Memahami Demokrasi di Indonesia melalui Pemikiran kritis berdasarkan Teori Jurgen Habermas dalam Studi (Pendekatan Filosofis)

harianfajar
20 jam lalu
Cover Berita

Oleh: Teguh Esa Bangsawan DJ, S.Hum., M.Hum
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Filsafat Universitas Indonesia

Demokrasi modern secara normatif dipahami sebagai sistem politik yang berlandaskan kedaulatan rakyat, kebebasan berpendapat, kesetaraan politik, serta supremasi hukum. Indonesia, sebagai negara demokrasi pasca-Reformasi 1998, secara formal telah mengadopsi prinsip-prinsip tersebut melalui pemilihan umum yang periodik, jaminan hak asasi manusia, dan sistem ketatanegaraan yang konstitusional. Namun demikian, praktik demokrasi Indonesia masih menghadapi berbagai problem mendasar, seperti melemahnya rasionalitas publik, dominasi kepentingan elite, politik uang, disinformasi, serta polarisasi identitas yang menggerus kualitas diskursus publik.
Dalam konteks ini, filsafat pemikiran kritis Jurgen Habermas menawarkan kerangka teoritis yang relevan untuk menilai kualitas demokrasi Indonesia. Habermas tidak memahami demokrasi semata-mata sebagai mekanisme elektoral, melainkan sebagai proses komunikasi rasional yang berlangsung dalam ruang publik. Demokrasi memperoleh legitimasi bukan hanya dari suara mayoritas, tetapi dari kualitas deliberasi yang rasional, inklusif, dan bebas dari dominasi.

Secara teoritis dalam pemikiran Habermas dalam Rasionalitas komunikatif adalah mengembangkan kritik terhadap masyarakat modern melalui pembedaan antara rasionalitas instrumental dan rasionalitas komunikatif. Rasionalitas instrumental berorientasi pada efisiensi, kontrol, dan pencapaian tujuan, sedangkan rasionalitas komunikatif berorientasi pada pemahaman bersama (mutual understanding) melalui dialog rasional.

Dalam The Theory of Communicative Action, Habermas menegaskan bahwa masyarakat yang demokratis mensyaratkan dominasi rasionalitas komunikatif dalam ruang publik. Diskursus publik yang ideal harus memenuhi prinsip-prinsip komunikasi bebas dari paksaan, kesetaraan partisipan, serta keterbukaan terhadap argumentasi terbaik. Kebenaran politik tidak ditentukan oleh kekuasaan atau mayoritas semata, melainkan oleh kekuatan argumen rasional. Dalam konteks negara demokrasi, legitimasi kekuasaan politik hanya sah sejauh dihasilkan melalui proses komunikasi yang rasional dan inklusif. Dengan demikian, demokrasi bukan sekadar sistem perwakilan, tetapi praktik komunikasi sosial yang berkelanjutan.

Jika dianalisis melalui lensa Habermasian, demokrasi Indonesia menunjukkan kecenderungan kuat menuju dominasi rasionalitas instrumental. Politik sering kali dipraktikkan sebagai arena strategi kekuasaan, transaksi kepentingan, dan kalkulasi elektoral, bukan sebagai ruang diskursus rasional. Pemilu dan proses legislasi kerap dipengaruhi oleh modal ekonomi, popularitas media, dan mobilisasi identitas, yang mengaburkan kualitas argumentasi substantif.
Ruang publik Indonesia juga mengalami distorsi serius akibat disinformasi, polarisasi politik, serta komodifikasi media. Media massa dan media sosial, yang seharusnya menjadi arena diskursus rasional, sering kali berfungsi sebagai alat propaganda, sensasionalisme, dan manipulasi opini publik. Akibatnya, warga negara tidak diposisikan sebagai subjek deliberatif yang rasional, melainkan sebagai konsumen informasi dan target mobilisasi politik.
Dalam perspektif Habermas, kondisi ini mencerminkan kegagalan ruang publik dalam menjalankan fungsi kritisnya sebagai mediator antara masyarakat sipil dan negara. Kemudian, Ruang publik dan demokrasi deliberatif Habermas menekankan pentingnya ruang publik sebagai arena di mana warga negara dapat secara bebas mendiskusikan isu-isu bersama dan membentuk opini publik yang rasional. Ruang publik bukan milik negara maupun pasar, melainkan wilayah interaksi sosial yang otonom dan kritis.

Dalam konteks Indonesia, ruang publik secara formal memang terbuka, tetapi secara substantif sering kali tidak setara. Akses terhadap ruang diskursus lebih banyak dimiliki oleh elite politik, tokoh berpengaruh, dan pemilik modal. Kelompok marginal masyarakat adat, buruh, petani, dan kelompok miskin kota sering kali terpinggirkan dari proses deliberasi publik.
Demokrasi deliberatif menuntut bukan hanya kebebasan berbicara, tetapi juga kondisi sosial yang memungkinkan semua warga negara berpartisipasi secara setara. Ketika ketimpangan sosial dan ekonomi membatasi akses terhadap ruang publik, maka legitimasi demokrasi secara normatif menjadi lemah.

