Program Cek Kesehatan Gratis (CKG) di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) telah menjangkau sekitar 20 persen dari total penduduk, yakni 740.000 dari sekitar 3,7 juta jiwa. Hasil pelaksanaan CKG tersebut menunjukkan adanya potensi persoalan kesehatan jiwa di masyarakat.
Kepala Dinas Kesehatan DIY, Gregorius Anung Trihadi, menyebut dari hasil skrining tersebut sebanyak 2,8 persen (sekitar 20.000 orang) berisiko mengalami gangguan depresi dan sebanyak 2,3 persen (sekitar 17.000 orang) berisiko mengalami gangguan kecemasan.
“Kita baru sekitar masih 20-an persen CKG dari sasaran dari penduduk yang sekitar 3,7 juta. Dari situ saja kita sudah melihat bahwa sekitar 2,8 persen itu memungkinkan berpotensi mempunyai gangguan depresi,” kata Anung ditemui Pandangan Jogja di kantornya, Kamis (11/12).
“Dan sekitar 2,3 persen juga berisiko mempunyai gangguan kecemasan,” sambungnya.
Menurut Anung, depresi dan kecemasan dapat menjadi pintu masuk sebelum seseorang mengalami gangguan jiwa yang lebih berat apabila tidak tertangani dengan baik. Oleh karena itu, hasil CKG dimanfaatkan sebagai dasar intervensi awal.
“Kecemasan, depresi, itu kan sebagai pintu masuk apabila tidak tertangani dengan baik, itu mungkin saja dia bisa menjadi penyakit-penyakit yang lebih berat,” katanya.
Ia mengakui masih terdapat kendala di masyarakat, terutama stigma terhadap gangguan jiwa. Dalam sejumlah kasus, keluarga memilih menyembunyikan anggota keluarga yang mengalami masalah kejiwaan.
Meski demikian, Dinkes DIY memastikan fasilitas pelayanan kesehatan siap memberikan penanganan menyeluruh bagi warga yang datang dan terdeteksi memiliki potensi gangguan jiwa.
“Orang yang kemudian dengan potensi gangguan jiwa kemudian sudah datang ke fasilitas pelayanan kesehatan, itu yang kemudian kami tangani secara paripurna,” jelasnya.
Lebih lanjut, Anung menegaskan bahwa depresi dan kecemasan bukan satu-satunya penyebab gangguan jiwa berat seperti skizofrenia dan psikosis akut. Keduanya merupakan salah satu faktor risiko dari berbagai faktor lain yang saling berkaitan.
Faktor risiko tersebut, lanjut dia, dapat berasal dari berbagai aspek kehidupan, mulai dari kondisi ekonomi, pendidikan, hingga lingkungan sosial. Pemerintah memotret berbagai risiko tersebut untuk menentukan bentuk intervensi yang tepat.
“Ada faktor risiko ekonomi bisa jadi, faktor risiko pendidikan bisa jadi, faktor risiko pergaulan bisa jadi. Jadi faktor risikonya banyak,” katanya.
Anung menambahkan, sasaran utama skrining kesehatan jiwa dalam program CKG adalah kelompok usia di atas 15 tahun. Pada rentang usia tersebut, individu dinilai mulai terpapar berbagai tekanan sosial dan lingkungan.





