Ekskavasi di Nganjuk, Jawa Timur, menjadi penemuan fosil gajah purba Stegodon trigonocephalus terlengkap sepanjang sejarah arkeologi Indonesia. Hal ini diharapkan bisa membuka tabir lebih dalam tentang perjalanan hidup gajah purba di Nusantara.
Meja besar di Museum Geologi, Kota Bandung, Jawa Barat, itu terlihat begitu sesak, akhir November 2025. Ratusan fragmen tulang gajah purba berbagai ukuran tersebar di atasnya. Usianya sekitar 800.000 tahun.
Paling mencolok adalah gading sepanjang 2,55 meter. Ada juga tulang iga, belikat, dan tulang ekor. Selain itu, ada pula fragmen kepala dalam kotak kayu yang menunggu disusun kembali.
Sejauh ini, temuan stegodon itu adalah yang paling lengkap dalam sejarah arkeologi Indonesia, mencapai 70 persen dari satu individu. Sekitar 30 persen yang belum ditemukan adalah bagian kepala dan kaki.
”Bila telah disusun, kemungkinan tingginya sekitar 3 meter dan panjang 4 meter. Berat gajah ini diperkirakan 4-5 ton,” kata Unggul Prasetyo Wibowo, Ketua Tim Kerja dan Penyelidikan dan Konservasi Museum Geologi di Badan Geologi.
Sebelumnya, Museum Geologi telah memiliki replika Stegodon trigonocephalus yang dirangkai sejak zaman Belanda. Namun, replika itu dirangkai dari komposit atau sejumlah fosil dari individu berbeda.
Selain itu, tim dari Institut Teknologi Bandung (ITB) juga pernah menemukan Stegodon trigonocephalus pada 2018 di Sumedang. Kelengkapannya mencapai 40 persen.
Kepala Badan Geologi Muhammad Wafid mengatakan, proses menyusun ulang fragmen ini akan segera dilakukan. Targetnya, hal itu akan rampung dalam 8-9 bulan ke depan.
Nantinya, fosil asli akan dipasang di Museum Geologi. Keberadaannya akan melengkapi koleksi Elephas hysudrindicus dari Blora, Jawa Tengah, dan Stegodon florensis dari Flores, Nusa Tenggara Timur. “Replikanya akan dikirimkan ke museum di Tritik. Fosil stegodon ini akan menjadi sumber pengetahuan baru bagi warga,” kata Wafid.
Fosil stegodon itu dibawa ke Bandung dari hutan jati di Desa Tritik, Kecamatan Rejoso, Nganjuk. Lokasinya di lahan Perum Perhutani, sekitar 2 kilometer dari permukiman. Dilaporkan oleh pemerintah kabupaten setempat pada 2023, ekskavasi oleh Badan Geologi mulai dilakukan tahun 2024.
Unggul mengatakan, setelah tempat yang tepat dipilih, penggalian pun dilakukan. Luas penggaliannya 5 meter x 4 meter. Kedalamannya terbilang dangkal, yakni 1,2 meter, karena tanah lempungnya sudah terlipat dan tererosi.
Tidak hanya lengkap, fosil stegodon ini juga potensial menjawab banyak pertanyaan tentang cara hidupnya di dunia ini tempo dulu. Salah satunya bisa dilihat dari cara stegodon ini mati.
Unggul menyebut, stegodon ini diperkirakan mati tua, bukan karena penyakit atau bencana alam. Perkiraan mati tua berdasarkan kajian pada fosil gigi. Gigi yang ditemukan terlihat sudah terkikis yang membuatnya sulit mengunyah lagi.
“Bila membandingkan dengan gajah yang masih ada sekarang, usia tua itu sekitar 65 tahun. Namun, stegodon ini bisa jadi lebih tua karena kondisi lingkungan yang lebih baik,” katanya.
Bila disandingkan dengan alam saat itu, Unggul menyebut, hal itu sangat realistis. Diperkirakan, dulu tempat gajah itu mati adalah savana dengan aliran sungai. “Ada banyak satwa hidup di sana. Selain banyak fosil banteng, ada juga harimau purba,” kata dia.
Sejauh ini, penyebab penyakit juga minim. Satwa ini punya bobot besar sehingga diperkirakan memiliki kualitas hidup yang baik. Ke depan, harapannya ada penelitian tentang pola makanan dari fosil lain yang ditemukan di sekitarnya.
Dugaan kematian akibat bencana alam pun tidak signifikan. Stegodon ini mati sendirian. Di sekitarnya belum ditemukan fosil stegodon yang lain.
“Bila dibandingkan dengan Stegodon florensis di Liang Bua, Flores, di sana ada banyak fosil dari berbagai gajah dengan usia bervariasi. Kematian stegodon diduga karena bencana alam, seperti gunung api,” kata dia.
