Wajah Baru DPR di Ruang Sidang MK

kompas.id
7 jam lalu
Cover Berita

Persidangan di Mahkamah Konstitusi belakangan tampak berbeda. Kursi untuk perwakilan Dewan Perwakilan Rakyat yang sebelumnya kerap kosong, kini hampir selalu terisi. Staf Badan Keahlian DPR ditugaskan mengikuti jalannya persidangan, mencatat hal-hal penting, termasuk permintaan majelis hakim seperti risalah pembahasan rancangan undang-undang dan dokumen pendukung lainnya untuk kemudian disiapkan.

Perubahan ini tak luput dari perhatian Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Suhartoyo. Pada 5 November 2025, MK menyidangkan perkara pengujian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta UU No 11/2021 tentang Kejaksaan. Perkara yang diregistrasi dengan Nomor 172/PUU-XXIII/2025 tersebut diajukan oleh PT Sinergi Megah Internusa dan PT Pondok Solo Permai, dengan agenda mendengarkan keterangan Presiden dan DPR.

Namun dalam sidang tersebut, kuasa Presiden yang diwakili tim dari Kementerian Hukum belum siap menyampaikan keterangan. Mereka pun meminta penundaan penyampaian keterangan Presiden ke sidang berikutnya.

Menanggapi situasi itu, Suhartoyo melontarkan komentar ringan tetapi menyentil, “Ini sekarang kok Presiden menjadi agak terbalik ya? Dulu lebih rajin, sekarang malah DPR yang…, (Pemerintah) kalah ini, akhir-akhir ini. Yang siang nanti pun juga belum siap kan? DPR sudah siap juga untuk yang siang. Nanti disampaikan, Pak, ke timnya, ke instansi terkait juga.”

Pada akhirnya, kualitas pengujian undang-undang di MK tidak hanya ditentukan oleh hakim dan pemohon, tetapi juga oleh sejauh mana DPR bersedia hadir, menjelaskan, dan merefleksikan produk hukum yang dibuatnya atas nama rakyat.

Pada siang hari yang sama, MK kembali menyidangkan perkara pengujian UU No 24/2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan DPR dan Presiden. Dalam perkara ini, pemerintah telah meminta penundaan pemberian keterangan sejak sehari sebelumnya. Oleh karena itu, sidang dijadwalkan hanya untuk mendengarkan keterangan DPR yang semestinya disampaikan oleh anggota Komisi III DPR.

Baca JugaHakim MK Marah Kuasa Pemohon Tak Pernah Hadir, Akankah Era Sidang Daring di MK Berakhir?

Namun, perwakilan DPR yang ditugaskan mengikuti persidangan, Yudarana Sukarno Putra—staf Badan Keahlian DPR—menyampaikan bahwa pihaknya harus mengajukan penundaan karena adanya rapat internal mendadak di Komisi III. Menanggapi permintaan tersebut, Suhartoyo menyatakan bahwa DPR sebenarnya telah mengonfirmasi kesiapan sejak pagi. Akan tetapi, karena adanya agenda mendadak, majelis hakim akhirnya memutuskan untuk menunda persidangan tersebut.

Situasi ini menjadi kontras jika dibandingkan dengan praktik pada masa-masa sebelumnya. Dalam banyak perkara pengujian UU, DPR kerap tidak menghadiri persidangan dan berulang kali meminta penundaan pemberian keterangan.

Perubahan sikap ini juga dicatat oleh Viktor Santoso Tandiasa, pengacara yang kerap menangani perkara pengujian UU di MK. Ia menilai terdapat perbedaan yang signifikan dalam kehadiran dan partisipasi DPR di persidangan. DPR kini secara konsisten mengutus perwakilan atau kuasa dari Badan Keahlian DPR untuk hadir dan memberikan keterangan dalam setiap perkara. 

“Kalau kita melihat DPR sebelumnya, dalam sidang pengujian undang-undang jarang sekali terlihat ada perwakilan anggota DPR ataupun kuasanya yang hadir. Bahkan DPR juga jarang memberikan keterangan,” ujar Viktor.

Selama ini, keaktifan di persidangan lebih banyak ditunjukkan oleh pemerintah sebagai kuasa Presiden. Viktor melihat perubahan ini terjadi setelah pergantian Kepala Badan Keahlian DPR, yang kini dijabat oleh Bayu Dwi Anggono, mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember.

Baca JugaBadan Keahlian DPR Kaji RUU Cipta Kerja Sebelum Masuk Pembahasan

Menurut Viktor, perubahan tersebut mencerminkan political will DPR sebagai pembentuk UU untuk bertanggung jawab menjelaskan norma-norma yang dipersoalkan warga negara. Meski demikian, ia menilai masih diperlukan penguatan sumber daya manusia dan penambahan personel, terutama di Badan Keahlian DPR. Hal ini mengingat meningkatnya jumlah perkara pengujian UU dan semakin cepatnya proses registrasi serta penjadwalan sidang di MK.

Apresiasi serupa juga disampaikan oleh A Fahrur Rozi, advokat yang kerap berperkara di MK. Ia menilai DPR kini lebih siap dan tidak lagi mudah meminta penundaan sidang. Namun, Rozi mengkritik sikap DPR yang dinilainya masih kurang aktif dalam dinamika perdebatan persidangan.

“Termasuk terbilang jarang, atau bahkan tidak sama sekali, untuk ikut menghadirkan ahli. Jadinya, DPR seperti hanya menjadi penonton dalam sidang antara pemohon yang berhadapan langsung dengan pemerintah,” ujar Rozi.

Rozi berharap DPR dapat benar-benar mempertanggungjawabkan produk UU yang dibuatnya di hadapan publik. Sikap pasif, menurutnya, justru menimbulkan kesan bahwa DPR sekadar menjadi alat untuk mengakomodasi kepentingan legislasi pemerintah.

