Pendidikan anak usia dini bisa menjadi investasi berharga bagi masa depan bangsa. Intervensi sejak 1.000 hari pertama kehidupan diyakini mampu menciptakan windows of opportunity atau jendela kesempatan. Stimulasi dini yang tepat mampu menentukan keberhasilan tumbuh kembang anak sekaligus membangun kesiapan anak dalam jenjang pendidikan berikutnya.
Berjalan kaki lebih kurang satu jam dilakoni dua kali dalam sepekan oleh Nurhayati (23) sambil menggendong putranya, Muhamad Maulana Risky, yang baru berusia 2 tahun, menuju Rumah Anak Sigap (RAS) di Desa Tegalongok, Kabupaten Pandeglang, Banten. Sambil mengajak Maulana berbincang, Nurhayati mantap melangkahkan kaki melewati tanjakan dan turunan tajam dengan jalan licin berbatu.
Meski harus berjalan kaki, Nurhayati mengaku tak menjadikan itu beban karena ia telah merasakan manfaat belajar ilmu pengasuhan anak hingga stimulasi dini bagi tumbuh kembang Maulana di RAS Tegalongok yang dinisiasi Tanoto Foundation. Sejak usia 6 bulan, Maulana sudah bergabung bersama RAS Tegalongok. Sejak itu pula, Nurhayati menyaksikan pertumbuhan pesat putra semata wayangnya itu.
Ketika dijumpai di teras rumahnya sebelum berangkat belajar di RAS, Maulana sedang sibuk mencari alas kaki untuk pergi ”sekolah.” Ia pun tak terlihat takut ketika menyambut tamu yang baru dikenalnya. Tanpa ragu, ia mencium tangan dan mengucapkan salam. Saking senangnya mengikuti beragam kegiatan di RAS, Maulana sering kali merengek tetap minta ”sekolah” ketika layanan RAS libur pada hari Minggu.
”Maulana ini tadinya penakut, enggak mau ditimbang di posyandu, enggak mau ketemu orang. Sekarang, dia paling semangat kalau mendengar mau sekolah. Biasanya hari Minggu juga dia geger pengin ke sekolah,” kata Nurhayati.
Semangat belajar ilmu pengasuhan anak juga dirasakan oleh ibu muda lainnya, Suheti (29), yang juga bergabung dengan RAS Tegalongok. Sering kali para fasilitator RAS menjemput Suheti dengan menggunakan sepeda motor untuk membawa ia dan putrinya, Aisi Qahira Putri (2), agar bisa ikut kelompok bermain bersama atau menjalani stimulasi individual di RAS.
Pada pertengahan Oktober lalu, baik Nurhayati maupun Suheti bersama beberapa ibu lainnya belajar tentang cara stimulasi motorik kasar dengan bermain bola dari bulatan daun pisang kering atau kertas. ”Tujuannya untuk melatih otot-otot halus dan otot-otot kasar. Otot halusnya dilatih dengan meremas kertas. Otot kasarnya dengan cara bermain bola,” ujar Juhemah, fasilitator di RAS Tegalongok, memberikan penjelasan kepada para ibu.
RAS Tegalongok melayani 41 anak usia 0-3 tahun sejak tahun 2020 dengan 6 fasilitator. Karena lokasi rumah peserta yang sebagian jauh dari sentra RAS, para fasilitator berinisiatif membangun dua satelit baru untuk mendekatkan layanan. Dua satelit tersebut menggunakan gedung taman baca dan posyandu. ”Banyak ibu yang tidak bisa bawa motor, dan juga satu keluarga itu paling punya satu kendaraan dan itu digunakan oleh bapak yang bekerja,” kata Koordinator RAS Tegalongok Enok Nurhayati.
Kini, para ibu sangat antusias untuk membawa anak-anaknya belajar. ”Dulu waktu pertama-tama ada RAS, masyarakat sangat awam. Banyak PR juga bagi kami untuk sosialisasi ke masyarakat. Kita di daerah itu, kan, tahunya anak itu berkegiatan itu dimulai pas PAUD (pendidikan anak usia dini). Jadi, masih awam untuk kayak semacam kelas perkembangan seperti ini, karena mereka tahunya cuma posyandu,” tambah Enok.
Setelah memetik manfaat kehadiran RAS, orangtua cenderung semangat mendaftarkan anaknya. Para ibu hamil pun bahkan sudah mendaftarkan anaknya sejak masih di dalam kandungan. Dengan bergabung bersama RAS, orangtua, misalnya, belajar mematahkan mitos pengasuhan seperti anak di bawah usia 40 hari tak boleh dibawa ke luar rumah. ”Bahkan belum punya nama pun, itu sudah daftar duluan ke RAS,” kata Enok.
