Di tengah ramainya informasi, saat ini dunia dipenuhi oleh banyak suara — namun semakin sedikit tempat untuk mendengarkan. Kita hidup di masa di mana semua orang merasa harus berbicara, tetapi jarang ada yang ingin merenungkan. Di platform media sosial, diskusi yang tidak ada habisnya tentang agama, politik, dan moral seringkali membuat kita melupakan satu hal yang sangat penting: berpikir dengan pikiran yang tenang.
Islam, sejak awalnya, selalu menggabungkan akal dan iman. Keduanya bagaikan dua sayap yang membantu manusia untuk mencapai kebenaran. Namun, di zaman modern yang ramai ini, sering kali keduanya dianggap bertentangan — seolah-olah berpikir itu menjauh dari iman, dan beriman itu berarti tidak mau berpikir.
Padahal, Al-Qur’an sendiri berkali-kali menyeru manusia untuk menggunakan akalnya. Allah berfirman:
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”
(QS. Ar-Rum [30]: 24)
Ayat ini bukan sekadar seruan intelektual, tetapi panggilan spiritual. Islam tidak hanya mengajarkan bagaimana berpikir, tetapi bagaimana menjernihkan pikiran. Sebab, berpikir tanpa hati yang bersih akan berujung pada kesombongan, sedangkan iman tanpa pemikiran akan mudah tergelincir ke fanatisme.
Imam Al-Ghazali, dalam bukunya Ihya' Ulumuddin, mengatakan, "Akal itu suatu karunia, tetapi harus mengikuti petunjuk wahyu. " Pesan ini sangat sederhana tetapi bermakna: akal itu seperti alat, bukan hal yang utama. Tanpa petunjuk dari wahyu, akal bisa salah arah; tetapi tanpa akal, wahyu tidak bisa dimengerti dengan baik.
Sementara itu, Ibn Rusyd — seorang pemikir dari Andalusia — memiliki pandangan yang adil. Dalam bukunya yang bernama Tahafut at-Tahafut, ia menulis, “Kebenaran tidak akan bertentangan dengan kebenaran; keduanya berasal dari satu sumber, yaitu Allah. ” Menurutnya, berpikir adalah cara untuk beribadah. Ia tidak menganggap logika sebagai musuh wahyu, tetapi sebagai cermin yang memantulkan cahaya dari kebenaran Tuhan.
Kedua tokoh terkenal ini, Al-Ghazali dan Ibn Rusyd, sering dianggap sebagai dua pihak yang bertentangan. Namun sebenarnya, mereka saling mendukung satu sama lain. Al-Ghazali fokus pada tazkiyatun nafs — membersihkan hati supaya pikiran menjadi lebih jelas. Sementara itu, Ibn Rusyd menekankan pada nadzar dan istidlal — berpikir mendalam dan berdiskusi agar keyakinan semakin kuat.
Keduanya ingin menyampaikan pesan yang serupa tetapi dengan cara yang berbeda: bahwa orang-orang yang sebenarnya adalah mereka yang bisa menyeimbangkan pikiran dan keyakinan.
Sayangnya, di zaman sekarang, kita lebih sering menghargai kecepatan daripada kedalaman. Kita menginginkan jawaban yang cepat, bukan pemahaman yang mendalam. Kita membaca dengan cepat, berkomentar dengan cepat, dan bahkan merasa marah juga dengan cepat. Dalam keadaan seperti ini, kebijaksanaan Islam terasa semakin terabaikan — meskipun sebenarnya di situlah kita bisa menemukan solusi untuk masalah kebudayaan.
Hikmah, dalam pandangan Islam, tidak hanya berarti "kebijaksanaan" secara intelektual. Ia mencakup keseimbangan antara akal dan hati, antara ilmu pengetahuan dan kesadaran rohani. Seperti yang disebutkan dalam QS. Al-Baqarah [2]: 269:
“Allah menganugerahkan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan barang siapa dianugerahi hikmah, sungguh dia telah diberi karunia yang banyak.”
Hikmah bukanlah hasil dari banyaknya buku yang dibaca, tetapi dari banyaknya waktu untuk merenung. Hikmah muncul ketika pikiran kita menerima kebenaran, bukan saat kita mengikuti ego kita.
Mungkin ini adalah pelajaran terpenting dari Islam untuk zaman sekarang: berpikir bukan hanya soal proses berpikir, tetapi juga merupakan latihan untuk jiwa. Pikiran yang jernih berasal dari hati yang bersih.
Jika dunia sekarang terlalu sibuk mencari arti dengan bantuan teknologi, maka Islam mengajak kita untuk melihat ke dalam diri kita sendiri — ke tempat di mana pikiran dan iman bisa berbicara dengan tenang.
Dan di situlah hikmah sejati tinggal: dalam keheningan, bukan di tengah kebisingan.
Kesimpulan
Di zaman yang bising ini, umat Islam perlu melahirkan lebih banyak pemikir seperti Ghazali dan pendukung iman seperti Ibn Rusyd — generasi yang berani berpikir karena keyakinan mereka kuat, dan tidak takut beriman karena pemikiran mereka jelas.


