Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa berjanji untuk mengajukan kenaikan anggaran transfer ke daerah (TKD) 2026 kepada Presiden Prabowo Subianto usai semester I/2026 apabila sejumlah syarat terpenuhi.
Masalahnya, ada gap antara sudut pandang pemerintah pusat serta kebutuhan riil di daerah.
Sebagaimana diketahui, Presiden Prabowo pada APBN 2026 yang disusun perdana oleh kabinetnya memotong anggaran TKD hingga kurang lebih 24%. Dari awalnya anggaran TKD sebesar Rp919,9 triliun pada APBN 2025, kini hanya dianggarkan Rp699 triliun untuk tahun depan.
Anggaran TKD yang sudah diketuk palu pada sidang paripurna DPR September 2025 lalu itu sejatinya sudah ditambahkan. Sebelumnya, saat masih disusun oleh Menkeu Sri Mulyani Indrawati, anggaran TKD bahkan lebih sedikit yakni sekitar Rp650 triliun.
Pada acara Bimbingan Teknis (Bimtek) kader Partai Golkar di Jakarta, Kamis (11/12/2025), Purbaya mengungkap alasan sebenarnya di balik keputusan Presiden Prabowo untuk memotong anggaran TKD besar-besaran.
Hal itu dilakukan kendati pemerintah pusat mengklaim manfaat anggaran ke daerah tetap dirasakan melalui anggaran program prioritas seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) hingga Koperasi Desa Merah Putih (KDMP).
Baca Juga
- Purbaya Bakal Sisir Anggaran Lagi, Tahun Depan Rp60 Triliun
- Otoritas Pajak Soroti Praktik Sawit, Ungkap Pelanggaran Hulu hingga Hilir
- Cegah Impor Ilegal, Purbaya Akan Tempatkan 'Kucing Penjaga' di 'Jalur Tikus'
"Beliau agak kecewa dengan belanja daerah yang diselewengkan. Kalau sekarang saya menghadap Presiden untuk menaikkan [anggaran TKD], pasti enggak dikasih," ujarnya kepada kader Golkar yang menduduki jabatan di DPR hingga DPRD, Hotel Bidakara, Jakarta, dikutip Minggu (14/12/2025).
Untuk itu, dia meminta kepada pemerintah daerah (pemda) untuk memperbaiki tata kelola di daerah khususnya penyerapan anggaran mulai dari kuartal IV/2025. Apabila kondisi ekonomi membaik, di mana diyakini Purbaya terjadi pada kuartal II/2026, maka dia membuka peluang untuk menghadap Presiden.
Purbaya memberi waktu pemda untuk bisa menunjukkan perbaikan tata kelola dan belanja daerah sampai dengan kuartal II/2026. Apabila pemda berhasil, dia akan mengajukan ke Prabowo untuk menaikkan anggaran TKD.
"Doain supaya saya berhasil, triwulan kedua saya bisa ngomong [ke Presiden] sehingga triwulan ketiga dan keempat anggaran Anda bisa berubah. Tanpa penaikan ekonomi dan belanja, hampir pasti ditolak. Jadi, teman-teman daerah di DPRD tolong awasi pemdanya dan bantu saya untuk bantu anda semua," paparnya.
Kualitas Belanja & Pemotongan Anggaran Jadi Isu BerbedaKomite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menilai bahwa tata kelola maupun kualitas belanja daerah serta pemotongan anggaran TKD adalah dua isu yang berbeda.
Direktur Eksekutif KPPOD Herman Suparman menjelaskan bahwa pemotongan TKD 2026 sebesar 24% dari yang sebelumnya dianggarkan 2025 berpotensi menimbulkan turbulensi pada anggaran pemda. Apalagi, porsi pendapatan asli daerah (PAD) masih lebih rendah dibandingkan transfer dari pusat.
Akibatnya, ketergantungan pemda terhadap TKD bisa memengaruhi kualitas belanja pembangunan serta pelayanan masyarakat di daerah.
"Itu sudah bisa kita lihat dengan Instruksi Presiden No.1/2025 sangat mengganggu terutama belanja modal, karena pemotongan DAK [dana alokasi khusus] fisik [dipotong] hampir setengahnya. Padahal ini menjadi andalan pemerintah daerah untuk belanja modal," terang Herman kepada Bisnis, Minggu (14/12/2025).
Belum lagi, adanya pemangkasan dana bagi hasil (DBH) yang dinilai Herman seharusnya menjadi hak dari daerah. Untuk itu, dia justru memandang bahwa rencana Purbaya untuk mengajukan penaikan anggaran TKD tahun depan seharusnya tidak menunggu lama.
Dia memandang pemerintah pusat seharusnya langsung segera mengevaluasi kebijakan TKD itu pada saat mulai kuartal I/2026.
"Ketika pemerintah pusat memotong dana bagi hasil, itu bertentangan dengan Undang-Undang tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah. Pemotongan DBH mengganggu kapasitas fiskal daerah, karena itu terdiri dari PAD dan DBH. Kalau bicara transfer ke daerah, enggak usah menunggu kuartal II selesai," ujarnya.
Di sisi lain, Herman mempertanyakan indikator apa yang akan diambil Purbaya untuk menilai bahwa pemda sudah memperbaiki tata kelola dan belanja pemerintah pusat. Apabila mengacu kepada sejumlah masalah korupsi di daerah, itu bukan semata-mata kelemahan pemda.
Urusan mengenai pengadaan barang dan jasa maupun pengelolaan keuangan daerah, yang kerap berkaitan dengan tindak pidana korupsi (tipikor), dinilai Herman turut memiliki kontribusi dari pemerintah pusat.
Ke depan, dia memandang bahwa pemda harus bisa memastikan belanja APBD difokuskan untuk belanja prioritas. Pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota juga harus bisa memastikan pemungutan pajak dan retribusi daerah dilakukan dengan benar.
Kendati sempat diwarnai penolakan masyarakat daerah, Herman menilai kebijakan pajak daerah yang harus menjadi fokus bukanlah penaikan tarif melainkan penguatan administrasi pemungutan.
"Manajemen data dan sistem pemungutan. Sistem kita masih berpaku pada pola-pola konvensional, padahal potensi pajaknya besar. Itu harus menggunakan platform digital," paparnya.