Siti Alfiani (26), umpamanya, sudah mendaftarkan anaknya yang masih di dalam kandungan untuk nantinya bergabung dengan RAS. Apalagi, selama ini, ia merasakan bahwa tumbuh kembang putrinya, Syahira Nur Fadhilah (2,5), berkembang sangat pesat sejak bergabung dengan RAS. Minat ibu hamil untuk mendaftarkan diri juga semakin terdongkrak karena bidan desa turut merekomendasikan kegiatan RAS.
Kehadiran RAS juga efektif menurunkan angka stunting atau tengkes karena orangtua dibekali edukasi, seperti perilaku hidup bersih. Melalui kelas layanan tematik yang dibuat sekali dalam sebulan, fasilitator memberikan informasi terkait tema tertentu kepada orangtua. Dalam kuliah umum yang biasanya diadakan tiga bulan sekali, RAS juga menghadirkan pembicara ahli untuk mendongkrak pengetahuan orangtua.
Kegiatan seperti kuliah umum biasanya juga dihadiri pejabat dari aparat desa. ”Kami sedang mengupayakan untuk dukungan dari pemerintah desa. Untuk saat ini, kan, kami dinaungi oleh Tanoto Foundation. Ke depannya semoga ada kontribusi pemerintah desa karena, kan, nanti suatu saat ini akan dikembalikan ke pemerintahan desa, dan ini akan jadi milik desa,” ucap Enok.
Setiap enam bulan sekali, orangtua juga bisa mengukur perkembangan anak melalui kuisioner. ”Jadi, nanti apakah anak itu sudah optimal, itu bisa dilihat dari hijaukah, kuningkah, merahkah. Kalau ada yang perlu ditingkatkan, misalnya motorik kasarnya atau motorik halusnya, itu nanti yang akan dipertajam oleh fasilitator,” kata Enok.
Antusiasme orangtua dan anak dalam mengikuti kegiatan RAS juga terasa di Desa Pasir Jaksa, Kecamatan Koroncong, Pandeglang. ”Kegiatan di rumah, apakah ada kendala? Tidak ada. Berarti ada perkembangan dong, ya? Nah, perkembangannya bagaimana di rumah? Bisa bermain sepak bola sendiri. Kegiatan di rumah, harus diulang-ulang, kurang lebih 15 menit, ya,” ujar fasilitator kader RAS Euis Muslihah ketika membuka sesi pertemuan dengan anak dan orangtua.
Euis lantas mengingatkan bahwa stimulasi di rumah harus dilakukan tak hanya oleh ibu, tapi juga melibatkan ayah dan semua anggota keluarga. Selanjutnya, para fasilitator segera mengajak anak-anak dan para ibu untuk memulai kegiatan hari itu dengan bernyanyi mengenal nama bagian anggota tubuh. Gerak dan lagu yang terlihat sederhana ternyata sarat makna.
Kami sedang mengupayakan untuk mendapatkan dukungan dari pemerintah desa.
Di depan para ibu, Euis segera menjelaskan bahwa kegiatan menyanyi ini bertujuan merangsang perkembangan bahasa, merangsang kemampuan kognitif dengan mengingat nama-nama anggota tubuh, hingga melatih motorik halus. ”Di sini hanya beberapa saat, ya, tapi di rumah diulang-ulang. Insya Allah kita akan melihat perkembangan dengan maksimal,” ucapnya.
Tak hanya menyanyi, anak-anak kemudian diminta menunjukkan setiap bagian dari anggota tubuh. Ibu-ibu yang hadir, yaitu Siti Khoirunisa (30), Eka Anggraeni (18), Yanny Suryany (30), dan Rianti (30), pun segera aktif mengajak anaknya memegang kepala, pundak, lutut, dan kaki. ”Intinya harus semangat karena anak-anak kita belum lancar bahasa, belum lancar mengingat. Dengan merangsang, dengan dilatih, akan bertambah kosakatanya,” kata Euis.
Sokongan pemerintah
Di Desa Pasir Jaksa, pemerintah desa memfasilitasi para ibu dan anak untuk ikut belajar di RAS dengan menyediakan alat transportasi berupa ambulans yang biasa dipakai membawa orangtua dan anak-anak dari satelit (cabang) ke sentra RAS ketika ada kegiatan kuliah umum. Selain kegiatan bermain bersama, RAS juga menyediakan kelas pendampingan anak secara individual.
