Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengungkapkan bahwa eks Mendikbudristek, Nadiem Makarim, menerima keuntungan sebesar Rp 809 miliar dari pengadaan laptop Chromebook di Kemendikbudristek.
Adapun Nadiem merupakan salah satu terdakwa dalam kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook tersebut yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 2,18 triliun.
Mengenai keuntungan yang didapat Nadiem itu terungkap dalam surat dakwaan Direktur Sekolah Dasar Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah tahun 2020-2021, Sri Wahyuningsih.
Sidang dakwaan Sri digelar bersamaan dengan dua terdakwa lainnya, yakni eks konsultan Kemendikbudristek, Ibrahim Arief, dan eks Direktur SMP Kemendikbudristek, Mulyatsyah. Sidang berlangsung di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (16/12).
Sementara itu, Nadiem belum menjalani sidang dakwaan lantaran sakit dan masih harus menjalani perawatan di rumah sakit.
"Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yaitu Nadiem Anwar Makarim sebesar Rp 809.596.125.000," ujar jaksa membacakan surat dakwaan.
Jaksa menyebut, Sri Wahyuningsih bersama-sama dengan Nadiem Makarim, Ibrahim Arief, Mulyatsyah, serta Jurist Tan—yang masih buron—disebut melaksanakan pengadaan sarana pembelajaran berbasis teknologi informasi dan komunikasi berupa laptop Chromebook dan Chrome Device Management (CDM) tahun anggaran 2020, 2021, dan 2022.
Namun, hal itu dilakukan tidak sesuai dengan perencanaan pengadaan dan prinsip-prinsip pengadaan.
"Bahwa terdakwa Sri Wahyuningsih, bersama-sama dengan Nadiem Anwar Makarim, Ibrahim Arief alias Ibam, Mulyatsyah, dan Jurist Tan membuat review kajian dan analisa kebutuhan peralatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) pada program digitalisasi pendidikan," tutur jaksa.
"Yang mengarah pada laptop Chromebook yang menggunakan sistem operasi Chrome (Chrome OS) dan Chrome Device Management (CDM) tidak berdasarkan identifikasi kebutuhan pendidikan dasar dan menengah di Indonesia sehingga mengalami kegagalan khususnya di daerah 3T (terluar, tertinggal, terdepan)," papar jaksa.
Jaksa menyebut, Sri Wahyuningsih dkk kemudian menyusun harga satuan dan alokasi anggaran tahun 2020 tanpa dilengkapi survei dengan data pendukung yang dapat dipertanggungjawabkan dalam penganggaran pengadaan laptop Chromebook tersebut.
Adapun hal itu juga dijadikan acuan oleh Sri Wahyuningsih dkk dalam penyusunan harga satuan dan alokasi anggaran pada tahun 2021 dan 2022.
"Terdakwa Sri Wahyuningsih bersama-sama dengan Nadiem Anwar Makarim, Mulyatsyah, dan Jurist Tan melakukan pengadaan laptop Chromebook pada Kemendikbud melalui e-katalog maupun aplikasi Sistem Informasi Pengadaan Sekolah (SIPLah) tahun 2020, 2021 dan tahun 2022 tanpa melalui evaluasi harga melaksanakan pengadaan laptop Chromebook dan tidak didukung dengan referensi harga," ungkap jaksa.
Lewat pengadaan tersebut, laptop Chromebook justru tidak bisa digunakan secara optimal di daerah 3T karena pengoperasiannya yang membutuhkan jaringan internet. Sementara itu, jaringan internet sulit didapat di daerah 3T.
Perbuatan Sri Wahyuningsih dkk itu disebut mengakibatkan kerugian keuangan negara mencapai Rp 2.189.276.341.446,74 atau sekitar Rp 2,18 triliun.
Rinciannya yakni biaya kemahalan harga Chromebook sebesar Rp 1.567.888.662.719,74 dan pengadaan Chrome Device Management (CDM) yang tidak diperlukan dan tidak bermanfaat sebesar USD 44.054.426 atau setara kurang lebih Rp 621.387.678.730.
Selain Nadiem, pihak lainnya yang turut diperkaya lewat pengadaan Chromebook tersebut yakni:
Mulyatsyah sebesar SGD 120.000 dan USD 150.000;
Harnowo Susanto sebesar Rp 300.000.000;
Dhany Hamiddan Khoir sebesar Rp 200.000.000 dan USD 30.000;
Purwadi Sutanto sebesar USD 7.000;
Suhartono Arham sebesar USD 7.000;
Wahyu Haryadi sebesar Rp 35.000.000;
Nia Nurhasanah sebesar Rp 500.000.000;
Hamid Muhammad sebesar Rp 75.000.000;
Jumeri sebesar Rp 100.000.000;
Susanto sebesar Rp 50.000.000;
Muhammad Hasbi sebesar Rp 250.000.000;
Mariana Susy sebesar Rp 5.150.000.000;
PT Supertone (SPC) sebesar Rp 44.963.438.116,26;
PT Asus Technology Indonesia (ASUS) sebesar Rp 819.258.280,74;
PT Tera Data Indonesia (AXIOO) sebesar Rp 177.414.888.525,48;
PT Lenovo Indonesia (Lenovo) sebesar Rp 19.181.940.089,11;
PT Zyrexindo Mandiri Buana (Zyrexx) sebesar Rp 41.178.450.414,25;
PT Hewlett-Packard Indonesia (Hp) sebesar Rp 2.268.183.071,41;
PT Gyra Inti Jaya (Libera) sebesar Rp 101.514.645.205,73;
PT Evercoss Technology Indonesia (Evercross) sebesar Rp 341.060.432,39;
PT Dell Indonesia (Dell) sebesar Rp 112.684.732.796,22;
PT Bangga Teknologi Indonesia (Advan) sebesar Rp 48.820.300.057,38;
PT Acer Indonesia (Acer) sebesar Rp 425.243.400.481,05; dan
PT Bhinneka Mentari Dimensi sebesar Rp 281.676.739.975,27.
Atas perbuatannya, Sri Wahyuningsih dkk didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Belum ada keterangan dari Nadiem mengenai keterangan dalam dakwaan yang menyebutkan dia mendapat keuntungan lebih dari Rp 800 miliar itu. Sementara pengacaranya menyebut isi dakwaan tak sesuai dengan fakta.



