Jakarta, VIVA – Ketua Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Budi Herawan menyoroti ketimpangan signifikan antara nilai perlindungan asuransi dan besaran kerugian akibat banjir bandang serta tanah longsor yang melanda sejumlah wilayah di Sumatera.
Budi mengungkapkan, berdasarkan estimasi awal pemerintah, kebutuhan anggaran untuk pemulihan infrastruktur dasar akibat bencana tersebut mencapai Rp51 triliun. Nilai itu jauh melampaui estimasi awal klaim yang dilaporkan oleh perusahaan asuransi umum, yang baru mencapai Rp567,02 miliar.
“Kondisi ini menunjukkan bahwa sebagian besar risiko bencana masih belum terlindungi oleh asuransi,” ucap Budi dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (16/12/2025).
Ia menilai kondisi tersebut menjadi tantangan bersama bagi seluruh pemangku kepentingan di sektor perasuransian. Menurutnya, diperlukan upaya serius untuk meningkatkan literasi masyarakat sekaligus mendorong inklusi dan penetrasi produk asuransi bencana di Indonesia.
Untuk mengatasi ketimpangan perlindungan tersebut, AAUI menekankan pentingnya penerapan asuransi wajib bencana sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK).
Budi menyampaikan, AAUI mengusulkan penerapan skema asuransi berbasis parametrik. Skema ini memungkinkan pembayaran klaim dilakukan secara cepat berdasarkan parameter indeks tertentu, seperti curah hujan atau kekuatan gempa.
Ia menjelaskan, asuransi parametrik tidak memerlukan proses survei kerugian yang memakan waktu lama, sehingga dinilai sangat sesuai untuk kebutuhan penanganan darurat pascabencana.
Selain itu, Budi menuturkan bahwa polis asuransi harta benda standar yang berlaku saat ini pada dasarnya telah menjamin risiko banjir dan angin topan, selama terdapat perluasan jaminan melalui Klausula 43 A.
Klausul tersebut berbunyi, “pertanggungan ini diperluas untuk menjamin kerusakan pada atau kemusnahan dari harta benda yang dipertanggungkan sebagai akibat satu atau lebih dari risiko-risiko berikut: i) Banjir, ii) Angin topan dan/atau badai, iii) Kerusakan akibat air”.
“Terkait dengan angin topan, AAUI juga mencatat bahwa berdasarkan informasi dari BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika), kecepatan angin pada kejadian (bencana di Sumatera) ini telah memenuhi kriteria angin topan dengan kecepatan di atas 30 knot, sebagaimana lazim digunakan dalam praktik perasuransian,” jelas Budi.