Acin Rosmiati (31), misalnya, membawa putrinya, Ratu Tisha Destria (31 bulan), yang sudah bergabung dengan RAS sejak usia 6 bulan. Saat ini Tisha masuk kategori kelompok umur 24 sampai 36 bulan sehingga fokus stimulasi untuk mendongkrak kecerdasan kognitif antara lain dengan mengenal warna, bentuk, dan belajar tentang hewan ataupun makanan. Lewat stimulasi individual, Tisha juga belajar mengelola sosial emosionalnya lewat belajar berbagi bersama teman.
Selain menggunakan modul berbeda yang disesuaikan dengan kelompok umur, suasana untuk melakukan stimulasi individual pun dijaga agar tak mudah terdistraksi. Ruangan difasilitasi dengan bantalan empuk di dinding agar anak-anak aman berlatih merambat.
Fasilitator stimulasi individu di RAS Pasir Jaksa, Ari Apriyani, melatih 30 anak. Dalam sehari, ia menangani 7-8 anak dari pagi hingga maksimal pukul 12 siang. Anak-anak datang per jadwal kehadiran sehingga tak perlu antre.
Ari biasanya memonitor empat aspek perkembangan anak, mulai dari perkembangan bahasa, motorik kasar dan motorik halus, kognitif, dan sosial emosional. Satu kali dalam sepekan, anak-anak akan mengikuti pertemuan stimulasi individual untuk menstimulasi dua aspek perkembangan anak. ”Yang minggu pertama itu bahasa sama motorik. Nanti permainannya beda-beda, tergantung usianya,” kata Ari.
Stimulasi individu ini dibuat sederhana dan dimulai dari anak usia 6 bulan. Motorik anak usia 6 bulan ini, misalnya, dilatih dengan cara menarik punggungnya ke posisi duduk. Gerakan ini diajarkan oleh fasilitator individu dan nantinya akan diterapkan oleh orangtua kepada anaknya ketika di rumah. Dalam setiap sesi stimulasi individual, satu anak didampingi satu fasilitator dan orangtuanya dengan pendekatan personal sehingga lebih fokus.
Jumlah anak usia di bawah 3 tahun yang bergabung dengan RAS Desa Pasir Jaksa sebanyak 36 anak. Selain belajar di RAS, sebagian di antara mereka bergabung di cabang atau satelit RAS yang berjarak beberapa kilometer. Semua orangtua dan anak biasanya baru akan berkumpul tiga bulan sekali ketika ada kuliah umum. ”Tiga bulan sekali baru kami boyong ke sini pakai ambulans desa, dua kali dijemput. Kalau jalan kaki tuh lumayan. Yang penting pada ke sini dan datang,” ucap Koordinator RAS Pasir Jaksa, Ade.
RAS Pasir Jaksa dibangun pada 2019, tetapi terhenti ketika pandemi Covid-19. Kepala Desa Pasirjaksa Ma’ruf Sudarji menegaskan bahwa pihak pemerintah desa menyambut baik program RAS yang merupakan hasil kerja sama Tanoto Foundation dengan pemerintah daerah. Di Kabupaten Pandeglang, RAS hadir di Desa Tegalongok dan Desa Pasir Jaksa.
Pemerintah Desa Pasir Jaksa antara lain menganggarkan dana untuk penyediaan alat tulis kantor dan penyuluhan yang dilakukan fasilitator dari anggaran pendapatan dan belanja desa. Namun, pemerintah desa tak bisa mendanai honor fasilitator yang juga merangkap sebagai bagian dari struktural desa. ”Saya dukung program ini dengan upaya terbaik dari pihak pemerintahan desa. Semoga ke depannya bisa berlajut,” ucap Ma’ruf.
Program RAS merupakan inisiatif berbasis komunitas yang bertujuan mempromosikan layanan stimulasi dini atau pengasuhan yang berkelanjutan dan terjangkau untuk anak usia 0-3 tahun, dengan mengoptimalkan modalitas lokal. RAS bekerja melalui tiga strategi, yaitu meningkatkan kesadaran dan memodelkan keterampilan pengasuhan bagi orangtua/pengasuh anak usia 0-3 tahun, memperkuat kapasitas kader berbasis desa (kader posyandu, BKB, PKK), dan mendorong advokasi pentingnya stimulasi dini kepada pemimpin pemerintah lokal.
Head of Early Childhood Education and Development (ECED) Tanoto Foundation Michael Susanto menegaskan, inisiasi program RAS dimulai sejak 2017. Kala itu, pendiri Tanoto Foundation, Sukanto Tanoto dan Tinah Bingei Tanoto, ingin meningkatkan investasi di area yang akan menghasilkan dampak yang lebih besar. Hasil studi kemudian merekomendasikan perbaikan kualitas guru dan kepala sekolah hingga investasi di pendidikan dan pengembangan anak usia dini.
