Oleh: Herman Kajang*
Komisi Percepatan Reformasi Polri sudah dibentuk. Saat ini mereka sedang melakukan penyerapan aspirasi, mendengar suara publik, mengumpulkan kritik, dan merangkum harapan tentang masa depan kepolisian.
Niat ini layak dihargai. Negara setidaknya mengakui bahwa Polri bukan institusi suci yang kebal koreksi. Namun sejak awal harus jujur dikatakan: kerja komisi ini akan berhadapan dengan tembok paling keras dalam tubuh Polri, yakni keputusan dan arah Kapolri sendiri.
Masalahnya sederhana, Polri adalah institusi dengan sistem komando yang sangat hirarkis dan feodal. Apa yang datang dari atas bukan sekadar kebijakan, melainkan titah. Dalam kultur seperti ini, satu peraturan Kapolri bukan hanya dokumen hukum, tetapi kompas moral dan politik bagi seluruh jajaran.
Jika Kapolri memilih menafsirkan putusan Mahkamah Konstitusi secara lentur, maka kelenturan itu akan menjalar sampai ke tingkat paling bawah—tanpa perlawanan, tanpa koreksi, tanpa keberanian bertanya.
Mahkamah Konstitusi sudah membuat garis tegas: anggota Polri aktif dilarang menduduki jabatan sipil. Putusan ini mestinya menjadi palu godam untuk merobohkan tembok rangkap jabatan dan loyalitas ganda. Tapi yang terjadi justru sebaliknya.
Pada 9 Desember 2025, Kapolri Drs. Listyo Sigit Prabowo menerbitkan Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2025, yang membuka ruang bagi anggota Polri aktif menjalankan “tugas” di luar struktur kepolisian pada 17 kementerian dan lembaga. Sekali lagi, bukan jabatan—katanya. Hanya tugas.
Dalam institusi sipil, perbedaan istilah bisa diperdebatkan. Dalam kultur Polri yang feodal, istilah itu tak penting. Yang penting adalah sinyal kekuasaan. Dan sinyal dari Kapolri sangat jelas: putusan MK tidak perlu ditaati secara utuh, cukup disesuaikan.
Ini bukan sekadar soal regulasi, tapi soal pembentukan watak institusi. Ketika Kapolri memberi contoh bahwa hukum bisa “dikelola”, maka seluruh struktur komando akan belajar hal yang sama—tanpa perlu bertanya apakah itu etis atau konstitusional.Dampaknya berlapis.
Di tingkat atas, perwira berlomba mencari ruang penugasan ke luar, karena tahu pintu itu tetap dibuka. Di tingkat menengah, loyalitas lebih diarahkan ke atasan daripada konstitusi. Di tingkat bawah, anggota makin yakin bahwa kepatuhan hukum bukan prinsip, melainkan soal siapa yang memberi perintah.
Dalam sistem yang feodal, satu keputusan Kapolri bisa lebih kuat dari seratus rekomendasi reformasi.Inilah sebabnya Perkap 10/2025 berbahaya. Ia bukan hanya mereduksi putusan MK, tetapi memperkuat kultur lama Polri: kultur kekuasaan vertikal, anti-kritik, dan alergi pembatasan sipil.
Reformasi yang seharusnya memutus tradisi militeristik dalam Polri justru diseret kembali ke logika lama—logika bahwa institusi selalu benar, dan hukum harus menyesuaikan diri dengan kepentingan komando.
Dalam kondisi seperti ini, Komisi Percepatan Reformasi Polri bekerja di ruang yang sangat sempit. Aspirasi publik boleh keras, rekomendasi boleh progresif, tapi selama Kapolri tetap menjadi pusat legitimasi feodalisme hukum, reformasi akan berhenti sebagai wacana.
Tidak akan ada perubahan budaya tanpa perubahan teladan di puncak.Karena itu, kritik publik seharusnya diarahkan dengan jujur dan tegas. Bukan kepada komisi yang sedang bekerja, melainkan kepada Kapolri yang melalui Perkap 10/2025 justru memperkuat kultur lama yang ingin dibongkar.
Dalam institusi sefeodal Polri, reformasi tidak bisa dimulai dari bawah atau dari pinggir. Ia hanya bisa dimulai dari atas.
Kalimat ini mungkin terdengar keras, tapi sepenuhnya rasional: jika negara sungguh-sungguh ingin percepatan reformasi Polri, maka simpul perlambatan di puncak harus dibuka terlebih dahulu. Selama Kapolrinya masih Drs. Listyo Sigit Prabowo, reformasi bukan dipercepat—ia sedang diajari berjalan mundur dengan tertib, rapi, dan patuh pada komando. (*)
*penulis adalah aktivis Kopel Indonesia