Secara Hukum, legitimasi, dan negara demokrasi Habermas Dalam Between Facts and Norms, menegaskan bahwa hukum dalam negara demokrasi harus memperoleh legitimasi ganda: secara faktual melalui prosedur formal, dan secara normatif melalui persetujuan rasional warga negara. Hukum yang hanya sah secara prosedural tetapi tidak didukung oleh diskursus publik yang rasional akan kehilangan legitimasi moralnya.
Dalam praktik demokrasi Indonesia, banyak kebijakan publik dan produk hukum disahkan tanpa partisipasi publik yang bermakna. Proses legislasi sering kali bersifat elitis dan tertutup, sehingga hukum dipersepsikan sebagai instrumen kekuasaan, bukan sebagai hasil kehendak bersama.
Dari perspektif Habermas, kondisi ini menunjukkan adanya jurang antara fakta (legalitas formal) dan norma (legitimasi rasional). Negara demokrasi yang gagal menjembatani jurang ini berisiko mengalami krisis legitimasi.

Dengan demikian, Memahami demokrasi dalam etika diskursus dan tanggung jawab sebagai warga negara Habermas menekankan bahwa demokrasi bukan hanya tanggung jawab negara, tetapi juga warga negara sebagai partisipan diskursus publik. Etika diskursus mensyaratkan keterbukaan terhadap argumen, kesediaan untuk merevisi pandangan, serta pengakuan terhadap kesetaraan moral semua partisipan.
Dalam konteks Indonesia, budaya politik yang cenderung emosional, patronistik, dan identitarian sering kali menghambat terbentuknya diskursus rasional. Kritik politik mudah dipersonalisasi, sementara perbedaan pendapat dipandang sebagai ancaman, bukan sebagai sumber pembelajaran demokratis.
Pemikiran kritis Habermasian mendorong transformasi budaya politik menuju rasionalitas komunikatif, di mana konflik diselesaikan melalui argumentasi, bukan dominasi atau kekerasan simbolik. Dari sudut pandang filsafat Habermas, mengkritik secara prosedural tentang demokrasi Indonesia cenderung berhenti pada level prosedural, sementara dimensi deliberatif dan komunikatifnya lemah. Demokrasi direduksi menjadi mekanisme pemilihan elite, bukan sebagai proses pembentukan kehendak bersama yang rasional. Ketika politik didominasi oleh logika pasar dan kekuasaan, ruang publik kehilangan fungsi emansipatorisnya. Negara demokrasi pun berisiko berubah menjadi sistem administratif yang sah secara hukum, tetapi miskin legitimasi normatif.

Dengan demikian, secara kesimpulan Melalui perspektif filsafat pemikiran kritis Jurgen Habermas, demokrasi Indonesia harus dipahami sebagai proyek normatif yang belum selesai. Demokrasi tidak cukup diukur dari keberadaan pemilu dan institusi formal, tetapi dari kualitas diskursus publik, rasionalitas komunikasi politik, dan partisipasi warga negara yang setara.
Kritik filosofis Habermasian terhadap negara demokrasi Indonesia bukanlah upaya delegitimasi, melainkan panggilan normatif untuk memperkuat fondasi etis demokrasi. Demokrasi hanya akan bermakna jika kekuasaan politik tunduk pada rasionalitas komunikatif dan jika hukum memperoleh legitimasi dari kehendak rasional warga negara. Dalam kerangka ini, filsafat berperan sebagai penjaga nurani demokrasi, yang terus-menerus mengingatkan bahwa legitimasi politik harus lahir dari dialog, bukan dominasi.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Jadwal Layanan SIM Keliling di Jakarta dan Sekitarnya Hari Ini 15 Desember 2025, Jangan sampai Kelewatan!
• 10 jam laludisway.id
thumb
PLN Sebut Pemadaman di Aceh Dipicu Pencurian Kabel Trafo: 13 Gardu Distribusi Jadi Sasaran Pencuri
• 9 jam lalukompas.tv
thumb
Usai ke Lokasi Bencana, Presiden Prabowo Panggil Sejumlah Menteri ke Hambalang, Ada Apa?
• 18 jam lalukompas.tv
thumb
Shin Tae-yong Kembali ke Indonesia: Rasanya Seperti Pulang ke Rumah
• 18 jam lalutvrinews.com
thumb
29 Tahun Nikah, Ridwan Kamil Digugat Cerai Istri, Sidang Perdana 17 Desember 2025
• 38 menit lalutabloidbintang.com
Berhasil disimpan.