Bisnis.com, JAKARTA — Perdana Menteri Thailand Anutin Charnvirakul menegaskan tidak ada rencana gencatan senjata dengan Kamboja setelah satu warga sipil Thailand tewas akibat serangan roket di tengah eskalasi konflik perbatasan yang kian memanas.
Pernyataan tersebut sekaligus membantah klaim Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, yang menyebut kedua negara telah menyepakati perjanjian gencatan senjata baru.
“Tidak ada rencana maupun kesepakatan dari pemerintah Thailand untuk melakukan gencatan senjata dengan musuh kami hingga pukul 22.00 tadi malam,” ujar Anutin dalam unggahan di Facebook sebagaimana dilansir dari Bloomberg, Senin (15/12/2025).
Pernyataan tersebut disampaikan setelah Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim mendesak kedua negara menghentikan pertempuran sebelum batas waktu tersebut.
“Thailand berdiri teguh dengan tekad untuk menjaga, melindungi, dan mempertahankan keutuhan wilayah serta rakyat kami dengan segala cara,” tegas Anutin.
Pernyataan tersebut muncul setelah militer Thailand mengonfirmasi seorang warga desa tewas akibat roket BM-21 yang ditembakkan Kamboja ke kawasan sipil di Distrik Kantaralak, Provinsi Si Sa Ket. Korban berusia 63 tahun itu menjadi warga sipil Thailand pertama yang tewas secara langsung akibat serangan Kamboja.
Baca Juga
- Kamboja dan Thailand Masih Saling Serang usai Klaim Gencatan Senjata Trump
- Krisis Koalisi Memuncak, PM Thailand Bubarkan Parlemen
Selain itu, sembilan warga lainnya dilaporkan meninggal dunia akibat kondisi medis yang telah diderita sebelumnya sejak konflik kembali pecah pekan lalu.
Kementerian Luar Negeri Thailand pada Minggu mengajukan nota protes kepada badan hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dengan menuduh Kamboja melancarkan serangan secara membabi buta, termasuk terhadap target nonmiliter.
Seorang tentara Thailand juga dilaporkan tewas akibat tembakan artileri Kamboja di distrik yang sama, sehingga total korban di pihak Thailand mencapai 16 prajurit tewas dan 327 lainnya luka-luka. Pemerintah Kamboja hingga kini belum mengungkapkan data korban militer di pihaknya.
Angkatan Laut Thailand memberlakukan jam malam mulai Minggu (14/12/2025) di lima distrik Provinsi Trat, wilayah pesisir tenggara yang berbatasan dengan Provinsi Koh Kong, Kamboja. Sebelumnya, militer Thailand juga telah memberlakukan jam malam di sejumlah wilayah di Provinsi Sa Kaeo di timur laut.
Sementara itu, Perdana Menteri Kamboja Hun Manet memuji apa yang disebutnya sebagai kekuatan dan persatuan negaranya. Dia menyerukan kepada rakyat Kamboja untuk mendukung tentara heroik dalam menjalankan misi melindungi kedaulatan dan martabat wilayah Kamboja.
Pemerintah Kamboja juga menuduh Thailand mengerahkan pesawat tempur untuk menjatuhkan bom di salah satu wilayah konflik. Tuduhan tersebut belum mendapat tanggapan resmi dari pihak Thailand.
Sejak pekan lalu, konflik ini telah menewaskan lebih dari dua lusin orang di kedua pihak, termasuk 11 warga sipil Kamboja sebagaimana dilaporkan otoritas setempat. Lebih dari 500.000 orang terpaksa mengungsi akibat eskalasi konflik.
Pertempuran kembali pecah di sepanjang perbatasan kedua negara sepanjang sekitar 800 kilometer pada 7 Desember, menjadi eskalasi paling serius sejak bentrokan selama lima hari pada Juli lalu yang dihentikan melalui kesepakatan gencatan senjata yang dimediasi Donald Trump. Saat itu, Trump sempat mengancam menghentikan perundingan dagang dengan kedua negara.
Bentrok terbaru ini juga menggagalkan implementasi “Kuala Lumpur Peace Accords” yang ditandatangani para pemimpin Thailand dan Kamboja dalam pertemuan tingkat regional di Malaysia pada Oktober 2025.
Kesepakatan sebelumnya mencakup langkah penarikan pasukan dan senjata berat, serta rencana Thailand membebaskan 18 tentara Kamboja yang ditahan. Namun, bulan lalu Thailand menangguhkan pelaksanaan kesepakatan setelah empat prajuritnya terluka akibat ranjau darat yang disebut-sebut baru dipasang oleh Kamboja, tudingan yang dibantah Phnom Penh.
Sikap keras Anutin dalam konflik perbatasan dan retorika nasionalisnya dinilai berpotensi mendongkrak popularitas dirinya serta Partai Bhumjaithai yang konservatif menjelang pemilihan umum Thailand yang diperkirakan digelar pada awal Februari 2026.
Meskipun demikian, sebuah survei yang dilakukan bulan ini menunjukkan tingkat dukungan terhadap Anutin menurun dibandingkan kuartal sebelumnya.
Pemerintahannya juga menuai kritik atas respons yang dinilai lambat terhadap banjir besar yang melanda wilayah selatan Thailand, salah satu yang terparah dalam beberapa dekade terakhir.





