Skema tadpole yang dijalankan di industri pinjaman daring (pindar) mengharuskan peminjam membayar cicilan lebih besar diawal. Masyarakat yang menggunakan skema tersebut dinilai karena benar-benar terdesak, membutuhkan uang segera untuk menutup kebutuhan darurat seperti keluarga sakit atau biaya pendidikan anak.
Kondisi tersebut berdasarkan hasil riset yang dilakukan Segara Institute mengenai potret sumber pembiayaan dan perilaku peminjam di Indonesia yang dilaksanakan pada Juni sampai Juli 2025. Survei ini dilakukan di 20 daerah dengan total 2.118 responden dari berbagai latar belakang usia, pekerjaan, dan tingkat pendidikan.
Survei itu menggambarkan kalau tadpole dalam beberapa kasus menunjukkan porsi terbesar di awal tidak hanya terjadi dari sisi jumlah pembayaran, tetapi juga frekuensi pembayaran yang lebih sering. Sehingga tekanan cicilan lebih berat pada awal tenor.
Dalam skema tadpole, skema cicilan dengan beban besar di awal bisa membuat biaya efektif bagi peminjam menjadi 3 sampai 4 kali lebih tinggi, meski suku bunga flat terlihat sama. Pola ini berpotensi menyesatkan peminjam, khususnya yang mempunyai literasi keuangan terbatas.
Keluhan mengenai tadpole juga bermunculan di media sosial. Netizen, khususnya di platform media sosial TikTok menyampaikan skema pembayaran itu dianggap memberatkan karena di awal harus membayar cicilan sampai 70 persen.
Anggota Komisi XI DPR, Puteri Komarudin, merespons mengenai praktik tadpole di industri pindar tersebut. Menurutnya, hasil survei dari Segara Institute dan yang disampaikan masyarakat mengenai tadpole itu bisa menjadi bahan masukan, khususnya terkait bagaimana industri menjamin transparansi dan pelindungan konsumen.
"Hal ini tentu sudah menjadi perhatian kami. Dan, kami mendorong Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mengkaji secara mendalam terkait praktik skema ini. Oleh sebab itu, skema yang diterapkan pada industri pinjaman daring harus terwujud keseimbangan antara kepentingan pelindungan konsumen. Sekaligus, menjaga keberlangsungan industri pindar," ungkap Puteri saat dihubungi.
Puteri menegaskan perlu hati-hati dalam mengambil langkah penerapan tadpole supaya konsumen juga tidak dirugikan. Ia menilai cicilan yang terlampau besar di awal tentu akan memberatkan bagi konsumen.
"Karenanya, kami dorong OJK meninjau secara detail dan berimbang. Termasuk meninjau seberapa besar tingkat gagal bayar yang diakibatkan dari skema ini," ujar Puteri.
Di tengah proses tersebut, Puteri menilai yang tidak kalah penting juga adalah upaya meningkatkan literasi keuangan masyarakat pada industri pindar. Ia menyebut saat ini literasi di pindar baru 24,90 persen. Putri mengatakan apabila literasinya baik, maka konsumen bakal lebih memahami, khususnya mengenai skema cicilan yang diambil.
"Dengan peningkatan literasi ini, tentu akan membantu konsumen lebih jeli terkait berbagai skema cicilan yang akan diterapkan pada industri pindar. Sekaligus, membantu untuk terhindar dari pinjol ilegal," tutur Puteri.
Edukasi ke Konsumen Harus DiperkuatKetua Bidang Humas Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), Kuseryansah, mengatakan tadpole adalah evolusi dari produk cicilan pendek yang sudah ada sejak bertahun-tahun. Namun, ia mengakui inovasi itu memang harus terus diawasi. Kuseryansah memahami ada kekhawatiran terkait pelindungan konsumen dalam penerapan tadpole.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui surat OJK Nomor: S-305/PL.12/2025 tentang Surat Pembinaan Atas Penerapan Skema Pembayaran Tadpole yang diterbitkan pada 12 September 2025 telah memberikan arahan untuk menghentikan skema tadpole karena berpotensi melanggar ketentuan manfaat ekonomi bila dihitung secara harian.

:strip_icc()/kly-media-production/medias/5444754/original/038689100_1765787357-WhatsApp_Image_2025-12-15_at_12.25.12.jpeg)



