Overkill Digital dan Netizen sebagai Pengadilan Moral

kumparan.com
21 jam lalu
Cover Berita

Tumbler biasanya tidak pernah meminta apa-apa selain diisi air. Namun, di kasus KRL kemarin, satu tumbler berhasil menjadi pusat orbit drama: menggerakkan institusi negara, menyeret satu petugas ke pusaran tuduhan, bikin satu brand kopi ketar-ketir, dan pada akhirnya membuat si pemilik tumbler kehilangan pekerjaan. Untuk sebuah botol minum, rangkaian hukuman ini terasa seperti menembak nyamuk menggunakan rudal balistik.

Semua bermula dari unggahan keluhan Anita Dewi—penumpang KRL yang kehilangan cooler bag dan mendapati tumblernya hilang saat diambil lewat prosedur lost and found. Bukan sekadar curhat, Anita langsung memberi framing: tumbler lenyap karena “ketidaktanggungjawaban petugas” berikut menyebut institusi PT KAI. Dari situ, kelalaian pribadi pelan-pelan bergeser menjadi “drama penindasan konsumen oleh lembaga besar”. Netizen, seperti biasa, datang sebagai "super hero" tanpa pelatihan dasar.

Algoritma hanya butuh beberapa menit menjadikannya sebagai lakon drama. Dalam waktu singkat, tokoh-tokohnya terbentuk: Anita sebagai korban; Argi—petugas KRL—spontan jadi tersangka; dan KAI digambarkan sebagai institusi yang tega mengorbankan petugasnya sendiri. Ketika rumor Argi “dipecat” beredar, simpati publik langsung pindah haluan. Warganet yang tadinya membela penumpang kini berbondong-bondong membela petugas.

Di titik ini, tumbler bukan lagi sekadar barang, melainkan juga sebagai simbol. Tumbler—yang harganya ratusan ribu rupiah dengan brand yang kuat di kalangan urban—diperlakukan sebagai penanda status, sehingga kehilangannya mudah dibaca sebagai “perlakuan tidak hormat” dari institusi kepada kelas menengah konsumen.

Dan karena semua simbol butuh panggung, kasus ini pun naik kelas jadi pertunjukan nasional: di mana warganet siap aksi menjadi juri, hakim, panitera, dan algojo.

Etika Komplain di Media Sosial

Mengeluh di internet soal pelayanan buruk itu sah, kadang malah satu-satunya cara supaya laporan dilirik. Banyak kasus baru digubris setelah diangkat warganet; kalau nunggu formulir resmi, mungkin masalahnya sudah pindah generasi. Namun, ada garis tipis antara komplain wajar dan vonis terbuka yang sangkut-pautnya bukan cuma institusi, melainkan juga nama pegawai yang gajinya mungkin tidak setebal harga tumbler edisi khusus.

Sebelum menekan tombol posting, ada tiga pertanyaan kecil yang lebih dulu patut untuk dipikirkan. Pertama, apakah cek dan klarifikasi secukupnya sudah dilakukan? Jangan baru satu kali ngomong di loket, malah langsung lari ke medsos. Kedua, saat menyebut nama instansi dan jabatan petugas, apakah ada kesadaran bahwa reputasi orang yang kerja shift pagi—malam sedang dipertaruhkan? Terakhir, kalau narasi bergeser dan ternyata tidak semulus di awal, apakah siap untuk mengoreksi narasi tersebut?

Tiga hal ini oleh para ahli disebut proporsionalitas, akurasi, dan tanggung jawab pascaviral; oleh warga +62 bisa diterjemahkan lebih sederhana: jangan lebay, jangan ngarang, dan jangan kabur setelah bikin heboh.

Tanpa itu, komplain cepat sekali berubah menjadi fitnah gotong-royong: kesalahan kecil didorong rame-rame, lalu ditinggal begitu saja ketika serpihannya mengenai orang lain. Kekacauan semacam ini memperburuk reaksi, merusak kepercayaan publik, dan akhirnya menyerahkan vonis pada kerumunan yang lapar drama.

Korporasi: Antara Damage Control dan Buang Orang

Begitu sebuah kasus naik ke trending, perusahaan jarang punya privilese untuk berpikir secara perlahan. Di satu sisi, pihak KAI lewat direksi dan juru bicara terkesan "buru-buru" menjelaskan bahwa petugas tidak dipecat, bahwa barang tertinggal tetap tanggung jawab penumpang, dan bahwa mitra kerja sedang dievaluasi.

Di sisi lain, mereka juga harus terlihat ramah pelanggan, peduli reputasi, dan “tegas menindak jika ada pelanggaran”. Semua ini dilakukan dalam tempo sesingkat-singkatnya, sebelum netizen pindah ke kasus berikutnya.