”Kami menemukan bahwa di Indonesia, model untuk pendidikan dan pengembangan usia dini pada waktu itu memang belum banyak atau belum diinformasikan secara nasional. Akhirnya kami memutuskan kalau kita berinvestasi di usia anak 0 sampai 3 tahun, dampak return of investment-nya akan paling tinggi,” kata Michael.
Michael lantas mengutip James Heckman, ekonom peraih Nobel yang memperkenalkan konsep ”Heckman Curve” yang menunjukkan bahwa investasi di usia dini memberikan pengembalian (ROI) tertinggi dibandingkan investasi pada tahap pendidikan lainnya. ”Gap area di usia 0-3 tahun itu yang kami temukan di Indonesia. Terutama bahwa akses terhadap layanan stimulasi di usia 0-3 itu nyaris tidak ada. Dari situlah akhirnya kami membangun Rumah Anak Sigap,” ucap Michael,
Saat ini, sudah ada 15 RAS di Pandeglang, Jakarta, dan Kalimantan Timur. Beberapa RAS lainnya hadir di Jawa Tengah dan Riau sebagai hasil kolaborasi dengan sektor swasta. ”Keinginannya, ke depannya adalah model seperti ini atau kesadaran mengenai pentingnya peran orangtua dan ketersediaan dari layanan stimulasi dini yang tidak hanya berkualitas, tapi juga affordable itu bisa dilakukan secara nasional, khususnya di Indonesia,” tambahnya.
Tak hanya di Indonesia, Tanoto Foundation juga mengembangkan model RAS di China dan Singapura dengan modul yang diadopsi dari pendekatan global terhadap perkembangan anak usia dini (nurturing care framework). Kerangka kerja ini fokus pada kesehatan, nutrisi, cara belajar dan stimulasi, praktik pengasuhan yang baik, serta keamanan anak. ”Sesuatu yang global berbasis riset kami kontekstualisasikan ke Indonesia,” kata Michael.
Michael menegaskan tak menargetkan RAS akan hadir di semua desa di Indonesia. Namun, Tanoto Foundation berharap muncul kesadaran tentang pentingnya pengasuhan yang baik dan layanan stimulasi sejak dini. Posyandu, misalnya, diharapkan punya meja layanan tambahan untuk komunikasi atau sosialisasi mengenai pentingnya teknik pengasuhan yang baik.
Apalagi, hasil evaluasi dampak dari RAS menunjukkan keberhasilan. Pengukuran perkembangan anak menggunakan Instrumen Perkembangan Anak Usia Dini yang Dilaporkan Pengasuh (CREDI), misalnya, menunjukkan hampir 90 persen dari orangtua mengalami perubahan perilaku pengasuhan. Ketika berbicara kepada anak-anaknya, orangtua mulai menyelipkan muatan-muatan positif, mulai memuji, lebih sabar, dan bisa ngobrol bareng anak.
Dari sisi anak, sekitar 57 persen anak-anak yang datang ke RAS ternyata pada awalnya mengalami keterlambatan tumbuh kembang. ”Hasil evaluasi dampak tersebut menunjukkan bahwa hampir 100 persen anak-anak yang tadinya delay akhirnya on track terhadap status perkembangan mereka. Jika indikasi ada developmental delay, kami akan memberikan untuk mereka stimulasi individu,” kata Michael.
Tanoto Foundation juga sedang berupaya bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan agar metode RAS seperti stimulasi dini dapat diintegrasikan dalam layanan posyandu terpadu. Michael menegaskan bahwa pendidikan yang berkualitas akan menciptakan kesetaraan peluang.
”Harapannya, ke depannya, apa yang kita pelajari bersama-sama, kita modeling, kita piloting, kita riset bersama dengan pemerintah. Akhirnya ke depannya juga akan dinikmati oleh semua anak-anak Indonesia pada setiap siklus pendidikan,” kata Michael.
Jendela kesempatan
Guru Besar Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Pendidikan Indonesia, dan Direktur SEAMEO CECCEP (Southeast Asia Minister of Education Organization Centre for Early Childhood Care Education and Parenting) Vina Adriany menegaskan bahwa masih terjadi miskonsepsi dalam masyarakat ketika berbincang tentang pendidikan anak usia ini. Masyarakat sering kali hanya memahami pendidikan usia dini sebagai intervensi selama satu tahun pra-SD.
