- PLT Deputi BGN, Dr. Gunalan, pada 15 Desember, menekankan pemberdayaan UMKM kunci sukses Program Makan Bergizi Gratis (MBG).
- MBG, yang telah berjalan sejak 6 Januari, kini berfungsi sebagai penggerak ekonomi desa dengan melibatkan UMKM lokal dalam rantai pasok.
- Program ini melibatkan 17.362 SPPG melayani 44 juta jiwa, mendorong masyarakat kembali ke sektor pertanian melalui dampak ekonomi.
Suara.com - Pemberdayaan UMKM dan kelompok masyarakat lokal menjadi kunci keberhasilan Program Makan Bergizi Gratis (MBG), terutama di wilayah terdampak bencana. Hal ini ditegaskan oleh PLT Deputi Promosi dan Kerja Sama Badan Gizi Nasional (BGN), Dr. Gunalan, A.P., M.Si., pada Senin (15/12).
Saat ini, terdapat 264 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang difungsikan sebagai dapur umum di wilayah Sumatera. Dapur-dapur ini menjadi garda terdepan, bekerja sukarela menyiapkan makanan bergizi untuk korban bencana.
“Yang kita berikan bukan sekadar makanan, tetapi asupan bergizi yang benar-benar diperhitungkan,” tegas Gunalan.
Ia menekankan bahwa Program MBG bukan sekadar kegiatan seremonial, melainkan strategi nasional untuk memastikan layanan gizi berjalan berkualitas, berkelanjutan, dan memberi dampak ekonomi langsung kepada masyarakat.
“Awalnya, MBG sempat dipersepsikan hanya sebagai kegiatan berbagi makanan. Namun setelah hampir satu tahun berjalan sejak peluncuran pada 6 Januari, MBG kini menjadi penggerak ekonomi desa yang nyata,” ujarnya.
Gunalan mencontohkan transformasi ini: di desa terpencil, dapur MBG telah menjadi pusat ekonomi produktif. UMKM rumahan mulai mengolah bahan pangan yang sebelumnya terbuang, seperti pisang, menjadi produk siap pakai dan disuplai ke dapur MBG.
BGN menekankan bahwa UMKM, koperasi, BUMDes, dan kelompok masyarakat lokal harus menjadi aktor utama dalam rantai pasok MBG. Idealnya, seluruh bahan baku berasal dari masyarakat sekitar.
Menurut Gunalan, masih ada beberapa SPPG yang terpaksa membeli dari pasar karena keterbatasan produksi lokal, tetapi praktik ini dianggap kurang tepat.
“Itu hanya menguntungkan segelintir pihak. Harapan Bapak Presiden jelas: pangan dibeli dari rakyat, diolah oleh rakyat, lalu kembali ke rakyat melalui anak sekolah, ibu hamil, ibu menyusui, dan balita,” tegas Gunalan.
Baca Juga: Pengelola SPPG di Bogor Klaim 90 Persen Sumber Pangan MBG Sudah Lokal
Prinsip dasar Program MBG sederhana namun kuat: pangan diproduksi oleh rakyat, diolah oleh rakyat, dibeli oleh negara, dan dikonsumsi oleh rakyat.
Secara nasional, saat ini terdapat 17.362 SPPG yang didukung lebih dari 736 ribu petugas lapangan, dengan jumlah penerima manfaat mencapai 44 juta jiwa.
Rantai pasok MBG digerakkan oleh lebih dari 40 ribu supplier, sehingga dampak ekonomi mulai terasa. Di Sulawesi Utara serta Blora–Grobogan, warga yang sebelumnya bekerja di sektor informal kini kembali bertani.
“Masyarakat kembali ke sektor pertanian. Ini sinyal sehat bagi ekonomi desa,” ungkap Gunalan.
UMKM diprediksi akan semakin krusial untuk mendukung keberlanjutan MBG pada 2025–2026. Jawa Barat menjadi fokus nasional dengan target 4.600 SPPG, dari mana 3.999 sudah beroperasi, didukung 179.609 petugas, lebih dari 9.000 supplier, serta jangkauan penerima manfaat yang luas. Provinsi ini diharapkan menjadi contoh nasional dalam penggunaan produk lokal untuk MBG.
Untuk mendukung hal tersebut, kegiatan kemitraan difokuskan pada beberapa hal utama:



