Hutan Amazon Menuju Iklim ‘Hipertropis’, Pertama dalam 10 Juta Tahun Terakhir

kumparan.com
3 jam lalu
Cover Berita

Hutan hujan Amazon disebut tengah bergerak perlahan menuju iklim baru yang lebih ekstrem, dijuluki “hipertropis”, sebuah kondisi berbahaya yang menurut para ilmuwan belum pernah terjadi di Bumi setidaknya selama 10 juta tahun terakhir.

Penelitian terbaru memprediksi, perubahan ini akan memicu kekeringan yang lebih sering dan lebih ekstrem, hingga berpotensi menyebabkan kematian massal pepohonan. Bahkan pada tahun 2100, kekeringan panas diperkirakan bisa memanggang Amazon hingga 150 hari dalam setahun, termasuk merambah ke musim hujan.

“Ketika kekeringan panas ini terjadi, iklimnya sudah melampaui batas yang selama ini kita kenal sebagai hutan tropis. Inilah yang kami sebut sebagai hutan hipertropis,” kata penulis utama studi tersebut, Jeff Chambers, profesor geografi di University of California, Berkeley, sebagaimana dikutip Live Science.

Dipublikasikan di jurnal Nature, para ilmuwan meyakini iklim hipertropis terakhir kali muncul pada periode Eosen hingga Miosen, sekitar 40 juta hingga 10 juta tahun lalu. Pada pertengahan Eosen, suhu rata-rata global mencapai 28 derajat Celsius, atau sekitar 14 derajat lebih panas dibandingkan rata-rata suhu saat ini.

Penelitian sebelumnya juga menunjukkan, hutan di sekitar garis khatulistiwa kala itu memiliki lebih sedikit pohon hijau abadi dan mangrove.

Saat ini, Amazon memang mengalami kekeringan panas, tetapi hanya berlangsung beberapa hari atau pekan dalam setahun. Namun, perubahan iklim membuat musim kering yang biasanya terjadi antara Juli hingga September, menjadi semakin panjang, sementara jumlah hari dengan suhu di atas normal terus meningkat setiap tahunnya.

Chambers dan tim menganalisis 30 tahun data suhu, kelembapan, kadar air tanah, serta intensitas cahaya matahari dari sebuah kawasan hutan di utara Manaus, kota yang berada di jantung Amazon Brasil. Mereka juga meneliti data dari sensor yang mengukur aliran air dan getah di dalam batang pohon, untuk memahami bagaimana pepohonan bertahan saat kekeringan.

Hasilnya, saat kekeringan terjadi, pepohonan kesulitan mendapatkan air dan berhenti menyerap karbon dioksida (CO₂). Penyebabnya, laju penguapan meningkat tajam, sehingga kadar air tanah menurun drastis. Sebagai respons, pohon menutup pori-pori daun yang berfungsi mengatur pertukaran air dan gas dengan udara.

Langkah ini memang membantu menghemat air, tetapi sekaligus menghentikan penyerapan CO₂, zat penting bagi pertumbuhan dan perbaikan jaringan tanaman.

Akibatnya, ketika kondisi kekeringan menjadi ekstrem, sebagian pohon mati karena kekurangan CO₂. Lebih parah lagi, saat kelembapan tanah turun di bawah 33 persen yang artinya hanya sepertiga pori tanah yang terisi air, pohon mulai mengalami gelembung udara di dalam getahnya, mirip gumpalan darah pada pembuluh manusia. Gelembung ini menghambat sirkulasi cairan di jaringan xilem.

“Jika emboli ini jumlahnya cukup banyak, pohon akan mati,” ujar Chambers. “Ambang batas kelembapan tanah yang memicu kerusakan ini ternyata konsisten, baik pada peristiwa El Niño 2015 maupun 2023, serta sesuai dengan temuan di lokasi Amazon lainnya. Hasil ini benar-benar mengejutkan.”

Saat ini, tingkat kematian pohon tahunan di Amazon berada sedikit di atas 1 persen. Namun, angka tersebut diperkirakan naik menjadi 1,55 persen pada 2100. Sekilas terdengar kecil, tetapi dalam skala hutan hujan terbesar di dunia, dampaknya sangat besar.

Penelitian juga menunjukkan, pohon yang tumbuh cepat lebih rentan terhadap kekeringan panas dibandingkan pohon yang tumbuh lambat, karena membutuhkan pasokan air dan CO₂ yang melimpah.

Artinya, di masa depan, pohon-pohon dengan pertumbuhan lambat, seperti ipê kuning (Handroanthus chrysanthus) dan shihuahuaco (Dipteryx micrantha), berpotensi mendominasi Amazon, asalkan mampu bertahan menghadapi tekanan air dan kenaikan suhu yang kian cepat.

Ancaman Global

Tak hanya Amazon, hutan hujan di wilayah lain seperti Afrika Barat dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, juga diduga sedang bergerak menuju rezim iklim hipertropis. Perubahan ini membawa konsekuensi besar bagi siklus karbon global, mengingat hutan hujan menyerap CO₂ dalam jumlah sangat besar yang seharusnya bisa terlepas ke atmosfer.

Namun, semua prediksi suram ini dibuat dengan asumsi tidak ada penurunan signifikan emisi CO₂. Karena itu, menurut Chambers, masa depan Amazon masih sangat bergantung pada pilihan manusia.

“Sejauh mana iklim hipertropis ini akan terbentuk, sepenuhnya ada di tangan kita,” ujarnya. “Jika kita terus melepaskan gas rumah kaca tanpa kendali, maka iklim hipertropis ini akan datang jauh lebih cepat.”


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Kemendagri Apresiasi Koperasi Merah Putih di Bantul Terapkan Digitalisasi
• 17 jam laludetik.com
thumb
Prabowo Sentil Bupati yang Tinggalkan Rakyat saat Bencana: Kurang Loyal!
• 2 menit laluviva.co.id
thumb
Dua Pekan Aceh Tamiang Masih Terisolir hingga Alami Listrik Padam, Pertamina Hadirkan PLTS untuk Terangi Tenda Pengungsi
• 22 jam lalutvonenews.com
thumb
Keterbatasan Instrumen Berperingkat Tinggi Jadi Tantangan Investasi Asuransi Syariah
• 19 jam lalubisnis.com
thumb
Setelah Kios di Kalibata Hangus Dibakar
• 11 jam laludetik.com
Berhasil disimpan.