Bangunlah Jiwa Surabaya dengan Seni dan Budaya

kompas.id
21 jam lalu
Cover Berita

SURABAYA, KOMPAS - Pembangunan Surabaya, ibu kota Jawa Timur, dinilai jangan hanya mengutamakan aspek fisik. Pembangunan manusia melalui seni dan budaya amat penting dan bermakna.

Ketua Bengkel Muda Surabaya Heroe Boediarto menyampaikan hal itu, Minggu (14/12/2025). Bengkel Muda Surabaya atau BMS merupakan komunitas seni budaya yang eksis sejak 1972 atau telah berusia 53 tahun.

Untuk memeriahkan perayaan ulang tahun ke-53, BMS memanggungkan seni budaya ”Surabaya Ayo Bicara dan Skolah Skandal” di Balai Pemuda Surabaya, 10-11 Desember 2025.

Kegiatan yang disebut BMS Movement ini meliputi doa, menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, pembacaan falsafah BMS, musikalisasi puisi, orasi budaya, narasi asal usul Surabaya, ludruk garingan dan ludruk besutan, ansambel gitar, dan teater Skolah Skandal karya maestro Akhudiat.

Heroe mengatakan, BMS Movement menandai kembali produksi teater oleh sanggar tertua di Bumi Pahlawan tersebut. Gerakan juga untuk menguatkan pendidikan publik mengenai seni budaya sebagai ruang perjumpaan, peradaban, dan kritik sosial secara elegan.

Baca Juga732 Warsa Surabaya Menguat Lawan Bahaya

”Sejak abad ke-14 (1280 Saka atau 1358 Masehi), nama Surabaya telah tercatat dalam Prasasti Canggu (Trowulan I) sebagai Curabhaya. Jauh sebelum kita menyebut sebagai Kota Pahlawan, Surabaya sudah menjadi simpul peradaban, silang budaya, pertemuan manusia,” ujar Heroe,

Ia adalah koordinator Forum Masyarakat Madani Maritim (FM3) yang keras menolak Surabaya Waterfront Land karena diyakini sebagai proyek penghancuran Pantai Timur Surabaya.

Heroe melanjutkan, pada abad ke-17, VOC atau kongsi dagang Belanda membangun Surabaya sebagai kosmopolitan ”Eropa mini”. Sebagai bandar pelabuhan yang keras, ramai, tetapi tangguh dari paparan dominasi budaya, Surabaya diklaim tak pernah kehilangan watak manusianya yang berani, cerdas, dan pantang tunduk pada keadaan.

Surabaya sebagai kadipaten, karesidenan, gementee atau kotamadya dengan silih berganti pemimpin rakyat yang berani dan cerdas. Heroe menyebut Jayalengkara, Pangeran Pekik, Jayengrana I, sampai Jayengrana V sebagai pemimpin perlawanan yang bukan sekadar memakai pedang, melainkan kecerdikan dan kecerdasan.

”Sejarah resmi mencatat Surabaya berpindah dari satu kekuasaan ke (kekuasaan) yang lain, tetapi ingatan budaya memperlihatkan Surabaya selalu kembali ke akarnya, ke harga diri Jawa Timur terbayang-bayang kemasyhuran Kerajaan Majapahit,” kata Heroe.

Janganlah sekadar membayangkan pembangunan saat ini berlandaskan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Pembangunan fisik, menurut Heroe, seolah dielu-elukan dengan jalan raya, proyek mercusuar, dan gorong-gorong demi mengatasi ancaman banjir.

Surabaya juga patut dibangun jiwanya, bukan sekadar badannya. Jiwa berarti manusianya, imajinasinya, dan keberanian menempatkan seni budaya sebagai pusat peradaban. Heroe mengatakan, seni budaya memberi identitas dan warna yang kuat dalam karakter Surabaya.

