Banyak pasangan di China berjuang untuk memiliki anak karena biaya program teknologi reproduksi berbantu (ART), seperti in vitro fertilization (IVF), yang sangat mahal menjadi berita populer Minggu (14/22).
Selain itu, berita yang banyak dibaca lain yaitu mengenai Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, yang meminta revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) guna mengendalikan laju alih fungsi lahan sawah. Berikut ringkasannya:
Biaya Bayi Tabung Mahal, Warga China Kian Sulit Punya AnakBanyak pasangan di China berjuang untuk memiliki anak karena biaya program teknologi reproduksi berbantu (ART), seperti in vitro fertilization (IVF), yang sangat mahal. Contohnya adalah Chen Huaxi, yang telah menghabiskan hampir 100.000 yuan atau sekitar Rp 235 juta demi menjalani program bayi tabung.
Meskipun pemerintah mengumumkan cakupan nasional untuk ART, layanan ini masih dinilai sulit diakses dan mahal di berbagai daerah. Di beberapa provinsi, seperti Liaoning, asuransi kesehatan hanya menanggung delapan prosedur dasar, sementara layanan berbiaya tinggi seperti obat impor, pembekuan embrio, dan skrining genetik tidak masuk dalam cakupan.
Satu siklus IVF biasanya menelan biaya 30.000 hingga 50.000 yuan, yang sangat tinggi mengingat pendapatan disposabel rata-rata penduduk perkotaan tahun lalu sekitar 54.000 yuan.
Karena tingkat keberhasilan siklus pertama yang hanya sekitar 40 persen untuk wanita di bawah 35 tahun dan menurun menjadi 13 persen pada usia 40-41 tahun, banyak pasangan harus menjalani beberapa siklus. Selain itu, China memiliki sedikit klinik ART berlisensi dibandingkan Amerika Serikat dan Jepang, dan klinik-klinik yang ada umumnya terkonsentrasi di kota-kota besar.
Revisi RTRW Mendesak untuk Ketahanan Pangan Nasional
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, meminta revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) guna mengendalikan laju alih fungsi lahan sawah.
Pengendalian ruang ini dianggap penting demi menjaga ketahanan pangan nasional, mengingat data menunjukkan sekitar 554.000 hektare sawah beralih fungsi menjadi kawasan permukiman atau industri setiap tahunnya antara 2019 hingga 2025.
Nusron menekankan bahwa RTRW harus secara eksplisit mencantumkan Lahan Pangan dan Pertanian Berkelanjutan (LP2B) untuk melindungi lahan sawah di masa depan.
“Saya bertekad ingin menghentikan alih fungsi lahan sawah ini. Karena itu Bapak/Ibu sekalian, kita lihat nanti di dalam RTRW-nya harus mencantumkan tentang Lahan Pangan dan Pertanian Berkelanjutan (LP2B),” kata dia melalui keterangan tertulis, Minggu (14/12).
Perlindungan lahan ini merupakan amanat dari Perpres Nomor 12 Tahun 2025 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
Perpres tersebut menetapkan target minimal LP2B harus mencapai 87 persen dari total Lahan Baku Sawah (LBS). Menteri Nusron mendorong pemerintah daerah untuk mempercepat penyusunan Peraturan Daerah (Perda) RTRW dan mengingatkan agar pola ruang hutan tidak dikurangi selama proses revisi tersebut.
Di Kalimantan Tengah, sebagai contoh, masih ada 13 kabupaten/kota yang belum memutakhirkan RTRW-nya, sehingga dokumen mereka tidak lagi relevan dengan dinamika pembangunan.





