UNGKAPAN “lebih baik capek bekerja daripada capek cari kerja” yang belakangan viral sesungguhnya menyimpan kegelisahan sosial yang jauh lebih dalam.
Ia bukan sekadar keluhan individual, melainkan cerminan ketimpangan struktural dalam sistem ketenagakerjaan sekaligus dalam pengisian jabatan publik di Indonesia.
Di satu sisi, jutaan warga negara—terutama generasi muda—mengalami kelelahan berlapis dalam mencari pekerjaan.
Proses rekrutmen panjang, persyaratan yang terus meninggi, upah stagnan, serta ketidakpastian masa depan menjadikan mencari kerja sebagai beban psikologis dan sosial yang nyata.
Bekerja keras bahkan dimulai sejak sebelum seseorang benar-benar memperoleh pekerjaan.
Namun di sisi lain, publik menyaksikan fenomena berlawanan. Jabatan-jabatan strategis negara justru relatif mudah diraih oleh lingkar elite yang sama, bahkan melalui praktik rangkap jabatan yang berlangsung secara terbuka dan kian dinormalisasi.
var endpoint = 'https://api-x.kompas.id/article/v1/kompas.com/recommender-inbody?position=rekomendasi_inbody&post-tags=pengangguran, rangkap jabatan&post-url=aHR0cHM6Ly9uYXNpb25hbC5rb21wYXMuY29tL3JlYWQvMjAyNS8xMi8xNi8xMTAwNDU1MS9hbnRhcmEtY2FwZWstY2FyaS1rZXJqYS1kYW4tY2FwZWstbWVsaW1wYWgtamFiYXRhbg==&q=Antara Capek Cari Kerja dan Capek Melimpah Jabatan§ion=Nasional' var xhr = new XMLHttpRequest(); xhr.addEventListener("readystatechange", function() { if (this.readyState == 4 && this.status == 200) { if (this.responseText != '') { const response = JSON.parse(this.responseText); if (response.url && response.judul && response.thumbnail) { const htmlString = `Berdasarkan pemantauan Migrant Watch, ada kecenderungan meluasnya praktik rangkap jabatan pada posisi komisaris BUMN, kementerian, dan lembaga negara.
Kursi-kursi strategis tersebut berulang kali diisi oleh elite politik, aparatur sipil negara (ASN), hingga unsur Polri, sering kali secara bersamaan.
Dalam praktiknya, seorang elite dapat menduduki lebih dari satu posisi komisaris di BUMN yang berbeda.
Tidak jarang pula pejabat politik yang masih aktif di kementerian atau lembaga negara sekaligus mengisi jabatan komisaris.
Baca juga: Alarm Akhir 2025: Satu dari Tujuh Anak Muda Pengangguran
Kondisi ini menunjukkan akses terhadap jabatan publik tidak terdistribusi secara adil, melainkan berputar pada lingkar kekuasaan yang relatif tertutup.
Publik sejatinya telah lama menyuarakan keberatan dan melakukan protes keras terhadap praktik tersebut. Salah satu contohnya adalah penolakan publik terhadap wakil menteri yang merangkap jabatan sebagai komisaris BUMN.
Mahkamah Konstitusi kemudian menegaskan larangan rangkap jabatan tersebut sebagai bagian dari upaya menjaga prinsip tata kelola yang baik (good governance) serta mencegah konflik kepentingan.
Putusan tersebut menegaskan bahwa rangkap jabatan bukan persoalan administratif semata, melainkan isu serius dalam demokrasi dan administrasi negara.
Celakanya, praktik rangkap jabatan yang melibatkan unsur kepolisian justru menunjukkan eskalasi paling serius dari persoalan ini.
Fenomena yang kerap diasosiasikan sebagai dwifungsi Polri—yang secara tegas hendak diputus oleh Reformasi 1998—kini secara nyata mengabaikan dan melemahkan putusan Mahkamah Konstitusi, yang telah menegaskan bahwa penempatan anggota Polri aktif pada jabatan sipil bertentangan dengan prinsip supremasi sipil dan fondasi negara demokratis.
Namun, alih-alih meneguhkan putusan konstitusi tersebut, Kepolisian justru menerbitkan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025, yang secara normatif membuka kembali ruang penugasan anggota Polri aktif di kementerian dan lembaga sipil.
Kebijakan ini bukan sekadar persoalan administratif, melainkan tantangan langsung terhadap arsitektur konstitusional pascareformasi.
Persoalan rangkap jabatan tidak lagi berhenti pada tata kelola BUMN atau konflik kepentingan elite sipil, tetapi telah menyentuh batas paling fundamental dalam negara demokratis: pemisahan fungsi keamanan dan fungsi sipil.
Ketika aparat keamanan aktif diberi ruang menduduki jabatan sipil strategis, yang dipertaruhkan bukan hanya efektivitas birokrasi, melainkan arah demokrasi dan supremasi hukum.
Tidak mengherankan jika kebijakan ini menuai kritik luas. Kritik tersebut diarahkan bukan semata pada institusi kepolisian, melainkan pada negara yang membiarkan—bahkan memfasilitasi—kembalinya praktik kekuasaan berlapis yang telah ditolak oleh sejarah reformasi.
Dalam konteks pemerataan kerja, praktik ini mempertegas bahwa jabatan publik kian menjadi privilese kekuasaan, bukan ruang pengabdian yang terbuka secara setara bagi warga negara.
Lebih jauh, kondisi ini memperkuat kesan bahwa akses terhadap jabatan publik semakin terkonsentrasi pada aparatus negara dan elite kekuasaan, sementara ruang kerja dan mobilitas sosial bagi warga negara biasa justru semakin menyempit.
Ketimpangan ini pada akhirnya tidak hanya berdampak pada kualitas tata kelola, tetapi juga pada keadilan kesempatan dan kepercayaan publik.
Fenomena tersebut menimbulkan pertanyaan serius mengenai independensi, efektivitas pengawasan, serta keadilan akses terhadap jabatan publik—pertanyaan yang semakin relevan di tengah sulitnya masyarakat memperoleh pekerjaan yang layak.
Dalam konteks inilah, ungkapan “lebih baik capek bekerja daripada capek cari kerja” tidak lagi terdengar sebagai sekadar kelakar atau motivasi. Ia menjelma menjadi ironi sosial—suara kelelahan kolektif dari mereka yang berjuang di hilir sistem, sementara di hulunya, jabatan dan kekuasaan terus berputar di lingkar yang sama.
Baca juga: Kritis Integritas: Pembangkangan Polri atas Putusan MK
Jika ketimpangan ini terus dinormalisasi, maka yang terancam bukan hanya keadilan kesempatan kerja, melainkan kepercayaan publik terhadap negara dan institusi-institusinya.


:quality(80):format(jpeg)/posts/2025-12/15/featured-968bdccef7d992205c608bccb20ee7e3_1765806526-b.jpg)


