Penulis: Ricardo Julio
TVRINews, Jakarta
Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana menyampaikan bahwa Program Makan Bergizi (MBG) ditargetkan membentuk sekitar 19.000 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) hingga akhir Desember 2025. Jumlah tersebut diperkirakan akan menjangkau 70 persen penerima manfaat sekaligus menyerap seluruh anggaran yang telah dialokasikan pemerintah kepada BGN.
Hal itu disampaikan Kepala BGN dalam Sidang Kabinet Paripurna yang dipimpin Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto pada Senin 15 Desember 2025. Ia menegaskan bahwa implementasi program MBG tidak hanya berdampak pada perbaikan gizi masyarakat, tetapi juga memberikan efek ekonomi yang luas di tingkat lokal.
“Setiap kali SPPG berdiri maka 50 orang akan bekerja di SPPG, kemudian ada 15 supplier yang bisa memasok bahan baku dan juga tentu saja petani, petenak nelayan akan sangat diuntungkan dengan kehadiran SPPG,” ujar Kepala BGN.
Ia mencontohkan partisipasi aktif masyarakat di Lumajang, Jawa Timur, ketika pendirian SPPG terkendala keberadaan kandang kambing di lokasi yang tidak memenuhi syarat. Alih-alih menolak, warga justru bermusyawarah dan secara swadaya memindahkan kandang tersebut.
“Masyarakat tidak menolak SPPG. Mereka justru paham manfaatnya dan bersedia mengeluarkan biaya untuk memindahkan kandang kambing agar SPPG bisa berdiri,” katanya.
Lebih lanjut, Kepala BGN menjelaskan bahwa keberadaan SPPG kini berperan penting dalam menstabilkan harga pangan nasional. Dengan kapasitas pembelian yang besar, BGN dapat mengatur menu di SPPG untuk merespons fluktuasi harga komoditas.
“Jadi kalau permintaan akan telur sama ayam terlalu tinggi, kami bisa berikan instruksi kepada SPPG agar menggunakan protein lain. Contohnya bulan ini adalah bulan ikan, maka kita anjurkan agar lebih banyak menggunakan ikan. Dan kemudian ketika harga kentang turun, petani menjerit, kami perintahkan kepada SPPG agar satu hari dalam satu minggu memasak kentang. Alhamdulillah harga kentang mulai naik,” ujarnya.
Ia menambahkan, satu kali proses memasak di satu SPPG membutuhkan bahan pangan dalam jumlah besar, seperti 200 kilogram beras, 350 kilogram sayuran, hingga 3.000 buah pisang atau 3.000 ekor lele.
“Kalau masak lele, itu butuh dua kolam bioflok. Artinya program ini sangat masif dan langsung menggerakkan ekonomi lokal,” jelasnya.
Selain dampak sosial dan ekonomi, program MBG juga dinilai memiliki jejak karbon yang rendah. Kepala BGN mengungkapkan, seorang ahli dari Amerika Serikat menilai pendekatan *locality* menggunakan bahan pangan lokal dengan ahli gizi di setiap SPPG berpotensi untuk dimonetisasi melalui skema carbon trading internasional.
“Ekosistem yang kita bangun dinilai ramah lingkungan karena berbasis lokal. Ini menjadi peluang besar ke depan,” tandasnya.
Editor: Redaktur TVRINews


