Jakarta, VIVA – Anggapan bahwa konsumsi BBM irit hanya bisa dicapai lewat teknologi hybrid atau elektrifikasi kini mulai terpatahkan. Sejumlah pabrikan membuktikan mesin konvensional masih mampu menorehkan efisiensi setara mobil ramah lingkungan generasi baru.
Salah satu contoh terbaru datang dari Tata Motors lewat SUV terbarunya, Tata Sierra. Disadur VIVA Otomotif dari NDTV, Senin 15 Desember 2025, mobil ini mencatatkan konsumsi bahan bakar 29,9 kilometer per liter, angka yang selama ini identik dengan kendaraan hybrid.
Pencapaian tersebut diraih dalam uji efisiensi bersertifikasi yang berlangsung selama 12 jam nonstop. Pengujian dilakukan di sirkuit pembuktian Natrax, Indore, dengan prosedur ketat dan pengawasan penuh.
Menariknya, Tata Sierra tidak mengandalkan sistem elektrifikasi sama sekali. SUV ini menggunakan mesin bensin murni berkapasitas 1.5 liter yang dikembangkan lewat pendekatan teknologi pembakaran modern.
Mesin tersebut dikenal sebagai Hyperion, platform baru Tata yang dirancang fokus pada efisiensi termal. Struktur internalnya dioptimalkan untuk menekan gesekan sekaligus memaksimalkan proses pembakaran.
Hasilnya, konsumsi BBM bisa ditekan tanpa mengorbankan performa dasar kendaraan. Dalam pengujian terpisah, Sierra bahkan mampu melaju hingga kecepatan 222 km/jam di lintasan tertutup.
Meski begitu, Tata menegaskan bahwa versi produksi untuk konsumen akan dibatasi secara elektronik. Kecepatan maksimalnya dikunci di angka 190 km/jam demi faktor keamanan dan durabilitas mesin.
Fenomena ini menunjukkan bahwa inovasi mesin konvensional belum mencapai titik akhir. Dengan rekayasa yang tepat, mesin bensin masih memiliki ruang besar untuk berkembang.
Dari sisi konsumen, pendekatan ini menjadi solusi menarik di tengah harga mobil hybrid yang relatif mahal. Efisiensi tinggi bisa dirasakan tanpa tambahan biaya teknologi baterai dan motor listrik.
Selain itu, karakter berkendara mobil bermesin konvensional tetap terjaga. Pengemudi tidak perlu beradaptasi dengan sistem baru atau kebiasaan pengisian daya.
Di tengah transisi menuju elektrifikasi, strategi ini bisa menjadi jembatan yang realistis. Konsumen tetap mendapatkan efisiensi, sementara industri memiliki waktu beradaptasi.