Substansi keterangan

Selain soal kehadiran, perubahan juga terlihat dalam substansi keterangan DPR. Sebelumnya, DPR kerap memulai keterangannya dengan mempersoalkan kedudukan hukum pemohon dan menutup dengan permintaan agar MK menyatakan pemohon tidak memiliki legal standing atau menolak permohonan.

Kini, keterangan DPR lebih langsung menyentuh substansi norma yang diuji dan diakhiri dengan kesimpulan, tanpa secara eksplisit meminta MK menolak permohonan.

Misalnya dalam perkara pengujian UU No 32/2014 tentang Kelautan (Perkara Nomor 180/PUU-XXIII/2025), keterangan DPR yang dibacakan oleh anggota DPR Martin D. Tumbelaka langsung membahas pasal-pasal yang diuji. Pada bagian penutup, DPR menyimpulkan bahwa pasal-pasal tersebut tidak bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, seraya menyatakan, “Apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya.” 

Format ini berbeda dengan keterangan pemerintah yang masih menegaskan permintaan agar MK menerima keterangan Presiden secara keseluruhan, menyatakan pemohon tidak memiliki kedudukan hukum, menolak permohonan, dan menyatakan norma yang diuji konstitusional.

Bukan DPR versus pemohon

Viktor menilai perubahan ini menunjukkan bahwa DPR mulai memahami karakter pengujian UU di MK yang tidak bersifat inter partes. Pemerintah dan DPR bukanlah pihak yang saling berhadapan dengan pemohon, melainkan pihak yang diundang untuk menjelaskan proses pembentukan UU, menyerahkan risalah pembahasan, serta menerangkan dinamika perdebatan saat norma tersebut dirumuskan.

Dengan cara itu, MK dapat memperoleh pemahaman yang lebih komprehensif mengenai konstitusionalitas norma, termasuk aspek filosofis, historis, dan original intent-nya. Viktor berharap pemahaman ini juga dapat mendorong pemerintah untuk memperbaiki cara pandangnya sebagai pemberi keterangan di MK.

Pandangan senada disampaikan pengajar hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Udayana, Jimmy S. Usfunan. Menurutnya, perubahan wajah DPR di persidangan MK mencerminkan meningkatnya kesadaran DPR atas tanggung jawab konstitusionalnya sebagai pemegang kekuasaan pembentukan UU sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.

Baca JugaMK Diharapkan Lebih Tegas Mengoreksi Kesalahan Legislasi di DPR

Kondisi ini sekaligus menunjukkan peran optimal Badan Keahlian DPR sebagai supporting organ dalam penanganan perkara pengujian UU. Terkait sikap DPR yang tidak lagi mempersoalkan kedudukan hukum pemohon, Jimmy menilai hal itu wajar karena isu legal standing telah diperiksa MK dalam sidang pendahuluan. Dengan demikian, persidangan pokok perkara dapat lebih fokus pada perdebatan substansial.

Pilihan DPR untuk tidak meminta MK menolak permohonan juga dinilai sesuai dengan hakikatnya sebagai pemberi keterangan. DPR berkewajiban menjelaskan original intent UU, bukan menempatkan diri sebagai pihak yang berhadap-hadapan dengan pemohon. 

“Makna pemberi keterangan tidak menempatkan DPR pada posisi berseberangan dengan pemohon. DPR justru merupakan wakil rakyat, termasuk pemohon itu sendiri,” ujar Jimmy.

Permohonan pengujian UU, baginya, dapat dipandang sebagai bentuk evaluasi terhadap produk legislasi yang telah dibentuk. Selain itu, DPR juga memiliki fungsi pemantauan dan peninjauan terhadap pelaksanaan UU. Oleh karena itu, DPR tidak hanya menjelaskan maksud awal pembentukan norma, tetapi juga dapat melakukan refleksi atas relevansi UU tersebut dengan kondisi saat ini.

Baca JugaLegislasi Buruk, MK Jadi Tempat ”Cuci Piring”

Perubahan wajah DPR di persidangan MK menunjukkan pergeseran penting dalam praktik ketatanegaraan. Kehadiran yang lebih konsisten, keterangan yang lebih substansial, serta sikap yang tidak lagi semata-mata berhadap-hadapan dengan pemohon membuka ruang bagi perdebatan konstitusional yang lebih sehat dan bermakna.

Meski masih terdapat catatan kritis, terutama partisipasi aktif dalam persidangan, langkah DPR ini patut dipandang sebagai awal perbaikan. Pada akhirnya, kualitas pengujian UU di MK tidak hanya ditentukan oleh hakim dan pemohon, tetapi juga oleh sejauh mana DPR bersedia hadir, menjelaskan, dan merefleksikan produk hukum yang dibuatnya atas nama rakyat.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Timnas U-22 Gagal di SEA Games 2025, Pengamat Kritik Peran Zainuddin Amali
• 4 jam lalumedcom.id
thumb
Kronologi Prabowo Dihadang Pria Paruh Baya Saat Kunjungi Lokasi Bencana di Langkat, Diteriaki dan Ditunjuk-tunjuk
• 7 jam lalugrid.id
thumb
Raperda Kawasan Tanpa Rokok di Jakarta Dinilai Abaikan Masukan Pelaku Industri Event 
• 2 jam laluidxchannel.com
thumb
Bantuan Tahap III Kementan Peduli Siap Diberangkatkan untuk Korban Bencana Sumatera
• 12 jam lalurepublika.co.id
thumb
Sabar/Reza Sabet Emas Ganda Putra Bulu Tangkis di SEA Games 2025
• 5 jam lalumediaindonesia.com
Berhasil disimpan.