“JOHN Marshall has made his decision; now let him enforce it.” Kalimat ini—kendati kerap disebut apokrif—sering dipakai untuk menggambarkan momen ketika putusan pengadilan diuji bukan oleh argumennya, melainkan oleh “kesediaan” kekuasaan lain untuk mematuhinya.
Dalam negara hukum, ujiannya sebetulnya hadir ketika palu diketuk: putusan yang semestinya menjadi kompas bersama, bukan cuma arsip yang dibacakan lalu ‘dikangkangi’.
Rasa-rasanya, gema persoalan demikian pun terasa di Indonesia, ketika Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2025 (Perpol 10/2025) terbit di tengah momentum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-XXIII/2025 (Putusan MK 114/2025), yang merupakan oase.
Baru-baru ini, MK mencabut “pegangan” yang selama ini menjadi jalan pintas penempatan polisi aktif di jabatan sipil, dengan menyatakan frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri sejatinya bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pun, persoalan ini tidak bisa diremehkan dan dianggap cuma perdebatan administratif; melainkan problematika pola pikir institusi penegak hukum yang memperlakukan Konstitusi—melalui putusan MK—secara serampangan dan ugal-ugalan.
Baca juga: Kritis Integritas: Pembangkangan Polri atas Putusan MK
var endpoint = 'https://api-x.kompas.id/article/v1/kompas.com/recommender-inbody?position=rekomendasi_inbody&post-tags=putusan MK, perpol 10 2025&post-url=aHR0cHM6Ly9uYXNpb25hbC5rb21wYXMuY29tL3JlYWQvMjAyNS8xMi8xNi8wNTMyMDczMS9oYWJpcy1wdXR1c2FuLW1rLTExNC10ZXJiaXRsYWgtcGVycG9sLTEwLTIwMjU=&q=Habis Putusan MK 114, Terbitlah Perpol 10/2025§ion=Nasional' var xhr = new XMLHttpRequest(); xhr.addEventListener("readystatechange", function() { if (this.readyState == 4 && this.status == 200) { if (this.responseText != '') { const response = JSON.parse(this.responseText); if (response.url && response.judul && response.thumbnail) { const htmlString = `Perpol 10/2025 sejatinya layak “diteropong” sebagai peristiwa ketatanegaraan—bukan semata-mata produk internal kepolisian—karena ini menyangkut “wibawa” Putusan MK (yang sifatnya erga omnes serta final and binding).
“Cacat" logika Polri dan constitutional disobedienceSejatinya, Perpol 10/2025 sangat mengganggu karena ini memperlihatkan satu hal yang sayangnya terjadi pada Polri: Putusan MK yang ‘dikangkangi’, padahal wajib ditaati. Tentu hal ini (seolah) mengisyaratkan bahwa Polri menempatkan Konstitusi sebagai formalitas.
Jika ditelaah, Putusan MK 114/2025 “meluruskan cara pembacaan” Pasal 28 ayat (3) UU Polri, yakni anggota Polri cuma bisa menduduki jabatan di luar kepolisian pasca-mengundurkan diri atau pensiun.
Kemudian, MK membatalkan “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri karena frasa ini tidak memperjelas norma, malah membuatnya kabur dan melahirkan ketidakpastian hukum.
Padahal, secara logika sehat sebetulnya sederhana, jika “penugasan Kapolri” sebagai ‘jalan pintas’ sudah ditutup oleh MK—melalui putusannya—maka kebijakan internal Polri semestinya berputar arah; bukan malah menerbitkan Perpol yang dangkal dan bermasalah.
Di sinilah “cacat logika” itu tampak jelas: seolah persoalan dapat diselesaikan dengan mengganti bungkus.
Putusan MK memang membatalkan “penugasan Kapolri” sebagai alasan pembenar, tetapi Perpol 10/2025 menghidupkan kembali mekanisme yang—dalam praktik—menghasilkan akibat serupa melalui jalur yang lebih rapi: ada “permintaan instansi”, lalu diproses, diseleksi, kemudian ditetapkan lewat keputusan/penugasan, lengkap dengan surat perintah.
Istilahnya berubah, alurnya dipoles, tetapi muaranya tetap: anggota Polri aktif dapat berada di jabatan luar tanpa alih status yang tegas.
Lebih problematisnya lagi, Perpol 10/2025 menambahkan pembenar yang terdengar membatasi, tetapi sebenarnya elastis: jabatan yang dapat diisi adalah jabatan yang “memiliki keterkaitan dengan fungsi kepolisian” berdasarkan permintaan instansi.
Frasa “keterkaitan” ini selayaknya pagar yang terbuat dari karet: tampak ada batas, tetapi mudah ditarik ke mana-mana.
Baca juga: Pemerintah Abai Reformasi Polri





