Kehadiran teknologi Artificial Intelligence (AI) telah mengubah lanskap dunia konten kreator. Hal yang dulunya membutuhkan peralatan mahal dan kru yang banyak, kini bisa dipangkas menjadi lebih efisien. Namun, secanggih apa pun AI, hasilnya sangat bergantung pada bagaimana manusia memberikan instruksi atau prompt.
Dalam acara kumparan Hangout x Polytron bertajuk “Kreator Naik Kelas Bikin Konten Berkualitas: AI Ready with Polytron Luxia” yang digelar di Polytron EV Gallery & Service, Slipi, Jakarta Barat, Sabtu (13/12), AI Content Creator Eddy Sukmana membagikan rahasianya. Dia menekankan bahwa saat ini hambatan teknis bukan lagi alasan untuk berhenti berkarya.
"Jadi, kalau dulu itu kita punya seribu alasan untuk tidak ngonten. Setuju? Nggak punya kamera, nggak ada mic yang oke, nggak bisa ngomong di depan kamera, ada banyak. Tapi sekarang, kita punya seribu cara untuk mulai membuat konten," ujar Eddy.
Bagi kreator pemula maupun profesional, tantangan terbesar seringkali adalah memulai. Eddy menyarankan penggunaan laptop yang mendukung AI, seperti Polytron Luxia Pro Ultra 5. Laptop yang andal bisa mempercepat proses kerja, meningkatkan kreativitas dan produktivitas dengan memanfaatkan tools-tools AI yang ada di dalamnya.
Apalagi Luxia Pro Ultra 5 yang sudah memiliki tombol Copilot khusus di keyboard, membuat proses ideation semakin mudah. Namun, agar AI memberikan hasil maksimal, Eddy memperkenalkan metode prompting terstruktur. Ia membeberkan rumus andalanya, yakni: Role, Context, Format, Tone, Goal.
Untuk mencari ide (text-to-text), sekadar meminta "buatkan ide konten" saja tidak cukup. Eddy membedah struktur prompt yang efektif menjadi lima bagian: Role (Peran), Context (Latar Belakang), Format (Struktur), Tone (Nada/Gaya), dan Goal (Tujuan).
"Contoh. Kalau kita memberikan Role atau peran. Jadi kalau tadi misalnya kita 'buatkan ide konten', nggak ada perannya. AI-nya nggak disuruh jadi siapa-siapa. AI kan bisa jadi siapa pun ya. Nah, kita suruh dia: 'Jadilah seorang ahli marketing digital' atau 'Jadilah seorang scriptwriter TikTok'," jelas Eddy.
Setelah peran ditentukan, kreator harus memberikan konteks yang jelas, termasuk siapa target audiensnya.
"Saya sedang membuat konten untuk target audiens siapa gitu ya. Untuk UMKM Kopi Lokal. Itu latar belakangnya. Lalu audiens-nya umur berapa? Jadi kalau kita membuat konten, kita kasih tahu konten kita buat siapa," tambahnya.
Format dan Tone juga krusial agar output AI bisa langsung digunakan tanpa banyak revisi.
"Kita bisa bilang ke AI: 'Buatkan dalam bentuk list, tabel, atau misalnya caption atau script'. Kita minta. Kasih hook-nya, kasih call to cction-nya," kata Eddy. "Lalu juga nada atau tone, gayanya. Misalnya kita pengennya tulisannya kayak gimana? Santai? Formal? Informatif?"
Dari Perintah Menjadi Konten Gambar dan VideoSetelah memahami konsep dasarnya, Eddy juga menjelaskan aspek lain saat prompting untuk menghasilkan gambar dan video. Ia mengingatkan bahwa AI bekerja berdasarkan deskripsi visual, bukan asumsi.
"AI itu tidak bisa menebak niat kita. Jadi kita harus deskripsikan. Walaupun dia pintar, dia enggak bisa... Kita harus jelasin," kata Eddy.
Ia memberikan contoh perbedaan antara prompt yang buruk dan baik. Jika hanya mengetik "Buatkan foto produk lipstik", hasilnya akan standar. Namun, dengan detail yang spesifik, hasilnya bisa terlihat profesional dan mewah.
"Buatkan foto produk lipstik matte merah yang diletakkan di atas kain sutra merah tua dengan pantulan cahaya lembut. Suasananya mewah dan sensual. Tone-nya itu deep cinematic," contoh Eddy dalam memberikan instruksi detail kepada AI.
Berbeda dengan hanya untuk gambar, dalam pembuatan video (text-to-video), struktur narasi menjadi kunci. Eddy menyarankan penggunaan alur tiga bagian: Hook, Isi, dan Closing (CTA).
"Hook, misalnya 'Pernah bingung urutan skincare?'. Isinya 'Langkah pemakaian'. Lalu juga closing-nya 'Coba sekarang dan rasakan bedanya'. Nanti AI-nya akan membantu membuatkan video yang lebih sesuai," paparnya.
Eddy juga menyebutkan beberapa tools yang bisa digunakan kreator saat ini seperti PIKA AI, TopView, hingga fitur AI di aplikasi populer seperti CapCut yang kini semakin canggih.
Menutup sesinya, Eddy mengingatkan, meski AI mempermudah segalanya, sentuhan manusia (human touch) dan etika tetaplah yang utama. Baginya, keaslian dan orisinalitas akan menjadi nilai paling mahal di masa depan.
"AI itu belum bisa menggantikan intuisi, empati, dan kreativitas manusia saat ini," tegas Eddy.
Ia menekankan posisi AI hanyalah sebagai alat bantu, sementara kendali penuh tetap ada di tangan kreator.
"Dengan adanya etika, masa depan ideal kolaborasi antara manusia dan AI itu akan terwujud. Artinya, AI itu akan menjadi co-pilot, bukan pilot. Kita yang tetap jadi pilotnya untuk mengarahkan AI dan membantu kita membuat proses atau produksi AI jadi lebih cepat," pungkasnya.




