PPATK memeriksa dan menganalisis transaksi terkait bisnis sumber daya alam seperti perkebunan sawit, tambang batubara, tambang nikel, tambang timah, hingga tambang emas. Hasilnya, didapat simpulan bahwa masifnya transaksi selalu berbanding lurus dengan masifnya kerusakan sumber daya alam.
"Kalau dilihat masifnya transaksi itu berbanding lurus dengan masifnya kerusakan alam," kata Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana, di Kantor PPATK pada Selasa (16/12).
Di Sumatera yang baru-baru ini terjadi bencana, Ivan mencontohkan perputaran uang dari transaksi bisnis sumber daya alam mencapai angka Rp 36 triliun. Dari angka itu, nominal yang terkait dengan tindak pidana mencapai Rp 11 triliun.
"Perputaran dana dari 2022 sampai 2025 itu sampai Rp 36 triliun sekian. Nominal tindak pidananya yang terkait dengan HA (Hasil Analisis) dan HP (Hasil Pemeriksaan) PPATK itu Rp 11 triliun," kata Ivan.
"Perputaran dananya Rp 36 triliun, nominal tindak pidananya itu Rp 11 triliun," ucap dia.
Dari analisis yang dilakukan pula, sambung Ivan, para pebisnis biasanya memulai bisnisnya dengan mendapat pinjaman dari bank. Setelah mendapat pinjaman yang dijadikan sebagai modal, pebisnis lalu mendapatkan keuntungan dan uang dilarikan ke luar negeri.
"Jadi ketika PPATK lihat amati transaksinya, dia mendapatkan kredit, dijadikan modal kerja investasi, lalu lakukan eksplorasi, lalu kemudian uangnya lari keluar," jelas dia.
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan oleh PPATK, Ivan mengajak semua pihak untuk bahu-membahu menjaga sumber daya alam Indonesia sebagaimana arahan Presiden, Prabowo Subianto.
"Ini sesuai dengan amanat Bapak Presiden, khususnya terkait dengan Pasal 33 dan Asta Cita, lalu kemudian Indonesia Emas 2045," kata dia.



