Bisnis.com, JAKARTA — Program ambisius Presiden Prabowo Subianto untuk membangun pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) 1 megawatt (MW) dinilai menjadi angin segar bisnis kelistrikan, kendati skema dan pendanaan masih mengganjal.
Program ini menargetkan total kapasitas mencapai 80 gigawatt (GW) dan melibatkan Koperasi Desa Merah Putih (KDMP) yang menjadi pasar baru bagi industri energi terbarukan, pembiayaan hijau, hingga penciptaan lapangan kerja lokal.
Policy Strategist Coordinator CERAH, Dwi Wulan Ramadani mengatakan meski punya potensi besar, namun terdapat tantangan pembiayaan dan tata kelola menjadi penentu keberhasilan.
Dia menilai rencana ini dapat memperluas akses energi murah sekaligus mendorong aktivitas ekonomi desa. Di sisi lain, skala investasinya menempatkan program ini sebagai proyek infrastruktur nasional yang menuntut kesiapan regulasi dan sistem keuangan.
“Ditinjau dari sisi pembiayaan, jika program KDMP hanya mendapatkan plafon pinjaman dari bank sekitar Rp 3 miliar selama 6 tahun, maka jumlah tersebut masih belum menutup modal pembangunan PLTS 1 MW,” kata Dwi dalam keterangan tertulis, Minggu (14/12/2025).
Adapun, data dari Kementerian ESDM menyebut kebutuhan investasi program PLTS desa diperkirakan mencapai US$250 miliar atau sekitar Rp4.125 triliun (kurs Rp 16.500) apabila dilengkapi baterai.
Baca Juga
- Pakar Sebut RI Punya 2 Sumber Pendanaan Program PLTS 100 GW
- METI Kritisi Program PLTS 100 GW, Biaya Produksi Listrik Bisa Melonjak
- SUN Energy Tawarkan Solusi PLTS Tanpa Modal Awal untuk Industri
Angka tersebut menjadikan proyek ini sebagai salah satu agenda energi termahal dalam sejarah pembangunan nasional.
“Artinya, walaupun dalam satu dekade terakhir harga panel surya global mengalami tren penurunan, namun tidak cukup untuk menutup kompleksitas risiko pembiayaan proyek desa,” tuturnya.
Secara bisnis, menurut Dwi, biaya pembangunan PLTS 1 MW pada 2024 memang turun menjadi sekitar US$900.000 atau setara Rp 14,58 miliar, dibandingkan US$1–1,5 juta pada 2023.
Namun, angka tersebut masih jauh melampaui kapasitas dana desa yang rata-rata hanya Rp1 miliar per tahun, sehingga ruang pembiayaan koperasi menjadi sangat terbatas.
Tak hanya itu, proyek energi skala desa selama ini hanya mengandalkan pembiayaan domestik. Perbankan nasional pun belum memiliki skema mitigasi risiko khusus untuk proyek energi desa, sehingga aset semacam ini belum dianggap bankable dibanding proyek pembangkit skala besar.
“Pendekatan ini memungkinkan penerbitan instrumen pembiayaan seperti green bond atau sukuk hijau dengan tenor 10–25 tahun. Model bundling telah terbukti berhasil di Nigeria dalam mempercepat investasi energi terbarukan skala komunitas,” terangnya.
Dari sisi kelembagaan, pemerintah juga dinilai perlu memperjelas peran KDMP agar manfaat sosial tetap optimal tanpa membebani koperasi desa dengan risiko teknis dan finansial yang berlebihan.
Jika setiap desa menjadi pemilik dan operator PLTS, maka akan muncul sekitar 80.000 entitas yang harus diawasi dan diaudit.
“Karena sistem kelistrikan itu sangat kompleks, KDMP sebaiknya tidak dibebani tanggung jawab sebagai pemilik aset PLTS. Aset tetap dimiliki dan dioperasikan oleh pihak profesional seperti Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Independent Power Producer (IPP), atau perusahaan rekayasa dan konstruksi (Engineering, Procurement, and Construction/EPC) berlisensi,” tuturnya.
Sementara itu, Dwi menilai KDMP cukup bertindak sebagai off taker yang membeli listrik melalui tarif resmi sebagaimana pelanggan PLN.
Dengan desain kebijakan yang tepat, program PLTS 1 MW per desa berpotensi menjadi mesin pertumbuhan ekonomi hijau sekaligus instrumen pemerataan sosial. Tanpa itu, ambisi besar ini berisiko menjadi beban fiskal dan administratif yang justru menghambat tujuan awal pembangunan desa.
“Namun kembali lagi dengan kebijakan sistem kelistrikan kita, apakah sudah siap atau memang perlu ada kajian,” pungkasnya.





