FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Pegiat media sosial, Herwin Sudikta, merespons kabar permintaan Presiden ke-7 RI, Jokowi, agar penggunaan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) diatur secara ketat.
Seperti diketahui, belum lama ini Lean Intelligent Service Assistant (LISA), sistem kecerdasan buatan milik Universitas Gadjah Mada (UGM), membuat heboh publik.
LISA menegaskan bahwa Jokowi bukan alumni Fakultas Kehutanan UGM. Akibatnya, pihak kampus memberhentikannya untuk sementara.
Herwin menuturkan, sejak awal kehadiran AI justru dielu-elukan sebagai simbol kemajuan teknologi.
“Lucu juga ya. Awalnya AI dielu-elukan modern, canggih, simbol kemajuan,” kata Herwin kepada fajar.co.id, Minggu (14/12/2025).
Namun, ia mengatakan bahwa sikap tersebut berubah ketika teknologi AI mulai menyampaikan informasi berbasis data yang dinilai sensitif.
“Tapi begitu LISA mulai bicara berdasarkan data, mendadak nadanya berubah jadi perlu regulasi ketat, saya khawatir,” sebutnya.
Lanjut Herwin, secara prinsip AI bekerja secara konsisten dan objektif sesuai dengan data yang dimilikinya.
Jika kemudian muncul kegelisahan terhadap hasil yang disampaikan, ia menilai persoalannya bukan terletak pada teknologi itu sendiri.
“Padahal AI itu konsisten. Yang inkonsisten biasanya data atau kenyamanan dengan kebenaran,” tegasnya.
Ia bahkan menyebut, kekhawatiran terhadap AI bisa jadi mencerminkan kegelisahan terhadap fakta yang ditampilkan tanpa filter.
“Kalau mesin saja bisa bikin orang mendadak khawatir, mungkin masalahnya bukan pada kecerdasan buatannya,” imbuhnya.
Herwin bilang, persoalan utama justru ada pada realitas yang diungkapkan AI secara apa adanya.
“Tapi pada kenyataan yang ia tampilkan tanpa sensor,” kuncinya.
Sebelumnya, Pakar Digital Forensik, Rismon Sianipar, kembali bicara mengenai sistem kecerdasan buatan LISA milik Universitas Gadjah Mada (UGM) yang mendadak dihentikan.
Rismon mempertanyakan keputusan tersebut dan menilai respons LISA sebelumnya justru memberikan gambaran tentang bagaimana sistem tersebut dibangun.
“Kenapa output seperti itu dikeluarkan oleh sistem atau sistem intelijen yang di-train, dilatih dengan data mereka sendiri,” ujar Rismon dikutip dari diskusi publik Rakyat Bersuara I News TV, Jumat (12/12/2025).
“Ayo cerdaskan publik, jangan di-shutdown, jangan di-bungkam. Malah mungkin nanti Lisa jadi tersangka juga,” tambahnya.
Dikatakan Rismon, UGM memang tidak mempublikasikan secara terbuka teknologi apa yang digunakan LISA.
Namun dari pola jawabannya, ia menyimpulkan bahwa sistem tersebut tidak menggunakan model besar seperti ChatGPT-4 atau GPT-5.
“Nah, tapi dari jawabannya, saya bisa memprediksi itu cuma pakai LLMA fine-tuned. Dengan parameter 2 sampai 3 miliar parameter,” jelasnya.
Ia membandingkan kemampuan LISA dengan model komersial berparameter jauh lebih besar.
“Beda dengan yang chat GPT-5 atau 4, itu 1 triliun lebih parameter. Dari jawaban singkat itu, kira-kira itu, saya prediksi,” Rismon menuturkan.
Kata Rismon, model dengan parameter 2–3 miliar sudah termasuk kategori large language model, namun LISA tampak menjalankan versi yang sudah diolah ulang.
“Dengan 2 sampai 3 miliar parameter, untuk LLMA itu large language model, fine-tuned. Artinya fine-tuned itu di-train, dilatih dengan data internal UGM sendiri,” terangnya.
Ia menambahkan, inilah alasan respons LISA bisa mengarah pada kesimpulan tertentu.
“Artinya jawaban dari Lisa itu merupakan hasil analisa Lisa berdasarkan dataset dari internal UGM. Iya, makanya di-bungkam,” sesalnya.
Rismon juga mengungkap adanya kemungkinan bahwa dataset internal UGM berperan besar dalam membentuk respons LISA.
“Sekarang pertanyaannya, berarti ada dataset internal UGM yang gak kami ketahui. Sehingga dibuat simpulan, Lisa menyimpulkan,” terangnya.
Ia kembali menegaskan bahwa sifat output LISA erat dengan data latih internal UGM.
“Output seperti itu dikeluarkan oleh sistem atau sistem intelijen yang di-train, dilatih dengan data mereka sendiri,” tandasnya.
(Muhsin/fajar)




