KemenHAM: Diakui atau Tidak, Kasus Pelanggaran HAM Berat hingga Kini Belum Selesai

kompas.com
17 jam lalu
Cover Berita

JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Hak Asasi Manusia (KemenHAM) mengakui bahwa penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu di Indonesia hingga kini belum mencapai titik akhir.

Berbagai upaya yang telah dilakukan, baik melalui jalur yudisial maupun non-yudisial, dinilai belum mampu menghadirkan penyelesaian yang benar-benar tuntas dan memuaskan bagi korban maupun keluarganya.

"Saya kira diakui ataupun tidak diakui, faktanya adalah kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat sampai saat ini belum terselesaikan," kata Direktur Jenderal Pelayanan dan Kepatuhan HAM KemenHAM, Munafrizal Manan, dalam acara peluncuran dan publikasi peta jalan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di Jakarta, Senin (15/12/2025).

"Jadi ini salah satu warisan sejarah yang sampai hari ini kita hadapi, kita belum bisa menghadirkan penyelesaian final atas kasus-kasus tersebut," imbuh dia.

Baca juga: Keluarga Korban Minta Komnas HAM Tetapkan Tragedi Kanjuruhan Sebagai Pelanggaran HAM Berat

Ia mengatakan, meskipun sejumlah langkah telah ditempuh, negara seolah masih berada dalam “labirin” tanpa jalan keluar yang jelas dalam menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM berat masa lalu.

var endpoint = 'https://api-x.kompas.id/article/v1/kompas.com/recommender-inbody?position=rekomendasi_inbody&post-tags=KemenHAM, pelanggaran HAM berat, penyelesaian kasus, Munafrizal Manan&post-url=aHR0cHM6Ly9uYXNpb25hbC5rb21wYXMuY29tL3JlYWQvMjAyNS8xMi8xNS8xMzE4NTQwMS9rZW1lbmhhbS1kaWFrdWktYXRhdS10aWRhay1rYXN1cy1wZWxhbmdnYXJhbi1oYW0tYmVyYXQtaGluZ2dhLWtpbmktYmVsdW0=&q=KemenHAM: Diakui atau Tidak, Kasus Pelanggaran HAM Berat hingga Kini Belum Selesai§ion=Nasional' var xhr = new XMLHttpRequest(); xhr.addEventListener("readystatechange", function() { if (this.readyState == 4 && this.status == 200) { if (this.responseText != '') { const response = JSON.parse(this.responseText); if (response.url && response.judul && response.thumbnail) { const htmlString = `
${response.judul}
Artikel Kompas.id
`; document.querySelector('.kompasidRec').innerHTML = htmlString; } else { document.querySelector(".kompasidRec").remove(); } } else { document.querySelector(".kompasidRec").remove(); } } }); xhr.open("GET", endpoint); xhr.send();

Namun, Munafrizal menuturkan, Indonesia bukan satu-satunya negara yang menghadapi kesulitan tersebut.

Sejumlah negara yang pernah mengalami pelanggaran HAM berat juga menghadapi persoalan serupa, meskipun sebagian di antaranya telah dinyatakan selesai secara formal.

“Sebutlah misalnya, apa yang terjadi di Jerman dulu pada masa Nazi, ada penyelesaian bahkan di gelar pengadilan HAM internasional mungkin terakhir itu, tapi juga itu bukan penyelesaian yang memuaskan. Karena sampai sekarang juga masih banyak juga yang merasa tidak puas atas penyelesaian itu," jelasnya.

Baca juga: Rapat RUU KUHAP, Komnas HAM: Restorative Justice Tak Boleh Digunakan untuk Pelanggaran HAM Berat

"Atau misalnya contoh kasus lain di Rwanda juga seperti itu, Afrika Selatan, Bosnia yang terjadi, semua seperti itu," sambung dia.

Menurut Munafrizal, pengalaman negara-negara tersebut menunjukkan bahwa penyelesaian pelanggaran HAM berat hampir tidak pernah sepenuhnya memuaskan semua pihak, terutama korban dan keluarganya.

Di Indonesia sendiri, upaya penyelesaian melalui jalur yudisial telah dilakukan terhadap empat kasus, yakni Timor Timur, Abepura, Tanjung Priok, dan Paniai. Namun, proses tersebut berakhir tanpa adanya pelaku yang dijatuhi hukuman.

“Artinya itu pun dalam perspektif keadilan orang-orang dan keluarganya juga mungkin akan bertanya juga apakah penyelesaian yudisial seperti itu," ujar dia.

Munafrizal menjelaskan, hambatan utama dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat adalah persoalan pembuktian.

Baca juga: 21 Tahun Tanpa Kepastian, Suciwati Berharap Kematian Munir Dinyatakan Pelanggaran HAM Berat

Sebagai tindak pidana khusus, kasus-kasus tersebut mensyaratkan pembuktian yang sangat ketat.

googletag.cmd.push(function() { googletag.display('div-gpt-for-outstream'); });
.ads-partner-wrap > div { background: transparent; } #div-gpt-ad-Zone_OSM { position: sticky; position: -webkit-sticky; width:100%; height:100%; display:-webkit-box; display:-ms-flexbox; display:flex; -webkit-box-align:center; -ms-flex-align:center; align-items:center; -webkit-box-pack:center; -ms-flex-pack:center; justify-content:center; top: 100px; }
LazyLoadSlot("div-gpt-ad-Zone_OSM", "/31800665/KOMPAS.COM/news", [[300,250], [1,1], [384, 100]], "zone_osm", "zone_osm"); /** Init div-gpt-ad-Zone_OSM **/ function LazyLoadSlot(divGptSlot, adUnitName, sizeSlot, posName, posName_kg){ var observerAds = new IntersectionObserver(function(entires){ entires.forEach(function(entry) { if(entry.intersectionRatio > 0){ showAds(entry.target) } }); }, { threshold: 0 }); observerAds.observe(document.getElementById('wrap_lazy_'+divGptSlot)); function showAds(element){ console.log('show_ads lazy : '+divGptSlot); observerAds.unobserve(element); observerAds.disconnect(); googletag.cmd.push(function() { var slotOsm = googletag.defineSlot(adUnitName, sizeSlot, divGptSlot) .setTargeting('Pos',[posName]) .setTargeting('kg_pos',[posName_kg]) .addService(googletag.pubads()); googletag.display(divGptSlot); googletag.pubads().refresh([slotOsm]); }); } }

“Untuk bisa menghukum orang itu kan harus beyond reasonable doubt, jadi tidak boleh ada keraguan. Nah lembaran pembuktian itulah yang dihadapi oleh penegak hukum sulit ya," katanya.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Hilirisasi SDA Ditargetkan Jadi Pendorong Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen
• 18 jam lalumerahputih.com
thumb
Indonesia Sampaikan Duka Penembakan di Pantai Bondi Sydney
• 18 jam lalumediaindonesia.com
thumb
5 Cara Unik Merayakan Akhir Tahun ala Sagitarius
• 12 jam lalubeautynesia.id
thumb
Bejat! Seorang Kakek di Gresik Cabuli Cucu Tirinya
• 23 jam lalurealita.co
thumb
Diperkuat Fatwa Syariah, BRI-MI Kian Dekat Hadirkan ETF Emas
• 6 jam laluidxchannel.com
Berhasil disimpan.