Meluapnya sejumlah hulu sungai di Lanskap Batang Toru dan Taman Nasional Batang Gadis mengakibatkan bencana di tujuh kabupaten/kota di Sumatera Utara. Warga di daerah terdampak bencana mengingat sungai kian tak ramah sejak perusahaan besar mulai merambah hutan.
”Dulu awak (saya) sering lompat-lompat di sungai itu waktu kecil. Awak pun sering langsir air untuk minum dari situ ke rumah mamak,” kata Amrizal Simbolon (40), Jumat (12/12/2025).
Ia tak menyangka Sungai Batang Toru yang dulu ramah kepada anak-anak berubah jadi amat mengerikan. Banjir bandang menerjang tempat tinggal Amrizal di Desa Muara Huta Raja, Kecamatan Muara Batang Toru, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, pada 25 November lalu. Warga desa yang berjumlah 485 keluarga atau 1.680 jiwa harus mengungsi.
Sejumlah warga Desa Muara Huta Raja mengatakan, lebih kurang 10 tahun terakhir Sungai Batang Toru jadi sering meluap. Itu dibenarkan Amrizal, sejak beberapa tahun belakangan memang selalu terjadi banjir setiap tahun, tetapi biasanya genangan hanya setinggi lutut dan tidak sampai membawa lumpur serta gelondongan kayu.
”Kurasa banjir baru mulai ada setelah perusahaan buka-buka lahan di hulu sana, mungkin sekitar 2012 lah. Air juga tambah keruh, enggak bisa diminum lagi,” ujarnya.
Sekitar 20 kilometer dari Desa Muara Huta Raja, Sungai Garoga di Desa Garoga, Kecamatan Batang Toru, juga meluap. Air, lumpur, dan gelondongan kayu menghancurkan kampung dan mengakibatkan 47 jiwa tewas dan 27 hilang.
”(Bencana) yang sekarang ini akibat penebangan kayu di hulu sana. Kehancuran ini kita-kita sendiri yang menyebabkan, akibat ulah manusia,” kata Sahrul Nasution, warga Desa Garoga, Kamis (11/12/2025).
Sungai Batang Toru dan Sungai Garoga mengalir dari Ekosistem Harangan Tapanuli atau Batang Toru, bentang hutan tropis esensial terakhir di Sumut. Secara keseluruhan, Lanskap Batang Toru seluas 249.191 hektar atau 63 persen merupakan kawasan hutan dan sisanya seluas 91.666 hektar atau 37 persen merupakan areal penggunaan lain (Kompas.id, 21/12/2021).
Kepala Subdirektorat Perencanaan Pengelolaan DAS Direktorat Perencanaan dan Pengawasan Pengelolaan DAS Kementerian Kehutanan Catur Basuki Setyawan mengatakan, ada 13 DAS di 11 kabupaten/kota di Sumut yang terdampak banjir. Lahan kritis di 13 DAS itu luasnya 207.482 hektar atau 14,7 persen dari luas total 1,4 juta hektar.
Alam sudah membongkar segala kebohongan yang ditutupi oleh berbagai kebijakan pemerintah.
Analisis Kompas terhadap 13 DAS terdampak banjir menemukan ada tujuh sungai pemicu banjir di Sumut yang hulunya berada di Ekosistem Batang Toru dan ada tiga sungai yang mengalir dari hulu di Taman Nasional (TN) Batang Gadis. Tujuh sungai yang hulunya berada di wilayah Ekosistem Batang Toru adalah Aek Pandan, Badiri, Batang Toru, Garoga, Kolang, Sibuluan, dan Sibundong.
Adapun tiga sungai yang hulunya berada di TN Batang Gadis adalah Natal, Batang Batahan, dan Batang Gadis. Berdasarkan berita harian Kompas pada 15 Desember 2011, lebih dari separuh luas TN Batang Gadis atau sekitar 55.000 hektar beralih fungsi menjadi area pertambangan emas di Mandailing Natal, Sumut.