”Pembangunan fisik bisa runtuh, roboh, hancur karena usia dan bencana. Namun, jiwa manusianya yang merdeka, kreatif, cakrawala luas akan abadi menemani perjalanan kota ini,” kata Heroe.

Baca JugaBudaya Perkuat Jati Diri Anak Surabaya

Dalam orasi budaya, Rohmat Djoko Prakosa dari Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya menyatakan, manusia Surabaya terbukti tangguh dari paparan peradaban luar. Lihatlah dalam bahasa gagrak atau gaya Arek(an).

”Karena Surabaya, misalnya ungkapan Cuk (jancuk) yang berkonotasi kasar bisa diterima sebagai umpatan, kekaguman, dan persaudaraan di mana-mana,” ujar Rohmat.

Dari silang budaya, di Surabaya tidak terjadi dominasi suku dan bahasa. Peranakan Nusantara dan mancanegara melebur dan menerima bahasa gaya Suroboyoan sebagai identitas dan karakter. Di sinilah, menurut Rohmat, cermin manusia Surabaya yang tak jauh dari asal nama wilayah Curabhaya atau berani menghadapi bahaya.

Julukan sebagai Bumi Pahlawan dari Pertempuran Surabaya 1945 yang diperingati setiap 10 November sebagai Hari Pahlawan sepatutnya tidak membuat Surabaya pongah. Rohmat mengingatkan, kepahlawanan tidak akan terlihat dari pembangunan fisik melainkan yang menyentuh dan memuliakan sumber daya manusia.

Masih terkait kegiatan seni budaya, di tempat terpisah, yakni IFI (Institut Francais Indonesie) Surabaya, diluncurkan buku cerita pendek 12 perempuan berjudul Rumpun Kupu-kupu. Menurut Endang Winarti alias Wina Bojonegoro, inisiator Perlima (Perempuan Penulis Padma) sekaligus CEO Padmedia Publisher yang menerbitkan Rumpun Kupu-kupu, peluncuran buku gabungan 12 perempuan penyastra ini sengaja mengambil tanggal 12 dan bulan 12.

”Kami mendedikasikan peluncuran buku ini untuk peringatan Hari Perempuan (22 Desember),” kata Wina, penerima Anugerah Sutasoma 2024, penghargaan sastra dari Balai Bahasa Jawa Timur. Selain Wina, perempuan penyastra yang terlibat dalam Rumpun Kupu-kupu ialah Ana Ratri Wahyuni, Anindita S Thayf, Intan Andaru, Muna Masyari, Ni Komang Ariani, Ninuk Retno Raras, Sasti Gotama, Titik Kartitiani, Vika Wisnu, Yetti A KA, dan Yuliani Kumudaswari.

Wina melanjutkan, Surabaya menjadi lokasi peluncuran, salah satunya untuk terus memelihara denyut nadi sastra perempuan. Surabaya perlu terus melahirkan para perempuan yang tangguh dalam pengembangan seni budaya melalui kesastraan.

”Sastra mencerminkan kemajuan peradaban manusianya. Jadi, pembangunan tanpa menyentuh manusia termasuk perempuan, tidak akan bermakna,” kata Wina.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
BPK Soroti Tertundanya Pungutan Pajak Karbon, Kemenkeu Angkat Tangan?
• 7 jam lalubisnis.com
thumb
Sudah Ditekan Obligasi, Wall Street Kini Diterpa Kekhawatiran Gelembung AI
• 12 jam laluwartaekonomi.co.id
thumb
Sistem Jaminan Pensiun Kita Terlalu Tua untuk Abad ke-21
• 10 jam lalukumparan.com
thumb
Rayakan HUT ke-24 Transmedia, Putri Tanjung Bocorkan Kejutan Tahun Depan
• 19 jam laluinsertlive.com
thumb
Frederik Kalalembang: Polri Sudah Baik, Tidak Perlu Direformasi Besar-besaran
• 8 jam lalufajar.co.id
Berhasil disimpan.