Di Balik Nilai Mendadak Naik: Ada Guru yang Tak Pernah Diundang dalam Keajaiban

kumparan.com
8 jam lalu
Cover Berita

Ada satu rahasia kecil dalam dunia pendidikan kita hari ini. Rahasia yang semua guru tahu, semua siswa pura-pura lupa, dan semua orang dewasa berpura-pura tidak melihat. Rahasia itu adalah nilai yang tiba-tiba naik tanpa ada usaha yang benar-benar naik.

Nilai 30 berubah menjadi 75. Nilai 45 mendadak menjadi 80. Siswa yang tidak pernah mengerjakan tugas harian tiba-tiba bisa lolos KKM, seolah ada malaikat akademik yang rajin bekerja lembur.

Namun di balik “keajaiban” itu, ada satu tokoh yang tak pernah disebut. Figur yang tak pernah dipersilakan duduk di meja kehormatan, padahal dia yang paling sering terluka: Guru.

Saya merasakannya sendiri, ketika dulu mengajar sebagai guru. Setiap pagi saya masuk kelas membawa harapan yang sederhana—bukan harapan besar, melainkan harapan bahwa hari ini mungkin ada satu dua anak yang berubah. Bahwa tugas harian tidak lagi kosong. Bahwa ada sebersit kesadaran, bahwa belajar bukan sekadar menggugurkan kewajiban.

Namun sering kali, harapan itu jatuh pecah begitu saya melihat tumpukan kertas tugas yang kosong. Bukan kosong karena tidak tahu, tapi kosong karena tidak mau mencoba. Kosong seperti dinding yang tak memantulkan suara; sekeras apa pun guru memanggil, tak ada jawaban balik.

Dan ada momen-momen tertentu di mana saya berdiri di depan kelas, memandang wajah-wajah yang hadir secara fisik, tetapi entah jauh ke mana secara batin. Rasanya seperti berbicara pada kursi—setidaknya kursi tidak memainkan HP.

Saat ujian semester, situasinya tidak jauh lebih baik. Hasilnya seperti badai yang datang tiba-tiba: angka 30, 40, 50 memenuhi daftar nilai. Saya tidak marah—yang saya rasakan lebih mirip perasaan kehilangan. Seolah ada sesuatu yang hilang dalam perjalanan mereka menjadi manusia: rasa ingin tahu, rasa tanggung jawab, rasa malu ketika tidak berusaha.

Lalu tibalah fase remedial. Saya menyiapkan soal yang lebih mudah, memberi kesempatan kedua, ketiga, kadang keempat. Saya menunggu dan menanti kehadiran mereka. Tidak ada suara langkah kaki; tidak ada salam; tidak ada wajah yang muncul di pintu dengan rasa bersalah. Saya pikir remedial akan menjadi kesempatan memperbaiki keadaan, tapi ternyata yang datang justru ketiadaan. Siswa yang paling butuh remedial malah tidak pernah muncul.

Namun sistem berjalan tanpa peduli bagaimana kenyataannya. Rapor harus diisi, standar harus dipenuhi, dan angka harus naik. Maka tibalah momen yang paling menggores hati guru mana pun: membaca ulang deretan nilai merah sambil mencari cara untuk ‘menaikkan’ mereka; bukan karena siswa berusaha, melainkan karena keadaan memaksa.

Bukan karena guru ingin memalsukan realitas, melainkan karena realitas sudah terlalu berat untuk dibiarkan telanjang. Maka, angka-angka itu naik—pelan, hati-hati, dan penuh kompromi.

Dan setiap kali saya mengetik angka KKM untuk siswa yang tidak pernah muncul remedial, saya merasa seperti sedang membohongi masa depan mereka.

Itu bagian paling menyakitkan: bukan karena saya lelah, melainkan karena saya tahu mereka sendiri yang akan menanggung konsekuensinya.

Fenomena ini bukan hanya saya yang alami sendiri. Guru dari berbagai daerah merasakan hal yang sama: anak yang hadir, tapi tidak benar-benar hadir, tugas yang terlupakan, ujian yang tak dipersiapkan, dan guru yang harus menjadi penolong sekaligus penanggung jawab.

Yang paling menyakitkan bukanlah nilai rendah, melainkan tanda-tanda bahwa rasa tanggung jawab itu perlahan hilang dari generasi ini—dan kita membiarkannya terjadi karena tekanan sistem.

Namun, di balik semua sinisme yang kami simpan rapi, ada cinta yang tak mati-mati. Ada harapan kecil yang terus hidup, meski sering dihantam kenyataan. Guru selalu berharap bahwa suatu hari nanti, ada satu siswa membuka buku tanpa diminta.

Ada satu siswa datang remedial dengan kesadaran, bukan keterpaksaan. Ada satu siswa yang memahami bahwa belajar adalah investasi dirinya sendiri, bukan hadiah yang datang dari langit.

Karena guru—sekeras apa pun terlihat di luar—selalu lembut di dalam; selalu ingin yang terbaik, bahkan ketika dunia pendidikan tak mempermudah perjalanan itu.

Dan inilah penutup yang mungkin tak nyaman didengar, tetapi harus dikatakan: “Kita terlalu sering menaikkan angka, sampai lupa menaikkan kualitas kemanusiaan”.

Guru bisa menaikkan nilai dan menambal rapor. Guru bisa mempercantik angka-angka. Namun, tidak ada guru di dunia ini yang bisa menolong masa depan seseorang yang tidak mau menolong dirinya sendiri.

Jika keajaiban diperlukan untuk membuat nilai naik, biarlah keajaiban itu muncul dari kesadaran mereka— bukan dari tangan guru yang lelah, yang tak pernah diundang dalam cerita keajaiban itu.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Polri Evakuasi 1 Jenazah hingga Bangun Jembatan di Sumbar Usai Bencana
• 12 jam laluokezone.com
thumb
Air Mata Perempuan Sikka yang Mengalirkan Mata Air . . .
• 13 jam lalukompas.id
thumb
Kemenbud Soft Launching Buku Sejarah Indonesia Versi Baru
• 1 jam laludetik.com
thumb
Rugby7 putri gagal raih kemenangan di SEA Games 2025
• 2 jam laluantaranews.com
thumb
Tur Messi di Kolkata India Ricuh, Fans Lempar-lempar Kursi!
• 12 jam laludetik.com
Berhasil disimpan.