Apalagi, pemerintah juga sedang mencanangkan program wajib belajar 1 tahun sebelum masuk jenjang SD. ”Tentu itu menjadi sangat penting juga, tapi kadang-kadang masih ada miskonsepsi di masyarakat kita ketika berbicara tentang pendidikan anak usia dini, seolah-olah pendidikan anak usia dini hanya untuk anak berusia 5-6 tahun. Dari kajian ilmu psikologi perkembangan, yang namanya anak usia dini itu, kan, usianya dari 0-8 tahun, sejak anak berada di dalam fase kandungan,” ujar Vina.
Intervensi tumbuh kembang anak di usia 0-3 tahun lantas menjadi sangat penting. Teori perkembangan otak, misalnya, menyatakan bahwa 80 persen perkembangan otak terjadi pada fase 5 tahun atau 1.000 hari pertama kehidupan anak. Bukan semata-mata perkembangan kognitif, kajian di bidang psikologi perkembangan juga menunjukkan bahwa pembentukan sosial emosional anak sangat ditentukan di fase ini.
Salah satu teori klasik dalam ilmu psikologi, teori Sigmund Freud, juga menjelaskan bagaimana lima tahun pertama pada kehidupan anak akan membentuk kepribadian anak di masa yang akan datang. ”Kita menyebutnya sebagai windows of opportunity. Jendela kesempatan artinya bagaimana stimulasi-stimulasi yang diberikan pada fase ini memang akan menentukan fase-fase perkembangan sebelumnya,” ucapnya.
Dengan demikian, intervensi dini pada tahun-tahun-tahun pertama kehidupan seorang anak menjadi sangat penting untuk membangun dasar kemampuan dan juga karakter serta kepercayaan anak di masa yang akan datang. Dalam kondisi Indonesia yang masih diwarnai ketimpangan sosial dan ekonomi, sering kali alasan orangtua tidak bisa menitipkan anaknya ke pendidikan anak usia dini lebih karena faktor biaya.
Anggaran PAUD di Indonesia saat ini baru 2-3 persen dari total anggaran pendidikan. ”Padahal tadi kita semua sepakat bahwa pendidikan anak usia dini adalah sebuah investasi. Artinya, selain penguatan atau intervensi kepada orangtua, yang tidak kalah penting adalah penguatan dari segi kebijakan dan kapasitas anggaran,” ucap Vina.
Tashkent Declaration yang diinisiasi UNESCO pun menegaskan pentingnya pengembangan anak usia dini secara holistik integratif. Dokumen tersebut memandatkan perlunya perluasan akses publik, terutama untuk anak-anak dari kelompok rentan. Dokumen itu juga mengisyaratkan perlu adanya penguatan kapasitas anggaran. Tashkent Declaration merekomendasikan anggaran untuk PAUD diharapkan secara bertahap bisa mencapai 10 persen sampai dengan 2030.
Menurut Vina, diperlukan pendekatan holistik untuk memperkuat pemahaman orangtua, advokasi di tingkat kebijakan yang berpihak kepada aksesibilitas PAUD bagi kelompok masyarakat miskin. Selain itu, dibutuhkan kesadaran menempatkan PAUD sebagai bagian integral dari care ekonomi sehingga ada sebuah pendekatan yang mendorong perluasan PAUD disertai dengan kebijakan jender yang responsif dan transformatif yang bisa memungkinkan perempuan untuk bekerja pada saat menitipkan anaknya di pendidikan usia dini.
Peran lembaga filantrofi, seperti Tanoto Foundation, sangat penting. Dokumen ASEAN Declaration on Early Childhood Care Education juga menekankan pentingnya mobilisasi sumber daya untuk memastikan kualitas dan akses terhadap layanan PAUD bisa ditingkatkan. Mobilisasi sumber daya yang ada ini akan menarik semua sumber daya yang ada, termasuk yang dimiliki lembaga-lembaga swasta atau lembaga-lembaga filantrofi.
”Sebetulnya yang tidak kalah penting di samping dukungan anggaran adalah dukungan program. Kami berharap ke depan barangkali program-program yang dimiliki baik oleh Tanoto Foundation maupun mungkin juga organisasi lain, selain bisa kita mobilisasi, yang tidak kalah pentingnya adalah bisa dikoordinasikan, agar tidak terjadi kesenjangan layanan dan kualitas antardaerah,” tambahnya
Vina mengapresiasi program Rumah Anak Sigap dari Tanoto Foundation yang tidak hanya meningkatkan partisipasi anak terhadap layanan PAUD, tapi juga meningkatkan pemahaman orangtua dan pemahaman guru tentang pendidikan anak usia dini. Untuk itu, dukungan semua pihak sangat penting demi memastikan setiap anak mendapatkan akses pendidikan terbaik sejak awal kehidupannya.




