarakat di Indonesia seluruh Indonesia untuk teman-teman dan saudara-saudara kita di Sumatera, di Aceh dan tempat-tempat yang lain terdampak bencana,” pungkasnya.(bil/rid)


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
BGN Salurkan 1,5 Juta Bantuan Gizi Pasca Bencana Sumatera
• 11 jam lalutvrinews.com
thumb
Dua Gol Bunuh Diri Antar Arsenal Taklukkan Wolves 2-1 dan Kokoh di Puncak Klasemen Liga Inggris
• 15 jam lalupantau.com
thumb
Rabi Pendukung Penjajahan Palestina jadi Korban Pertama Penembakan Sydney
• 1 jam lalurepublika.co.id
thumb
Awal Mula Davina Karamoy Dituding Jadi Orang Ketiga di Rumah Tangga Eks Menpora, Siap Tempuh Jalur Hukum?
• 3 jam laluviva.co.id
thumb
Banjir Bukan Lagi Bencana Alam, Ini adalah Kegagalan Tata Kelola Manusia
• 21 jam laluharianfajar
Berhasil disimpan.