Banjir bandang di Sumatera Utara kembali menegaskan satu pesan penting bagi Presiden Prabowo: efektivitas kepemimpinan negara sangat ditentukan oleh efektivitas organisasi kepresidenan. Dalam setiap krisis, publik melihat presiden.
Namun dalam setiap keputusan, presiden melihat organisasinya. Jika organisasi itu tidak mampu menyediakan informasi, analisis, koordinasi, dan eksekusi yang diperlukan, presiden—siapa pun orangnya—akan bekerja sendirian, atau setidaknya nampak bekerja sendirian.
Tiga puluh tahun lalu, pada 1996, saya menyunting Manajemen Presiden Soeharto, sebuah buku yang dihantar oleh guru saya, Jakob Oetama. Pada masa itu, kekhawatiran bukan terletak pada figur Soeharto sebagai pemimpin, melainkan pada kelembagaan kepresidenan yang rapuh.
Presiden Soeharto tampak begitu kuat, tetapi kekuatan itu bertumpu pada jaringan personal, bukan pada struktur institusional yang mampu menopang fungsi eksekutif secara sistematis. Ketika jaringan itu melemah, efektivitas pun menurun.
Hingga hari ini, persoalan yang sama tetap relevan. Reformasi telah mengubah konfigurasi politik, tetapi tidak sepenuhnya memperbaiki organisasi kepresidenan. Presiden masih bekerja dengan dukungan institusi yang bersifat administratif, bukan strategis; sektoral, bukan lintas sektor; dan reaktif, bukan proaktif. Padahal, kompleksitas pemerintahan modern menuntut presiden bekerja dengan mesin manajemen yang kuat, bukan hanya dengan kapasitas personal.
Presiden yang Bekerja SendirianStruktur kerja kepresidenan Indonesia sejak lama tidak memungkinkan presiden menjalankan fungsi manajerial secara penuh. Pada masa Orde Baru, presiden bekerja terutama dengan sekretaris negara, sekretaris kabinet, beberapa penasihat informal, dan para trustees. Sementara itu, para menteri berada dalam silo masing-masing: kuat dalam kementeriannya, tetapi tidak dekat secara fisik maupun kelembagaan dengan presiden.
Negara-negara lain menempatkan para menteri kunci, penasihat, dan unit koordinasi dalam orbit harian presiden atau perdana menteri. Di Indonesia, orbit itu renggang. Presiden dapat memanggil menteri kapan saja, tetapi tidak dengan ritme yang memadai untuk mengelola pemerintahan yang bergerak cepat. Akibatnya, ruang pengambilan keputusan presiden relatif sempit: informasi terbatas, koordinasi terfragmentasi, dan eksekusi tidak konsisten.
Richard Neustadt dalam Presidential Power (1960) menjelaskan bahwa kekuatan presiden bukan pada kewenangan formalnya, melainkan pada kemampuan menggerakkan eksekutif melalui informasi, persuasi, dan dukungan institusional. Tanpa itu semua, presiden terjebak dalam decision isolation: mengambil keputusan berdasarkan informasi parsial karena lemahnya mesin organisasi di sekelilingnya.
Peringatan senada dikemukakan Juan Linz dalam The Perils of Presidentialism (1990). Presiden kuat tanpa institusi kuat cenderung memerintah melalui hubungan personal, bukan struktur negara. Di Indonesia, pengalaman Orde Baru menunjukkan hal itu: birokrasi berjalan, tetapi loyalitasnya bersifat personal. Ketika personal network melemah, efektivitas negara ikut menurun.
Kelemahan mesin manajemen inilah yang menjelaskan mengapa presiden—bahkan setelah Reformasi—tampak “bekerja sendirian”. Mandat politik mungkin kuat, tetapi kapasitas organisasionalnya tetap terbatas. Ini bukan persoalan orangnya, melainkan strukturnya.
Kepresidenan sebagai OrganisasiDi sinilah relevansi pemikiran Peter Drucker. Dalam Management: Tasks, Responsibilities, Practices (1974), guru manajemen ini menegaskan bahwa organisasi bekerja bukan karena kekuasaan atau kewenangan, melainkan karena manajemen. Dan inti manajemen adalah kapasitas memilih hal yang paling penting—what matters—dan memastikan seluruh organisasi bergerak ke arah itu.
Kepresidenan—apa pun sistem politiknya—adalah sebuah organisasi besar. Ia membutuhkan prioritas, proses, struktur, dan ritme kerja. Tanpa itu, visi presiden tidak berubah menjadi hasil. Kita sering menyalahkan presiden karena janji tidak terpenuhi, padahal sering kali yang rapuh adalah misi organisasional, bukan visi personal.
