Bisnis.com, JAKARTA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyoroti tertundanya pengenaan pajak karbon yang telah tertuang dalam Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan alias HPP yang disahkan 2021.
BPK menyebutkan bahwa Kemenkeu telah mengungkapkan kepada auditornya soal kendala pelaksanaan pajak karbon tersebut. Ada empat kendala yang menurut versi Kemenkeu menghambat penerapan peta jalan pajak karbon.
Pertama, situasi perekonomian masih belum pulih yang disebabkan oleh pandemi Covid-19. Perekonomian nasional menghadapi risiko global antara lain karena peningkatan harga komoditas energi dan pangan global dan konflik geopolitik di beberapa kawasan ekonomi yang menyebabkan peningkatan inflasi domestik.
Kedua, penerapan pajak karbon di Indonesia berpotensi meningkatkan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) tenaga listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan Independent Power Producer (IPP) yang pada akhirnya ditanggung oleh belanja APBN melalui skema subsidi dan kompensasi listrik.
Untuk itu, Pemerintah perlu merevisi terlebih dahulu PMK Nomor 178 Tahun 2021 tentang Perubahan atas PMK Nomor 174 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penyediaan, Penghitungan, Pembayaran, dan Pertanggungjawaban Subsidi Listrik yang saat ini sedang diproses oleh Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) Kementerian Keuangan.
Ketiga, sesuai amanat UU HPP, Peta Jalan Pajak Karbon salah satunya harus memuat strategi penurunan emisi karbon untuk masing-masing sektor sesuai dengan target NDC dan NZE. Namun demikian, di dalam dokumen E-NDC terakhir belum terdapat strategi carbon pricing sebagai salah satu strategi untuk mencapai NDC tersebut.
Baca Juga
- BPK Soroti Tertundanya Pungutan Pajak Karbon, Kemenkeu Angkat Tangan?
- Pajak Karbon Eropa CBAM Berpotensi Gerus Margin Eksportir Baja hingga Semen
- Pajak Karbon CBAM Hambat Ekspor ke Eropa, Ekonom: Perlu Disepakati Lewat IEU-CEPA
Keempat, penerapan pajak karbon harus mempertimbangkan seluruh aspek terkait, termasuk sinkronisasi dengan kebijakan lain, pengembangan pasar karbon, pencapaian target NDC, kesiapan sektor dan institusi, serta kondisi ekonomi terkini.
Apa Itu Pajak Karbon?Pajak karbon sendiri merupakan mekanisme lazim untuk menekan emisi karbon. Indonesia sendiri telah memiliki payung hukum terkait pelaksanaan pajak karbon sekaligus bursa karbon.
Aturan terkait itu termaktub dalam UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Perpajakan. Berdasarkan Pasal 13 beleid tersebut, pajak karbon dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup.
Sementara tarif pajak karbon ditetapkan lebih tinggi atau sama dengan harga karbon di pasar karbon dengan tarif paling rendah Rp30,00 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e). Selanjutnya, pada Perpres 98/2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon alias NEK, skema pajak karbon memiliki dua konsep.
Pertama, yakni Cap & Trade. Dalam skema ini, entitas yang mengemisi lebih besar dari cap membeli izin emisi (SIE) dari entitas yang mengemisi di bawah cap atau membeli sertifikat penurunan emisi (SPE/offset karbon).
Kedua, yaitu Cap & Tax. Dalam hal entitas tersebut tidak dapat membeli izin emisi (SIE) atau sertifikat penurunan emisi (SPE) atas emisi di atas cap seluruhnya maka sisa emisi akan dikenakan pajak karbon.
Berkaca dari penerapan dua skema tersebut, maka penerapan kebijakan pajak karbon akan merangsang lahirnya perdagangan karbon. Singkatnya, pajak karbon akan mengungkit transaksi bursa karbon.





