Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah memastikan akan terus mengejar aksesi OECD. Namun demikian, proses aksesi OECD membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Direktur Jenderal Pembinaan dan Profesi Keuangan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Masyita Cristalin, saat rapat di DPR pada 14 Juli 2025 lalu menyebut biaya yang harus dikeluarkan pemerintah dalam aksesi itu mencapai 13,62 juta Euro atau Rp245,6 miliar yang akan dibagi dalam tiga termin pembayaran.
Adapun untuk menjamin pembiayaan berlangsung, Presiden Prabowo Subianto telah menerbitkan aturan anyar terkait upaya Indonesia bergabung dalam Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD).
Ketentuan tersebut tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) No. 30/2025 tentang Perubahan atas Keppres No. 17/2024 tentang Tim Nasional Persiapan dan Percepatan Keanggotaan Indonesia dalam OECD.
Dalam beleid yang diteken Prabowo pada 28 Oktober 2025 tersebut, pemerintah menyisipkan satu pasal krusial yang secara spesifik mengatur mekanisme "pembiayaan aksesi" yang sebelumnya tidak diatur secara rigid.
Pasal 10A ayat (1) menegaskan bahwa pemerintah wajib melakukan pembayaran biaya proses aksesi untuk setiap tahunnya. Kewajiban pembayaran ini terhitung sejak tanggal adopsi Peta Jalan Aksesi (Accession Roadmap) oleh Dewan OECD hingga Indonesia ditetapkan secara resmi sebagai anggota penuh.
Baca Juga
- Laporan OECD: Rasio Pendapatan RI Terendah se-Asean, di Bawah Laos!
- Indonesia Butuh Persetujuan Israel untuk Masuk OECD, Bakal Ada Normalisasi Hubungan?
- Aksesi OECD: RI Bidik Keanggotaan Penuh 2027, Tapi Korupsi Jadi Ganjalan
"Biaya proses aksesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara," bunyi Pasal 10A ayat (4) dalam beleid tersebut, dikutip Senin (15/12/2025).
Secara teknis, regulasi ini merinci komponen biaya apa saja yang akan ditanggung oleh kas negara. Pasal 10A ayat (2) menjelaskan bahwa biaya proses aksesi mencakup biaya perjalanan, akomodasi, pertemuan, serta penyusunan dokumen dan koordinasi.
Tak hanya itu, pos komunikasi dan biaya atas kegiatan OECD lainnya yang terkait dengan rangka aksesi Indonesia juga masuk dalam tanggungan negara.
Mekanisme pembayarannya pun diatur ketat. Pemerintah menetapkan bahwa pencairan dana aksesi akan dilakukan berdasarkan tagihan (invoice) yang disampaikan langsung oleh OECD, serta didukung oleh bukti lain yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Struktur Tim Makin GemukSelain urusan anggaran, Keppres 30/2025 juga merombak struktur Tim Nasional. Prabowo memperluas kursi Dewan Pengarah (Steering Committee) yang sebelumnya hanya diisi oleh tiga menteri koordinator di era Presiden Joko Widodo.
Kini, susunan pengarah menjadi jauh lebih "gemuk" dengan melibatkan enam menteri koordinator.
Jabatan Menko Polhukam yang dipecah membuat dua Menko baru masuk dalam jajaran pengarah, yakni Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan serta Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan.
Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat, serta Menteri Koordinator Bidang Pangan kini juga resmi mendapatkan kursi pengarah.
Perubahan juga menyasar level teknis di Sekretariat Tim Nasional. Posisi Wakil Ketua Sekretariat dari unsur Kementerian Keuangan, yang dalam aturan lama (Keppres 17/2024) dipegang oleh Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) kini dialihkan ke Direktur Jenderal Stabilitas dan Pengembangan Sektor Keuangan, berdasarkan Pasal 7 ayat (2) aturan baru.
Adapun dua kursi Wakil Ketua Sekretariat lainnya tetap diisi oleh Deputi Bidang Koordinasi Kerja Sama Ekonomi Internasional Kemenko Perekonomian dan Direktur Jenderal Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri.
"Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan [28 Oktober 2025]," tutup Pasal II.
Target Rampung 2027Sementara itu, pemerintah ingin merampungkan proses aksesi dan resmi menjadi anggota penuh OECD pada 2027. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan saat ini Indonesia telah memasuki tahap tinjauan teknis (technical review), dengan fokus utama pada penyesuaian regulasi di sektor perdagangan hingga ekonomi digital.
"Bidang utama yang didahulukan peninjauannya adalah lingkungan, perdagangan, dan ekonomi digital, mengingat kompleksitas dan peran pentingnya dalam ketahanan nasional," ujarnya dalam konferensi pers usai melakukan pertemuan dengan perwakilan OECD di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Kamis (11/12/2025).
Airlangga menjelaskan, target keanggotaan ini telah menjadi amanat Undang-Undang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029. Guna mempercepat proses, sambungnya, Presiden Prabowo Subianto telah menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 30/2025 yang mengatur penyesuaian tugas kementerian terkait aksesi tersebut.
Selain itu, pemerintah meluncurkan platform digital INA OECD sebagai wadah koordinasi antar-lembaga. "Indonesia adalah negara Asean pertama yang masuk proses aksesi, meski Thailand sudah menyusul dengan menyampaikan initial memorandum. Kita sedang berpacu," tambahnya.
Dalam kesempatan yang sama, Deputy Secretary-General OECD Frantisek Ruzicka merespons target keanggotaan penuh Indonesia di OECD pada 2027 itu. Menurutnya, kecepatan proses aksesi sepenuhnya bergantung pada kemampuan pemerintah Indonesia dalam mengadopsi dan mengimplementasikan legislasi yang sesuai standar OECD
"Anda tahu lagu Don't Stop Believin'. Jadi kita harus yakin. Namun, kecepatan proses bergantung pada kemampuan kedua belah pihak, terutama pemerintah Indonesia untuk mengadopsi legislasi. Jika Indonesia terus berproses seperti saat ini, ada peluang besar keanggotaan itu akan terjadi dalam waktu dekat [foreseeable future]," kata Ruzicka pada kesempatan yang sama.
Ruzicka juga menyoroti stabilitas makroekonomi Indonesia, termasuk rasio utang publik yang rendah dan peningkatan kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah.



