Jakarta: Ancaman Jakarta tenggelam bukan lagi sekadar istilah. Fenomena penurunan muka tanah yang terus terjadi, terutama di wilayah pesisir Jakarta Utara, kini masuk kategori darurat. Data menunjukkan, Jakarta Utara telah mengalami penurunan tanah hingga 2,5 meter atau rata-rata 25 sentimeter per tahun. Jika kondisi ini terus berlanjut, diperkirakan sekitar 95 persen wilayah Jakarta Utara berpotensi terendam air laut pada 2050.
Penurunan muka tanah tak hanya terjadi di Jakarta Utara. Sejumlah wilayah lain di Ibu Kota juga mengalami kondisi serupa, meski dengan laju yang berbeda. Namun Jakarta Utara menjadi kawasan paling rentan karena posisinya yang berada di pesisir dan berhadapan langsung dengan laut.
Salah satu titik yang terdampak adalah kawasan elit Pantai Mutiara, Pluit. Di wilayah ini, ketinggian air laut kini bahkan sudah melampaui daratan. Tanggul yang membatasi laut dan permukiman warga terlihat terus mengalami peninggian seiring naiknya muka air laut. Kondisinya pun memprihatinkan, dengan sejumlah retakan dan tanda korosi pada struktur beton.
Penelusuran Metro TV di lokasi menunjukkan, tanggul di Pantai Mutiara memiliki tinggi sekitar 1,5 meter dengan jarak hanya sekitar 50 meter dari permukiman terdekat. Di sisi laut, tidak terdapat pemecah ombak atau lapisan batu pelindung, sehingga beton tanggul langsung menerima tekanan gelombang laut. Kondisi ini memicu kekhawatiran warga jika sewaktu-waktu tanggul jebol, seperti yang pernah terjadi beberapa tahun lalu.
Warga setempat, Kevin, menjelaskan tanggul tersebut dibangun dan ditinggikan secara bertahap oleh pihak pengembang. Awalnya, tanggul hanya setinggi daratan. Namun seiring naiknya permukaan air laut, penambahan ketinggian dilakukan beberapa kali, terakhir sekitar tahun 2020-an. Hingga kini, warga mengaku belum ada peninggian lanjutan dari pemerintah di kawasan tersebut, meski berharap proyek pengendalian banjir pantai bisa diperluas hingga ke sisi timur dan barat Pantai Mutiara.
Ancaman serupa juga dirasakan warga Muara Angke, Jakarta Utara. Di kawasan ini, banjir rob telah menjadi bagian dari keseharian warga, terutama saat air laut pasang. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta saat ini tengah membangun tanggul beton sebagai upaya mitigasi. Tanggul dengan tinggi sekitar satu meter itu direncanakan membentang sepanjang 1,4 kilometer.
Namun pembangunan tersebut belum rampung dan memunculkan kekhawatiran baru bagi warga. Selain akses keluar-masuk permukiman yang menjadi terbatas, warga juga khawatir jika sistem gorong-gorong yang direncanakan tidak dikelola dengan baik, justru akan memicu genangan akibat sampah yang menyumbat aliran air.
Kondisi tanggul di wilayah lain pun tak sepenuhnya aman. Menjelang akhir tahun, tanggul di kawasan Muara Baru dilaporkan mengalami kebocoran di sejumlah titik sepanjang 500 meter. Rembesan tersebut diduga akibat korosi struktur beton serta tekanan tinggi air laut, terutama saat gelombang tinggi dan cuaca ekstrem.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memastikan upaya pengendalian banjir pantai akan terus dilanjutkan. Gubernur Jakarta Pramono Anung menyatakan pembangunan proyek National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) akan berlanjut pada 2025–2026, termasuk sejumlah segmen tanggul di kawasan Ancol Barat, Muara Angke, dan wilayah pesisir lainnya.
Sementara itu, peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Joko Widodo, menegaskan penurunan muka tanah di Jakarta Utara telah memasuki tahap darurat. Menurutnya, faktor utama penyebab amblesan adalah eksploitasi air tanah yang berlebihan, baik untuk kebutuhan domestik maupun industri.
Jika laju penurunan tanah terus terjadi secara konstan, wilayah dengan ketinggian hanya satu meter di atas permukaan laut berpotensi tergenang dalam waktu 10 hingga 20 tahun ke depan. Meski laju amblesan bersifat dinamis, tren yang terjadi saat ini menunjukkan ancaman yang semakin nyata.
Air laut yang kian sering masuk ke permukiman warga seharusnya menjadi alarm peringatan bagi semua pihak. Tanpa upaya serius dan berkelanjutan, Jakarta bukan hanya menghadapi banjir rob, tetapi juga risiko tenggelam secara perlahan. Waktu menjadi faktor krusial untuk menentukan apakah Ibu Kota mampu bertahan, atau justru kalah oleh naiknya laut dan turunnya daratan.
(Farouq Faza Bagjawan Alnanto)