Meluapnya 10 sungai yang hulunya berada di Lanskap Batang Toru dan TN Batang Gadis memicu bencana di tujuh kabupaten/kota, yakni Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Padang Sidempuan, Sibolga, Humbang Hasundutan, dan Mandailing Natal. Lebih kurang 303 jiwa tewas, 90 orang hilang, dan 2.900 orang terluka di tujuh daerah itu.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumut Rianda Purba mengatakan, kebijakan tata ruang, terutama di kawasan rawan bencana, harus dievaluasi. Ia juga mendesak pemerintah agar segera mencabut izin operasional perusahaan yang berkontribusi terhadap bencana di sejumlah wilayah tersebut.
”Pemulihan ekosistem harus jadi urgensi. Jadikan perlindungan hutan sebagai garda terdepan dalam program mengantisipasi bencana di masa depan. Alam sudah membongkar segala kebohongan yang ditutupi oleh berbagai kebijakan pemerintah,” ucapnya (Kompas, 3/12/2025).
Pada 10 Desember, Direktur Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri Brigadir Jenderal (Pol) Mohammad Irhamni, mengatakan, berdasarkan citra satelit ada 110 titik pembukaan lahan di DAS Garoga. Polisi dan Kemenhut telah mendatangi empat titik di antaranya dan menemukan pembukaan lahan seluas 6-30 hektar.
Irhamni menyebut, perusahaan kelapa sawit PT TBS diduga sebagai pembuka lahan di empat titik itu. Keempatnya berada di lereng bukit yang amat curam sehingga ketika hujan lebat, material lumpur dan kayu langsung terbawa aliran air ke badan sungai. Ia menegaskan, aparat juga mengusut 106 titik penggundulan lahan lain sesuai pantauan lewat citra satelit.
Dihubungi pada Minggu (14/12/2025), Manajer Kampanye Satya Bumi Sayyidatiihayaa Afra atau karib disapa Hayaa mengatakan, citra satelit menunjukkan PT TBS diyakini melancarkan deforestasi mulai November 2024. Hingga Oktober 2025, perusahan diduga telah membuka 330 hektar hutan di DAS Garoga.
Adapun di DAS Batang Toru, gelondongan kayu terpantau ditumpuk di badan sungai arah ke hulu sejak akhir 2024. Hayaa menduga gelondongan kayu itu adalah hasil pembukaan hutan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru.
Gelondongan-gelondongan kayu itu pula yang diduga terbawa arus saat banjir sampai ke Desa Muara Huta Raja. ”Kementerian Kehutanan seharusnya lebih berani menjatuhkan sanksi yang lebih berat terhadap perusahaan-perusahaan yang mengakibatkan deforestasi dan memperparah dampak Siklon Senyar,” tuturnya.
Masyarakat internasional, terdiri dari lembaga masyarakat dan sejumlah anggota kongres Amerika Serikat, pernah melayangkan surat kepada Presiden Joko Widodo agar menghentikan proyek PLTA Batang Toru pada Maret 2019. Proyek ini juga ditentang oleh advokat dan aktivis lingkungan Golfrid Siregar, tetapi ia meninggal dengan penuh kejanggalan ketika tengah gencar menggugat pembangunan PLTA.
Selain mengakibatkan jatuhnya korban jiwa, banjir bandang menghantam keanekaragaman hayati di Ekosistem Batang Toru. Pada 3 Desember, tim SAR gabungan yang tengah mencari korban banjir bandang menemukan bangkai seekor orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis) yang tertimbun gelondongan kayu di hilir Sungai Garoga.
Orangutan tapanuli jumlahnya kurang dari 800 ekor dan berstatus terancam punah (critically endangered). ”Pongo tapanuliensis adalah jenis orangutan yang populasinya paling sedikit di dunia. Hancurnya keanekaragaman hayati akibat deforestasi adalah kerusakan yang mustahil untuk dipulihkan,” ucap Hayaa.