Dari pengalaman berbagai negara, terdapat lima fungsi inti yang selalu dibangun untuk memastikan kepala pemerintahan dapat bekerja secara efektif. Lima fungsi tersebut dapat disebut sebagai non negotiable dari organisasi kepresidenan.
Pertama, administrasi kabinet dan administrasi negara. Ini adalah simpul ritme kerja eksekutif. Banyak negara memiliki cabinet office yang tangguh—mesin yang memastikan keputusan presiden bergerak lancar melalui birokrasi. Di Indonesia, sekretariat negara dan sekretariat kabinet bekerja baik secara administratif, tetapi belum menjadi center of government yang strategis.
Kedua, perencanaan pemerintahan dan pembangunan. Presiden membutuhkan rencana yang mengintegrasikan visi politik dengan kapasitas anggaran dan kemampuan birokrasi. Bappenas memiliki warisan penting, tetapi tidak berada cukup dekat dengan presiden untuk berfungsi sebagai presidential planning office.
Ketiga, penganggaran nasional. Anggaran adalah instrumen kebijakan publik. Oleh karena itu, Amerika Serikat memiliki OMB yang melekat pada presiden. Di Indonesia, proses penganggaran berjalan dalam orbit terpisah, sehingga sinkronisasi antara rencana dan anggaran kerap lemah.
Keempat, pengendalian pemerintahan dan pembangunan. Eksekusi adalah titik paling rawan. Inggris—melalui Prime Minister’s Delivery Unit—mampu mendorong implementasi lintas kementerian. Indonesia pernah mencoba UKP4 dan kemudian KSP, tetapi keduanya belum menjadi mesin delivery yang stabil dan sistematis.
Kelima, kebijakan publik. Presiden memerlukan policy office yang menghasilkan analisis independen lintas sektor, berbasis data, dan tidak tersandera perspektif sektoral. Di banyak negara, unit ini berada di jantung executive office. Amerika, misalnya, mempunyai West Wing, yang kemudian dilengkapi oleh OIRA (Office of Information and Regulatory Affairs).
Kelima fungsi ini bukan soal menambah birokrasi; justru menata ulang fungsi kritis agar presiden tidak berjalan sendirian. Tanpa kelima fungsi ini, presiden—dalam praktiknya—akan bekerja pada ruang informasi yang sempit, koordinasi yang terpotong-potong, dan eksekusi yang inkonsisten.
Sebagai pelengkap, organisasi dan kantor wakil presiden perlu menyatu dengan organisasi dan kantor presiden, sehingga tidak ada duplikasi, bahkan potensi rivalitas antara kantor kepresidenan dan kantor kewakil-presidenan. Wakil presiden berkantor segedung dengan Presiden, demikian pula tidak ada lagi kantor sekretariat wakil presiden.
Mencegah Repetisi SejarahSejarah politik Indonesia menunjukkan satu pola yang berulang: presiden membawa visi, tetapi organisasi kepresidenannya tidak cukup kuat untuk menerjemahkan visi itu menjadi hasil nyata. Publik kemudian menilai presiden gagal, padahal yang sesungguhnya gagal adalah mesin organisasi, bukan semata-mata figurnya.
Kini, Presiden Prabowo memulai masa pemerintahannya dengan tantangan besar. Indonesia semakin kompleks, risiko semakin cepat, dan harapan publik semakin tinggi. Dalam konteks seperti itu, membangun executive office yang kuat bukan lagi pilihan, melainkan prasyarat dasar kepemimpinan negara.
Drucker mengingatkan, organisasi harus diarahkan untuk melakukan pekerjaan yang benar, bukan pekerjaan yang banyak. Prinsip ini berlaku bagi perusahaan, berlaku pula bagi negara. Presiden adalah pemimpin organisasi besar bernama Republik Indonesia.
Untuk mengubah visi menjadi hasil, ia membutuhkan mesin manajemen yang andal, kuat, terintegrasi, dan, tentu saja, profesional –bukan partisan. Tanpa itu, visi akan tetap menjadi visi dan presiden akan kembali bekerja sendirian.
Drucker mengingatkan, organisasi harus dikelola untuk melakukan pekerjaan yang benar, bukan pekerjaan yang banyak. Presiden Prabowo—seperti para pendahulunya—membutuhkan executive office yang andal, yang mampu memastikan ritme kerja, perencanaan, anggaran, eksekusi, dan kebijakan bergerak dalam satu tarikan napas.
Dengan itu, presiden akan jauh lebih efektif, visi kepemimpinan lebih dapat dicapai. Tanpa mesin manajemen yang kuat, visi akan tinggal visi karena presiden kembali bekerja sendirian.





