REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Chief Economist PT Bank Central Asia Tbk (BCA) David Sumual mengingatkan adanya potensi bubble di pasar modal Amerika Serikat, khususnya pada sektor teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI). Ia menilai valuasi saham teknologi saat ini sudah menyerupai kondisi dotcom bubble awal 2000-an, ditambah konsentrasi pasar yang terlalu besar pada segelintir perusahaan.
“Yang juga mengkhawatirkan sebenarnya adalah bubble di pasar modal Amerika Serikat, serta risiko konsentrasi yang cukup tinggi. Rasio price to earnings (PE) dari S&P 500 itu sudah mirip kondisi saat dotcom bubble. Sekarang tujuh saham utama yang disebut magnificent seven sudah menguasai lebih dari 30 persen market cap dan sangat didominasi perusahaan yang terkait dengan AI,” jelas David saat bertemu media di Jakarta, Senin (15/12/2025).
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});- Ekonomi Indonesia 2026 Jadi Tahun Penentuan, Ini Kata Ekonom
- Dapur MBG Serap Pekerja Lokal, Menggerakkan Ekonomi Warga Sekitar
- RI–Uni Ekonomi Eurasia Siap Teken FTA, Perdagangan Ditargetkan Melonjak
Menurutnya, valuasi perusahaan AI di Amerika Serikat sudah sangat mahal. Jika price to earnings ratio (PER) di atas 50 dianggap tinggi di AS, maka kondisi saat ini menunjukkan harga saham yang tidak lagi mencerminkan fundamental. “Sampai sekarang para ekonom masih kebingungan, sebenarnya model bisnis perusahaan-perusahaan AI ini seperti apa. Kemungkinan dari subscription, tapi belum jelas,” ujarnya.
David mencontohkan fenomena round tripping atau circular deal yang kerap terjadi di sektor ini. Setiap kali ada pengumuman kerja sama atau investasi, harga saham langsung melonjak.
'use strict';(function(C,c,l){function n(){(e=e||c.getElementById("bn_"+l))?(e.innerHTML="",e.id="bn_"+p,m={act:"init",id:l,rnd:p,ms:q},(d=c.getElementById("rcMain"))?b=d.contentWindow:x(),b.rcMain?b.postMessage(m,r):b.rcBuf.push(m)):f("!bn")}function y(a,z,A,t){function u(){var g=z.createElement("script");g.type="text/javascript";g.src=a;g.onerror=function(){h++;5>h?setTimeout(u,10):f(h+"!"+a)};g.onload=function(){t&&t();h&&f(h+"!"+a)};A.appendChild(g)}var h=0;u()}function x(){try{d=c.createElement("iframe"), d.style.setProperty("display","none","important"),d.id="rcMain",c.body.insertBefore(d,c.body.children[0]),b=d.contentWindow,k=b.document,k.open(),k.close(),v=k.body,Object.defineProperty(b,"rcBuf",{enumerable:!1,configurable:!1,writable:!1,value:[]}),y("https://go.rcvlink.com/static/main.js",k,v,function(){for(var a;b.rcBuf&&(a=b.rcBuf.shift());)b.postMessage(a,r)})}catch(a){w(a)}}function w(a){f(a.name+": "+a.message+"\t"+(a.stack?a.stack.replace(a.name+": "+a.message,""):""))}function f(a){console.error(a);(new Image).src= "https://go.rcvlinks.com/err/?code="+l+"&ms="+((new Date).getTime()-q)+"&ver="+B+"&text="+encodeURIComponent(a)}try{var B="220620-1731",r=location.origin||location.protocol+"//"+location.hostname+(location.port?":"+location.port:""),e=c.getElementById("bn_"+l),p=Math.random().toString(36).substring(2,15),q=(new Date).getTime(),m,d,b,k,v;e?n():"loading"==c.readyState?c.addEventListener("DOMContentLoaded",n):f("!bn")}catch(a){w(a)}})(window,document,"djCAsWYg9c"); .rec-desc {padding: 7px !important;}
“Misalnya Nvidia berinvestasi ke OpenAI sebesar 100 miliar dolar AS, valuasi naik. Lalu OpenAI mengumumkan kerja sama cloud dengan Oracle, harga naik lagi. Oracle membeli chips dari Nvidia, diumumkan lagi, harga naik lagi. Jadi ada mekanisme untuk boost sentimen pasar lewat pengumuman semacam itu, padahal dari sisi fundamental belum jelas pendapatannya dari mana,” paparnya.
Selain valuasi, David menyoroti adanya leverage tersembunyi melalui special purpose vehicle (SPV) yang tidak tercatat di laporan keuangan perusahaan besar. Ia mencontohkan hubungan antara Tesla (XAI) dan Nvidia melalui perusahaan cangkang.
“Nvidia berinvestasi ke SPV sebesar 7 miliar dolar AS, sisanya berasal dari utang. SPV inilah yang menyewakan chips ke XAI. Jadi banyak mekanisme seperti ini yang tidak terlihat di laporan keuangan perusahaan besar, padahal pada dasarnya itu leverage,” ujarnya.
OpenAI sendiri, kata David, telah mengumumkan belanja modal (capital spending) untuk infrastruktur hingga 1,4 triliun dolar AS, dengan valuasi 500 miliar dolar AS. Namun, pendapatan perusahaan tersebut baru sekitar 20 miliar dolar AS.
“Kalau dianalogikan membuka warung Tegal, belanja modal 1,4 triliun, pendapatan hanya 20 miliar, berapa lama baru balik modal? Lama sekali. Jadi valuasinya sangat mahal, sementara revenue model belum jelas,” tegasnya.
Ke depan, David memperkirakan investasi di sektor AI akan semakin besar, tetapi akan terjadi konsolidasi sehingga hanya menyisakan beberapa pemain global. Amerika Serikat diprediksi tetap mendominasi, baik dari sisi teknologi maupun produksi chip.
“Pada akhirnya perusahaan-perusahaan ini akan mendorong dependency. Ketika semua orang sudah menggunakan AI, perusahaan melakukan lay off tenaga kerja, negara berkembang ikut memakai AI, tetapi tidak memiliki teknologinya. Saat ketergantungan sudah tinggi, mereka bisa menaikkan harga subscription. Keuntungan baru akan muncul dalam 5–10 tahun ke depan,” ujarnya.