Penemuan fosil di Nganjuk sangat berarti untuk menyusun puzzle tentang perjalanan gajah di Indonesia. Dalam buku “Atlas Fosil Vertebrata Koleksi Museum Geologi Badan Geologi”, disebutkan ada empat keluarga gajah (Proboscidea) yang pernah dan masih menyambangi Nusantara. Mereka adalah Mastodon, Stegodon, Stegoloxodon, dan Elephas.
Dalam buku yang ditulis Fachroel Aziz, Anton S Hadiputro, dan Halmi Insani ini, Mastodon atau Sinomastodon bumiajuensis adalah yang pertama kali ada di Indonesia. Fosilnya yang berumur 1,5 juta tahun ditemukan di Bumiayu, Jawa Tengah.
Selain itu, ditemukan juga fosil Elephas maximus, atau gajah Asia yang hingga kini spesiesnya masih ada di Rancamalang, Kabupaten Bandung.
Sementara itu, Elephas hysudrindicus ditemukan Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Fosil gajah purba tersebut diperkirakan berusia sekitar 250.000 tahun. Adapun tinggi gajah diperkirakan sekitar 2,5 meter karena kaki belakang gajah hanya sekitar 1,7 meter.
Fosil Stegodon pintarengensis juga dilaporkan ditemukan di Pintareng, Sulawesi Selatan. Morfologi gerahamnya sangat mirip dengan Stegodon trigonocephalus dari Jawa, tetapi ukurannya lebih kecil.
Di lembah Walannae, Sulawesi Selatan, gajah juga pernah hidup. Salah satunya jenis Stegodon sompoensis, yang merupakan sejenis gajah kerdil. Ukurannya mirip Stegodon sumbaensis dari Waingapu, Sumba dan Stegodon timorensis dari Cekungan Atambua, Timor.
Ada juga Stegoloxodon celebensis. Gajah ini endemik Walannae. Punya dua pasang gading (4 buah), 2 (dua) di rahang atas, dan 2 (dua) di rahang bawah. Di samping itu juga ada Stegodon florensis yang juga kerdil dari Flores.
Tidak hanya alur penyebarannya, penemuan stegodon ini bukan tidak mungkin menjadi bekal ilmu pengetahuan terkait proses adaptasi gajah.
Bersama mereka, datang juga rusa (Cervus lydekkeri dan Cervus javanicus), banteng (Bos palaesondaicus) serta, kerbau (Bubalus palaeokerabau), kuda nil purba (Hexaprotodon simplex), dan kura-kura raksasa (Geochelone atlas).
“Karena jago berenang, gajah dan hewan lain mampu menembus isolasi antarpulau yang dipisahkan laut dan palung yang dalam. Namun, akibat isolasi, kecenderungan makhluk hidup yang hidup di darat alami pengerdilan (dwarfting), sedangkan reptil, seperti kura-kura, bertambah besar (gigantic)," kata Azis.
Sejauh ini, ketangguhan gajah merambah banyak wilayah itu dipicu banyak hal. Gajah, misalnya, merupakan hewan yang suka dengan air atau hidup di lingkungan basah dan lembab. Gajah juga hidup berkelompok sehingga dapat mempertahankan populasinya, punya belalai sebagai alat bantu pernafasan.
Selain itu, tubuhnya yang besar membuat dia dapat bertahan cukup lama tanpa makan, struktur tulang tengkorak berongga sehingga mudah mengapung, hingga metabolisme pencernaan yang dapat menghasilkan gas membantunya mengapung.
Ke depan, bukan tidak mungkin muncul pengetahun baru yang bisa didapatkan manusia dari kehidupan gajah purba yang piawai menghadapi perubahan iklim. Terbuka kemungkinan untuk meneliti kondisi lingkungan terbaik untuk hidup hingga cara hidup stegodon bersama kawanannya saat itu.
Serial Artikel
Ciletuh, Surga Geologi yang Terancam
Meskipun telah ditetapkan sebagai taman bumi global, kawasan Ciletuh-Palabuhanratu belum aman dari kerusakan lingkungan. Surga geologi di Sukabumi bagian selatan itu kini terancam rusak karena dikepung tambang emas ilegal.
Akan tetapi, selama penelitian panjang itu dilakukan, manusia saat ini sudah bisa mendapat banyak manfaat dari fosil masa silam. Untung mencontohkan seperti yang sudah dilakukan pada penemuan Megalodon atau hiu purba raksasa di Kawasan Geopark Ciletuh, Sukabumi, Jabar. Berada di Desa Gunung Sungging, Kecamatan Surade, Kabupaten Sukabumi, museum ini berdiri pada 19 Februari 2021.
Saat ini, dengan lebih dari 500 koleksi fosil, museum berandil besar membuat Surade dikenal wisatawan dan peneliti. Selain memberikan efek ekonomi bagi warga, keberadaannya ikut menghadirkan perbaikan infrastruktur di daerah itu.
Setidaknya jalan yang dulu rusak berat di sekitarnya, kini mulus setelah banyak wisatawan dan peneliti antusias datang melihat keajiban masa lalu tersimpan di sana.