Sementara itu, kantor tempat sang pemilik tumbler bekerja memilih memutus hubungan kerja dengan alasan perilaku di ruang digital dianggap tidak sejalan dengan nilai perusahaan. Media sosial—yang tadinya cuma tempat curhat penumpang dan pemasaran brand—pelan-pelan menjadi ekstensi ruang kerja: apa yang kau tulis malam hari, bisa ikut menilai performamu di jam kantor.

Logikanya sederhana: kalau satu nama karyawan sudah identik dengan drama dan trending yang minus, lebih mudah untuk memotong hubungan daripada menjelaskan konteks dan memberi kesempatan belajar.

Di dunia korporasi, yang sering menang bukan prinsip keadilan, melainkan prinsip damage control secepat mungkin. Manajemen takut diserbu komentar, takut citra buruk, takut dituduh mendukung perilaku yang dinilai salah, dan ketakutan itu kerap dibayar dengan mengorbankan pegawai yang sebenarnya bisa diajak duduk, ditegur, dan disusun rencana pemulihannya.

Netizen sebagai Pengadilan Moral

Kalau pengadilan formal punya BAP, saksi, dan ruang banding, pengadilan netizen bekerja dengan tiga bahan baku: kecepatan, emosi, dan keinginan melihat ada orang “kena batunya”.

Dalam kasus tumbler, alur emosinya sudah seperti sinetron azab tiga episode: awalnya marah ke KAI dan petugas, lalu setelah klarifikasi beredar, giliran akun Anita, suami, bahkan orang tuanya yang dijadikan sasaran hujatan dan ancaman. Ada komentar yang terang-terangan merasa puas ketika kabar pemecatan sang pemilik tumbler muncul, seolah-olah neraca kosmis sudah kembali seimbang setelah ada yang jatuh di depan publik.

Masalahnya, hukuman kerumunan itu tidak punya masa berlaku, tidak pakai standar bukti, tidak ada mekanisme banding, dan dampaknya bisa menempel selama bertahun-tahun. Yang dihajar bukan hanya pelaku, melainkan keluarganya, privasinya, dan masa depannya. Dan semua ini sering terjadi bukan karena tragedi besar, melainkan karena hal-hal sepele yang harusnya bisa selesai di meja laporan.

Paradoksnya, warganet juga bergerak karena rasa keadilan. Namun jika tidak dijaga proporsionalitasnya, yang muncul jadi eksekusi publik untuk dinikmati ramai-ramai. Niat awal membela yang lemah, tiba-tiba berubah jadi hobi kolektif mencari tumbal.

Drama tumbler ini sebenarnya semacam ujian nasional tidak resmi: sejauh mana kita bisa menahan jari sebelum ikut melempar batu ke siapa pun yang sedang menjadi sasaran hari itu. Satu unggahan bisa menarik nasib pekerja lapangan, brand, dan karyawan lain yang bahkan tidak terlibat.

Tanggung jawab etis bukan selesai di tombol “posting”; justru inilah titik awal tanggung jawab, apakah kita siap mengoreksi, meminta maaf, dan mengatasi kerusakan kalau narasi yang kita bangun ternyata tidak sesederhana yang dibayangkan?

Kalau netizen bersikeras menjadi pengadilan moral, setidaknya ingat bahwa keadilan bukan cuma soal mencari siapa yang salah, melainkan memastikan hukuman tidak lebih kejam dari kesalahan itu sendiri. Toh akhirnya, di era di mana tumbler bisa hilang, kerja bisa "melayang" dan reputasi bisa gosong hanya lewat satu unggahan; yang paling perlu dijaga bukan hanya barang bawaan, melainkan juga akal sehat saat memegang ponsel di tangan.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
3 Link Cek Informasi Cuaca saat Libur Nataru 2026 dari BMKG, Lengkap Caranya!
• 20 jam laludisway.id
thumb
Reza Arya Pratama dan Alex Tank Juara Turnamen Padel Setelah Kalahkan Asisten Pelatih PSM Makassar
• 21 jam laluharianfajar
thumb
2 Lembaga PBB Respons Surat Pemerintah Aceh Minta Bantuan Pascabencana
• 5 jam laluviva.co.id
thumb
Mau Alasan Tidak Punya Waktu Untuk Kabari Kekasih? Momen Peraih Medali Emas SEA Games 2025 Sempatkan Balas WhatsApp Pacar di Tengah Pertandingan Viral
• 11 jam lalutvonenews.com
thumb
Patuhi Putusan MK, Menpan dan RB: Perpol No. 10/2025 Perlu Dibahas Lintas Kementerian
• 16 jam lalukompas.id
Berhasil disimpan.